Kanaya hidup dalam gelembung kaca keindahan yang dilindungi, merayakan tahun-tahun terakhir masa remajanya. Namun, di malam ulang tahunnya yang ke-18, gelembung itu pecah, dihancurkan oleh HUTANG GELAP AYAHNYA. Sebagai jaminan, Kanaya diserahkan. Dijual kepada iblis.Seorang Pangeran Mafia yang telah naik takhta. Dingin, cerdik, dan haus kekuasaan. Artama tidak mengenal cinta, hanya kepemilikan.Ia mengambil Kanaya,gadis yang sepuluh tahun lebih muda,bukan sebagai manusia, melainkan sebagai properti mewah untuk melunasi hutang ayahnya. Sebuah simbol, sebuah boneka, yang keberadaannya sepenuhnya dikendalikan.
Kanaya diculik dan dipaksa tinggal di sangkar emas milik Artama. Di sana, ia dipaksa menelan kenyataan bahwa pemaksaan adalah bahasa sehari-hari. Artama mengikatnya, menguji batas ketahanannya, dan perlahan-lahan mematahkan semangatnya demi mendapatkan ketaatan absolut.
Bagaimana kelanjutannya??
Gas!!Baca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nhaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencuri ciuman lagi?
Pagi itu,Artama sedang membantu Kanaya turun dari tempat tidur dengan sangat hati-hati, memastikan Kanaya tidak membebani kakinya yang terluka.Seluruh proses itu pun terasa canggung dan intim.Artama lalu memegangi Kanaya erat, memimpinnya menuju kamar mandi utama.
"Bagaimana kalau...aku di bantu Sofia saja,Artama..".Tanya Kanaya merasa canggung.
"Aku sudah janji akan memperbaiki kesalahan ku.Aku yang akan merawat mu,Kanaya.".
Tanpa menunggu bantahan lebih lanjut, Artama pun bergerak.Ia melingkarkan tangan kirinya dengan sangat hati-hati di bawah lutut Kanaya dan tangan kanannya memeluk punggung gadis mungilnya.Gerakannya terlihat cekatan dan kuat, mengangkat tubuh mungil Kanaya dengan kehati-hatian luar biasa.
Saat tubuh mereka bersentuhan, sentakan canggung melanda keduanya. Kanaya sontak menahan napas, wajahnya merona seperti tomat. Ia bisa merasakan kehangatan tubuh Artama dan ketegasan otot lengannya.
Artama segera mendudukkan Kanaya di kursi mandi yang sudah disiapkan di dalam kamar mandi. Ia berbalik sebentar, menyalakan pancuran yang airnya sudah diatur suhunya. Keheningan yang menyelimuti mereka terasa memekakkan telinga, dipenuhi perasaan yang tak terucapkan.
Artama berbalik menghadap Kanaya lagi. "Baiklah. Sekarang..." Ia menunjuk pakaian Kanaya yang tertutup. "Aku harus membantumu melepas ini."
Kanaya menunduk, matanya terpaku pada keramik. "Pelan-pelan," hanya itu yang mampu ia katakan.
Artama pun lalu berlutut di hadapannya.Jari-jarinya yang besar dan hangat mulai membuka kancing piyama Kanaya,perlahan, seolah menyentuh kaca yang sangat rapuh.Saat ia menarik sedikit kerah piyama itu ke bawah,Kanaya pun refleks mendongak.
Matanya gadis itu langsung menangkap pergerakan di leher Artama.Nadi di sisi lehernya berdenyut dengan kecepatan yang tidak wajar, berdetak kencang seolah sedang berlari maraton. Gurat-gurat uratnya itu pun terlihat menegang di bawah kulit, tegang dan cepat.Kanaya tahu, Artama sedang menahan napas.
Ia juga tahu, Artama juga sama-sama salah tingkah dan berjuang keras untuk tetap profesional, melawan setiap naluri yang mungkin muncul dalam situasi sedekat dan seintim ini.
Artama berdeham kecil, suaranya serak.Ia tidak melihat mata Kanaya, fokusnya hanya pada perban dan pakaian.
"Tutup matamu kalau kau mau, Kanaya," katanya lirih, suaranya lebih pelan dari biasanya, penuh kontrol. "Aku akan cepat.".
Kanaya pun tidak menutup matanya.Ia hanya memandang cepatnya detak nadi itu, dan perlahan,rasa malunya sedikit mereda, digantikan oleh kesadaran bahwa ia dan Artama, pada saat itu, sama-sama sedang melewati ujian keintiman yang canggung
Artama pun terus membantu Kanaya melepas piyama, sangat hati-hati agar tidak menyentuh area yang terluka atau perban. Setiap sentuhan yang tak sengaja, sekecil apa pun, memicu gelombang aneh di antara mereka.
Begitu piyama atas nya terlepas,Kanaya kini hanya mengenakan bra lalu Artama pun segera mengambil shower puff dan menuangkan sabun cair ke atasnya.Ia pun memejamkan mata sejenak saat melihat Kanaya hanya dengan dalaman.Ia terus berusaha keras menjaga fokus.
"Aku akan mulai dari pundakmu," suara Artama tercekat, berusaha terdengar datar.
Kanaya yang sudah mulai merasa sedikit lebih nyaman,dan mungkin lebih tepatnya, sudah terlanjur basah, tiba-tiba tersenyum nakal.Ia pun mendongak, menatap Artama yang masih berusaha menghindari tatapannya.
"Artama," panggilnya, suaranya sengaja dibuat mendayu.
"Nadi di lehermu itu... kenapa ya? Cepat sekali detaknya,apalagi biji leher mu itu bergerak-gerak.."
Artama langsung tersentak, tangannya yang memegang shower puff sedikit bergetar.Wajahnya pun langsung memerah, semerah tomat yang matang.Ia langsung memalingkan wajah, menggeser tubuhnya sedikit menjauh, pura-pura memeriksa suhu air lagi.
"Tidak ada apa-apa," gumamnya, suaranya terdengar tegang.
"Mungkin... mungkin karena aku baru saja berjalan. Cepat kan?"
Kanaya terkekeh pelan. "Oh ya? Aku kira karena ada sesuatu yang menarik di sini," katanya, dengan nada menggoda, mengedikkan dagunya ke arah dirinya sendiri.
Artama pun terdiam sejenak,wajahnya kini semakin memerah.Ia pun mengambil napas dalam-dalam, lalu membalikkan badan lagi,kali ini dengan seringai tipis yang muncul di bibirnya. Matanya bertemu dengan mata Kanaya, dan ada kilatan nakal di sana.
"Menarik, ya?" Artama mengulang, suaranya kini lebih rendah, lebih menggoda. Ia mendekat, matanya menelusuri Kanaya dari kepala hingga...
"Memang sangat menarik." Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Terutama dengan... hanya dalaman seperti itu. Sepertinya aku harus lebih sering membantumu mandi.".
Sekarang giliran Kanaya yang kini merasa pipinya menghangat. Godaan Artama yang balik menyerang itu terasa mengejutkan dan mendebarkan.Ia tidak menyangka Artama akan membalas dengan kenakalan yang setara.
Artama pun melihat reaksi Kanaya, dan seringainya semakin lebar.Ia mendekat lagi, begitu dekat hingga Kanaya bisa merasakan napas hangatnya di wajahnya.Wajah Artama tidak lagi merah padam karena malu, tetapi kini dipenuhi gairah yang membara.
"Karena kau sudah memulai, Kanaya," bisik Artama, suaranya hampir tidak terdengar,
"rasanya tidak adil jika aku tidak mengambil sedikit keuntungan.".
" Apa mak....".
Sebelum Kanaya sempat melanjutkan ucapannya, Artama pun menundukkan kepalanya.Bibirnya yang hangat dan lembut menekan bibir Kanaya.Itu adalah ciuman singkat, kejutan, tetapi cukup untuk membuat jantung Kanaya berdebar kencang.
Kanaya tersentak,terkejut sekaligus...kedua mata yang sayu itu membulat sempurna.Entah kenapa, sedikit senang.Ia pun langsung refleks mendorong pelan bahu Artama.
"Artama!" serunya, suaranya sedikit meninggi, antara kesal dan geli. "Apa-apaan itu?! Kau mencuri ciuman!".
Artama menarik diri, terkekeh pelan. "Kau yang memulainya dengan godaanmu,gadis k3cil." katanya, senyumnya menyebalkan namun menarik.
"Lagipula, itu hanya ciuman kecil. Bukankah kau juga menikmatinya?"
"Tidak! Aku tidak menikmatinya!" Kanaya membalas, meski rona merah di pipinya membuktikan sebaliknya.
"Kau ini! Sekarang ba..bagaimana aku bisa mandi dengan tenang?!"
Artama hanya mengangkat bahu, matanya ikut berbinar. "Itu risiko yang harus kau tanggung karena menggoda pria yang sedang menahan diri. Sekarang... mari kita lanjutkan mandimu, atau kau mau kucuri ciuman lagi?"
Kanaya pun mendengus kesal,namun ada senyum kecil yang tak bisa ia sembunyikan di bibirnya.Pertengkaran kecil itu,entah bagaimana, justru melonggarkan suasana canggung sebelumnya.
"Cepat selesaikan," Kanaya memerintah, berusaha kembali ke mode galak. "Dan jangan berani macam-macam lagi!"
Artama hanya tersenyum tipis, mengambil sabun lagi. Tapi kali ini, ada kilatan di matanya yang menjanjikan lebih dari sekadar bantuan mandi biasa.
Setelah selesai, Artama memakaikan jubah mandi bersih pada Kanaya dan menggendongnya kembali ke tempat tidur, seolah Kanaya adalah bayi yang berharga.Saat ini Sofia sedang membantunya memakai pakaian dalam dan piyama set.Setelah itu,Artama pun kini datang lagi dan beralih untuk membantu Kanaya menyisir rambutnya.
"Mengenai tadi malam," Kanaya memulai, suaranya pelan. "Aku... aku sedang demam. Aku tidak sadar sepenuhnya."
Artama yang mendengarkan pun tersenyum kecil. "Kau sadar. Kau hanya sangat jujur karena demam. Dan aku senang kau jujur, Kanaya."
"Aku hanya... takut sendirian," bisik Kanaya sedikit mengelak.
"Aku tahu," jawab Artama. Ia berhenti sejenak, menatap Kanaya. "Dan aku tidak akan membiarkanmu sendirian lagi. Tidak selama kau sakit."
Kanaya pun lalu kembali berbaring di tempat tidur.Sofia juga sudah mengganti infus,memberikan obat, dan menyajikan sarapan bubur dengan porsi yang lebih kecil, yang kali ini Kanaya makan sendiri dengan bantuan bantal.Walau ia masih merasakan nyeri di bagian tangannya.
Artama juga tidak pergi.Ia mengambil laptop dan dokumennya, dan mulai bekerja dari kursi besar yang ia geser ke sisi tempat tidur Kanaya.Ia menghadiri konferensi video, berbicara dengan pengacaranya, dan membuat keputusan bisnis jutaan dolar,semua pun dilakukan dengan Kanaya yang hanya berjarak satu lengan darinya.
Artama pun dengan cepat membatalkan semua kontrak terkait pernikahan Valencia, mengambil langkah-langkah untuk membersihkan citra perusahaannya, dan bahkan memerintahkan pengacaranya untuk mengirimkan surat peringatan keras kepada keluarga Valencia,serta mengancam tuntutan pidana atas penyerangan yang melibatkan Kanaya.
Kanaya yang menyaksikan semua ini, merasa bingung. Artama bekerja dengan efisien dan kejam, tetapi setiap kali ia mematikan mikrofon, ia akan menoleh ke Kanaya.
"Kau butuh bantal lagi?" tanyanya.
"Buburmu sudah dingin? Aku bisa membuatkan teh."
Transisi dari seorang monster yang kejam menjadi pengasuh yang dominan ini benar-benar membuat Kanaya pusing.
Lalu di sela-sela panggilan Artama, Kanaya pun memberanikan diri.
"Kenapa kamu melakukan ini, Artama?" tanya Kanaya, suaranya masih lemah.
"Kenapa kamu membatalkan pertunanganmu?Apa....hanya karena dia melempar vas?"
Artama menutup laptopnya dan menatap Kanaya. Artama tidak tersenyum. Wajahnya serius.
"Dia menyerangmu. Dia menyerang apa yang menjadi milikku," jawab Artama, nadanya kembali menunjukkan dominasi.
Namun,Kanaya pun lalu menatap mata Artama, mencari kebohongan.
"Tapi kamu terluka, Artama.Kamu juga menamparnya. Kamu mengancam bisnisnya. Itu bukan hanya karena kepemilikan. Itu..."
Kanaya berhenti, mencari kata yang tepat.
Artama pun menghela napas, mendekat ke tempat tidur. Ia memegang tangan Kanaya, perban Kanaya di tangan kirinya, dan Artama di tangan kanannya.
"Dengar, Kanaya," bisik Artama.
"Aku tidak akan membohongimu.Awalnya, kau memang hanyalah pion,alat untuk memanipulasi Valencia dan untuk jaminan pengkhianatan ayahmu.Tetapi, ketika kau berdiri di sana, rapuh dan berdarah karena aku,lalu saat kau di sentuh oleh Victor,dan ketika aku melihatmu pingsan karena demam.....pion itu langsung berubah."
"Berubah menjadi apa?"
Artama menatap Kanaya, matanya yang tajam pun kini melembut.
"Menjadi sesuatu yang sangat berharga. Sesuatu yang akan kupertahankan. Sesuatu yang kulindungi, bahkan dengan melukai diriku sendiri."
Artama pun mengusap lembut punggung tangan Kanaya.
"Dan aku tidak akan pernah membiarkan orang lain, bahkan tunanganku yang sah, menyakitimu. Aku membatalkan pertunangan itu karena aku tidak bisa berada di sisi orang yang ingin menghancurkan titik terlemahku."
Artama jelas tidak mengatakan 'Aku mencintaimu'. Artama pun tidak mengatakan 'Aku menginginkanmu'.Dia hanya mengatakan, 'Kau adalah titik terlemahku'.Dan bagi Artama, pengakuan itu jauh lebih jujur dan mengikat daripada janji romantis manapun.
Kanaya pun menatap Artama.Lekat. Kata-kata itu, diucapkan oleh monster yang brutal, terasa lebih berarti daripada semua kata-kata manis yang pernah ia dengar.
"Aku akan membiarkanmu pulih, Kanaya," kata Artama. "Dan saat kau pulih sepenuhnya, kita akan bicara tentang apa yang terjadi selanjutnya. Sekarang, makanlah.Aku akan mengurus sisanya."
Artama pun kini membuka kembali laptopnya, tetapi tangannya yang memegang tangan Kanaya tidak bergerak. Ia bekerja, tetapi ia juga menjaga Kanaya, menjanjikan keamanan yang baru dengan caranya sendiri yang mendominasi.
Next...