Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.
Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.
Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.
Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.
Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30 UNIVERSE ARUNIKA— Malam Yang Tidak Boleh Menangis
POV KAYLA
Langit turun cepat sekali.
Seolah matahari takut melihat apa yang menunggu kami di malam hari.
Hutan jalur timur seperti menelan cahaya.
Tidak ada suara hewan.
Tidak ada angin.
Tidak ada tanda kehidupan.
Hanya… kami bertiga, dan sesuatu yang mengikuti dari belakang sejak dua jam lalu.
Raka melarang kami menoleh.
Sari menggenggam gelang biru di tangannya seperti batu penahan malapetaka.
Dan aku… hanya mencoba untuk tidak menangis.
Karena gelang itu memberi peringatan:
MULAI MALAM INI
SIAPAPUN YANG MENANGIS
JADI PINTU PERTAMA
Dan aku selalu yang paling mudah menangis.
Aku selalu takut.
Selalu rapuh.
Selalu yang paling cepat bergeming.
Aku tidak boleh menangis malam ini.
Kalau aku menangis…
aku membuka pintu untuk sesuatu yang ingin memasukiku.
Dan aku tidak tahu apa yang ada di balik pintu itu.
POS SINGGAH YANG SEHARUSNYA TIDAK ADA
Jam 19:11.
Kami akhirnya menemukan bangunan kecil dari kayu—mirip pos pendakian tradisional, tapi bentuknya aneh:
atapnya seperti miring ke belakang, pintunya terlalu rendah, dan tidak ada papan petunjuk.
Raka mengerutkan dahi.
“Setahu gue… di jalur timur tidak ada pos.”
Sari mengangguk cepat.
“Ini bukan buat pendaki.”
Aku memegang lengannya.
“Terus buat siapa?”
Sari menelan ludah.
“Buat mereka yang nggak pernah pulang.”
Angin bertiup untuk pertama kali sejak kami masuk hutan—udara dingin seperti meniupkan kematian.
Raka membuka pintu yang mengeluarkan suara cekrek panjang.
Kami masuk.
Di dalam pos ada:
• bangku kayu panjang
• dinding penuh tanda gores
• beberapa kain lusuh tergantung
• dan di lantai, jejak lumpur yang masih basah
Bukan jejak kami.
Sari berbisik: “Berarti… ada yang baru lewat.”
Lalu… pintu pos terbanting sendiri.
GUBRAK!
Aku menjerit kecil, langsung menutup mulut dengan kedua tangan.
Raka sigap berdiri, memegang pisau kecil.
“Kunci atau enggak?” tanya Sari.
“Jangan,” jawab Raka cepat. “Kita nggak boleh terjebak di ruangan kecil.”
Tapi sebelum kami sempat membuka pintu—
ada seseorang di belakang kami.
Sari menoleh duluan.
Aku ikut menoleh… dan langsung ingin pingsan.
Ada sosok pendaki laki-laki, duduk di pojok pos, menunduk, tubuhnya bergoyang halus seperti sedang menenangkan diri.
Tapi…
tidak ada suara napas.
Tidak ada dada naik turun.
Kayla memucat.
“Ada orang… ada orang… Raka… itu orang beneran atau—”
Raka menaruh jarinya di bibirku.
“Jangan bicara keras.”
Kami perlahan mendekat.
Sosok itu memakai jaket tebal warna abu-abu.
Ranselnya robek, basah lumpur.
Sepatunya hilang—kaki telanjang penuh lumpur dan darah kering.
Dan di kulit lengannya…
Ada nomor ditulis pakai arang.
“19”
Sari menelan air liur.
“Dia… pendaki kesembilan belas yang hilang…?”
Aku ingin mundur.
Tapi Raka sudah setengah jongkok.
Pendaki itu pelan mengangkat kepalanya.
Dan aku langsung menutup mulut menahan teriakan:
Wajahnya tidak memiliki mata.
Dua lubang kosong menganga, hitam pekat seperti mulut sumur.
Tapi dia tersenyum.
Senyum manusia.
Senyum lembut.
“Terima kasih… sudah kembali…”
Sari mundur.
Raka tetap diam.
Pendaki 19 itu memberi gerakan kecil dengan tangannya, seperti memanggil kami mendekat.
“Kalian datang… untuk menggantikan kami… bukan?”
Dan tepat ketika kalimat itu selesai…
seluruh pos berubah.
Kain-kain lusuh di dinding mulai bergerak sendiri seperti tangan tertekan angin.
Goresan-goresan dinding mengeluarkan cairan hitam seperti tinta darah.
Lantai mengeluarkan suara krak krak krak seperti tulang patah.
Aku mulai menangis—
TAPI SARI LANGSUNG MEMUKUL PIPIKU.
“JANGAN MENANGIS! KAY — JANGAN MENANGIS!!!”
Aku terkejut. Air mata berhenti seketika.
Sakit, tapi menyelamatkan.
Pendaki 19 itu perlahan berdiri… tubuhnya berderak seperti kayu lapuk.
Ia menunjuk ke wajahku.
“Dia yang paling mudah…
biarkan dia menangis…
dan pintu pertama terbuka…”
Raka langsung berdiri menghadang di depanku.
“Kalau kau sentuh dia,” katanya tajam, “kau sentuh aku dulu.”
Pendaki 19 tersenyum lebih lebar—robekan di pipinya melebar hingga ke telinga.
Dia mencondongkan kepalanya seperti anak kecil yang penasaran.
“Kamu sudah pernah membuka pintu… Raka.
Tapi bukan kamu yang keluar.
Kamu ingin pulang karena apa?”
Raka tidak menjawab.
Pendaki itu mengangguk, seperti mengerti sesuatu.
“Masalahnya, Raka…
Hanya orang yang benar-benar ingin hidup
yang bisa menyelamatkan orang lain.”
Perkataan itu membuat hutan di sekitar pos mendengung seperti lebah jauh.
Sari menarik napas tajam: “Raka… dia bukan nyerang. Dia NGETES.”
Pendaki 19 kemudian berlutut perlahan… menekan jari kakinya ke tanah yang retak.
Dan lantai pos membentuk simbol yang tidak kami pahami:
• tiga lingkaran
• satu segitiga
• satu garis lurus menuju pintu keluar
Gelang Sari langsung menyala panas.
Ukiran baru muncul:
INGAT SIAPA YANG BELUM SIAP PULANG
Aku merinding sampai tulang.
Pendaki 19 membuka mulutnya…
dan suara yang keluar bukan suaranya.
Melainkan suara SARI:
“Biarkan aku yang hilang…”
Sari terpukul mentalnya sendiri.
Kayla menjerit.
Aku menarik lengannya kuat.
Lalu suara lain keluar dari mulutnya:
Suara AKU:
“Asal Raka selamat… aku rela.”
Aku menggigil.
Pendaki itu masih belum selesai.
Dari lubang matanya keluar suara RAKA:
“Aku pulang bukan untuk hidup…
aku pulang untuk menggantikan seseorang…”
Raka mematung.
Suaranya sendiri ditiru.
Pendaki 19 berdiri lagi…
membungkuk ke depan seperti boneka rusak…
dan berbisik:
“Salah satu dari kalian…
belum jujur pada dirinya sendiri.
Dan orang itu adalah pintu.”
Pos tiba-tiba goyang seperti diguncang dari luar.
Hutan meraung pelan.
Tali ransel Kayla naik sendiri ke udara.
Lantai mulai retak—
dan pendaki 19 melangkah ke belakang.
Tubuhnya retak, terbelah, dan jatuh ke tanah seperti potongan kayu.
Kosong.
Mati.
Atau… pindah tempat.
Kami bertiga saling pandang—senyap.
Dan gelang biru mengeluarkan ukiran terbaru, yang paling mengerikan sejauh ini:
MALAM INI
SALAH SATU DARI KALIAN
AKAN MEMBENTUK KEINGINAN
UNTUK HILANG.
Tidak ada yang bicara.
Karena kami tahu—
Keinginan untuk hilang
bukan muncul dari hantu.
Keinginan itu muncul dari diri sendiri.
Dan salah satu dari kami…
sudah mulai berpikir ke arah itu.
Tanpa sadar.
Tanpa niat.
Tapi siklus Arunika mengendus kelemahan itu.
Dan malam baru saja dimulai.
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
geram sekali sama mereka main kabur aja
terasa banget horor nya.
aku suka horor