NovelToon NovelToon
Drama Cinta Kaki Lima (Rujak Seblak Mesra)

Drama Cinta Kaki Lima (Rujak Seblak Mesra)

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Perjodohan / Romantis / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Konflik etika
Popularitas:302
Nilai: 5
Nama Author: Laila ANT

Gunawan, penjual rujak bumbu yang pendiam, dan Dewi, pemilik seblak pedas yang independen, terjebak dalam perjodohan paksa setelah gerobak mereka bertabrakan, menciptakan kekacauan di lapak. Warga, di bawah arahan Pak RT, menghukum mereka dengan pernikahan untuk menjaga reputasi lapak. Awalnya, mereka sepakat untuk menjalani 'kontrak pacaran palsu', penuh kecanggungan dan konflik komedi. Namun, seiring waktu, serangkaian tantangan publik—mulai dari "Love Brigade" yang selalu mengawasi, drama keluarga, hingga sabotase pesaing—memaksa mereka bekerja sama. Tanpa disadari, sandiwara tersebut mulai menumbuhkan perasaan nyata, hingga akhirnya mereka harus memutuskan apakah akan tetap berpegang pada janji palsu atau jujur pada hati mereka, yang berarti menghadapi konsekuensi dari komunitas yang pernah memaksa mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sisi Rapuh Dewi part 02

"Dewi?"

Suara itu. Suara Gunawan.

Dewi tersentak, cepat-cepat menghapus air matanya dengan punggung tangan, lalu mendongak. Gunawan berdiri di depannya, dengan gerobak satenya yang sudah kosong terparkir di dekatnya.

Wajahnya tampak khawatir, matanya menyorotkan rasa iba. Ia sudah mengganti kemeja batiknya dengan kaus oblong lusuh, menandakan ia baru saja selesai berdagang dan mungkin sudah kembali ke gerobaknya.

"Sedang apa kau di sini?" Dewi bertanya, suaranya serak dan hidungnya masih merah. Ia berusaha terdengar galak, seperti biasa, tapi gagal.

Gunawan berjalan mendekat, lalu duduk di samping Dewi, menjaga jarak yang wajar. Ia tidak langsung menjawab, hanya menatap Dewi dengan lembut.

"Aku... aku melihatmu keluar dari rumah Bu Marni tadi. Buru-buru sekali. Ada apa? Kamu kelihatan... nggak baik-baik saja."

Dewi mendengus.

"Bukan urusanmu. Aku baik-baik saja."

"Nggak, kamu nggak baik-baik saja," Gunawan bersikeras, suaranya tenang.

"Mata kamu merah. Hidung kamu juga. Dan tadi aku dengar kamu teriak-teriak dari dalam." Ia menggaruk tengkuknya, canggung.

"Apa... ibu-ibu itu terlalu banyak bertanya?"

Mendengar itu, pertahanan Dewi runtuh. Rasa frustrasi yang ia pendam kembali meluap.

"Mereka... mereka semua gila, Gunawan! Mereka menanyaiku hal-hal yang kotor! Yang tidak pantas!" Ia mengepalkan tangannya.

"Mereka bilang aku harus siap memijitmu, siap melayanimu! Siap punya anak! Siap memanjakanmu! Mereka pikir aku ini apa?! Boneka?!"

Gunawan terdiam, mendengarkan dengan sabar. Wajahnya menunjukkan empati.

"Aku tahu, Wi. Maaf. Aku... aku seharusnya tidak membiarkanmu sendirian di sana."

"Bukan salahmu," Dewi berkata, suaranya melemah. Ia menunduk, menatap jari-jarinya yang kini bermain-main dengan ujung celananya.

"Aku benci semua ini. Aku benci kalau hidupku diatur-atur. Aku benci kalau orang lain mencoba mengendalikanku."

Gunawan masih diam, membiarkan Dewi bicara. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih dalam di balik kemarahan Dewi ini.

"Dulu... aku pernah percaya sama seseorang," Dewi memulai, suaranya nyaris berbisik, seperti pengakuan dosa. Ia tidak menatap Gunawan, hanya berbicara pada dirinya sendiri.

"Aku... aku pernah punya pacar. Dia bilang dia cinta aku, dia bilang dia akan menjagaku. Aku percaya. Aku kasih dia segalanya."

Gunawan mendengarkan, jantungnya berdegup pelan. Ini adalah pertama kalinya Dewi berbagi cerita pribadi seperti ini kepadanya.

"Tapi ternyata... dia cuma omong kosong," lanjut Dewi, suaranya kini dipenuhi kepahitan.

"Dia cuma mau uangku, Gunawan. Dia mau aku ikut semua kemauannya, mengorbankan lapakku, mengorbankan impianku. Dia bilang aku harus berhenti jualan seblak, ikut dia ke kota, kerja di kantornya. Dia bilang jualan seblak itu nggak ada masa depannya."

Gunawan mengepalkan tangannya. Ia bisa merasakan kemarahan Dewi, dan ia tahu rasa sakit itu nyata.

"Dia selalu mengendalikanku," Dewi melanjutkan, kini air mata kembali menetes.

"Dia bilang aku nggak boleh ini, nggak boleh itu. Nggak boleh punya teman laki-laki, nggak boleh pakai baju terlalu terbuka. Nggak boleh pulang malam. Sampai akhirnya... aku sadar. Aku cuma jadi boneka di tangannya. Dia... dia menghancurkan kepercayaanku. Menghancurkan semua yang aku punya."

Dewi menatap Gunawan, matanya penuh luka.

"Makanya... aku benci komitmen. Aku benci ide pernikahan. Aku benci kalau ada orang yang mencoba mengendalikan hidupku. Aku benci janji-janji manis. Karena pada akhirnya, semua itu cuma omong kosong. Semua itu cuma akan menyakitiku lagi."

Gunawan melihat kerapuhan di mata Dewi, kerapuhan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dewi yang selalu keras, mandiri, dan sinis, kini tampak begitu rapuh, seperti kaca yang nyaris pecah. Hatinya mencelos. Rasa iba yang mendalam menyelimuti dirinya, bercampur dengan keinginan kuat untuk melindunginya.

"Aku... aku mengerti, Wi," kata Gunawan, suaranya lembut, tulus.

"Aku minta maaf kamu harus melewati itu. Itu... itu nggak adil."

"Semua laki-laki itu sama," Dewi berbisik, menatap kosong ke depan.

"Mereka cuma mau mengendalikan."

"Nggak semua, Wi," Gunawan membantah pelan. Ia mengangkat tangannya, ragu-ragu, lalu menurunkannya lagi. Ia ingin sekali menyentuh bahu Dewi, menghiburnya.

"Aku... aku janji. Aku nggak akan begitu."

Dewi menoleh, menatap Gunawan dengan tatapan skeptis.

"Kau bilang begitu karena kita sedang sandiwara, kan? Karena kau harus terlihat baik di mata Love Brigade."

Gunawan menggelengkan kepalanya.

"Bukan, Wi. Ini... ini bukan sandiwara." Ia berhenti sejenak, mencari kata-kata yang tepat.

"Maksudku... aku tahu kita cuma pura-pura. Tapi... aku nggak akan pernah mengendalikanmu. Aku nggak akan pernah memaksamu jadi orang lain. Aku nggak akan pernah menghancurkan kepercayaanmu."

Ia menatap Dewi, matanya penuh keseriusan.

"Aku janji, Wi. Aku akan menjagamu. Dari siapa pun yang mencoba menyakitimu. Dari siapa pun yang mencoba mengendalikanmu. Bahkan... bahkan kalau itu cuma dalam sandiwara ini."

Kata-kata Gunawan terasa begitu tulus, begitu nyata. Dewi bisa merasakan ketulusan itu, dan entah mengapa, itu membuat dadanya menghangat. Ini adalah janji yang berbeda, janji yang tidak menuntut balasan, janji yang hanya ingin melindungi.

Tapi kemudian, ia teringat. Ini adalah sandiwara. Kontrak mereka hanya enam bulan. Setelah itu, semua akan kembali seperti semula.

Gunawan akan kembali ke lapak rujaknya, ia akan kembali ke lapak seblaknya. Janji ini... apakah Gunawan bisa benar-benar menepatinya? Apakah ini bukan hanya bualan lain yang akan berakhir dengan kekecewaan?

Gunawan menatap Dewi, menunggu responsnya. Di dalam hatinya, ia tahu janji itu berat. Ia tahu ia sedang berbohong lagi, berbohong pada Dewi dan pada dirinya sendiri, berharap sandiwara ini bisa menjadi nyata.

Tapi melihat Dewi yang begitu rapuh, ia tidak bisa menahan diri. Ia ingin melindunginya, bahkan jika itu berarti ia harus menanggung semua beban kebohongan ini sendirian.

"Bagaimana kau bisa janji begitu, Gunawan?" Dewi bertanya, suaranya lemah, menatap mata Gunawan, mencari kejujuran di sana.

"Kalau kita... kalau kita tidak bersama lagi nanti? Kalau sandiwara ini selesai?"

Gunawan menelan ludah. Pertanyaan itu menohoknya, memaksanya menghadapi kenyataan pahit. Ia tidak bisa menjawabnya. Ia tidak tahu bagaimana caranya menepati janji itu jika mereka tidak lagi bersama. Tapi ia tidak bisa membiarkan Dewi melihat keraguannya.

"Aku... aku akan selalu ada untukmu, Wi," kata Gunawan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri dan juga Dewi.

Ia tahu itu adalah janji yang sulit, janji yang mungkin akan menghancurkannya. Tapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin Dewi merasa aman, bahkan untuk sesaat.

"Aku... aku janji aku akan menjagamu. Tidak peduli apa pun yang terjadi..."

Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki yang terburu-buru, diikuti oleh suara Bu Ida yang melengking.

"Gunawan! Dewi! Kalian di mana?! Kalian harus segera kembali! Ada masalah besar!"

Gunawan dan Dewi saling pandang, terkejut. Momen intim mereka seketika buyar oleh teriakan itu. Masalah apa lagi sekarang? Gunawan merasakan firasat buruk yang mencengkeram dadanya. Ia baru saja membuat janji, dan seolah alam semesta ingin mengujinya.

"Cepat! Cepat! Ini gawat!" Suara Bu Ida semakin dekat.

"Pak RT... Pak RT marah besar! Ada laporan dari Love Brigade, kalau kalian... kalian berdua didapati berduaan di sini, padahal arisan belum selesai! Dan Pak RT bilang, dia sudah punya keputusan baru yang sangat penting. Ini tentang... tentang status perjodohan kalian!"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!