Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."
Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa Yang Masuk Duluan ?
Pagi itu, Nadira muncul di depan ruang kerja Pak Bram dengan wajah sepucat kertas fotokopi error. Rambutnya acak-acakan, matanya merah, langkahnya limbung. Bram yang sedang mengaduk kopi sachet di mejanya membeku melihatnya
“Ya ampun… Nadira? Kamu habis begadang ngerjain laporan? Atau…” suaranya mengecil, penuh curiga, “…kamu ketemu wewe gombel?”
Nadira langsung menyambar kursi, napasnya tersengal.“Pak…saya mau cerita. Dan tolong, jangan dikatain atau di ketawain.”
“Bapak nggak bakal ketawa,” jawab Bram cepat, “Dan kamu sendiri udah ngerasain hal-hal nggak jelas selama seminggu ini.”
Nadira menutup wajah dengan kedua telapak tangannya, suaranya parau, seperti terjepit pintu. “Saya bermimpi sebuah kampung tua. Ada jembatan bambu yang lapuk, kabut tebal. Raga, dia berdiri di seberang dan suaranya seperti angin berbisik memanggil manggil ‘kembali…’
Bram menelan ludah, matanya menyipit,
“Astaga Nadira…kok sama?”
Gadis itu mengernyit tegak menatapnya. “Sama?! Maksud Bapak apa?”
Bram mendorong kursinya mendekat, berbisik halus seakan-akan dinding punya telinga untuk menyadap “Tiga hari lalu, bapak bermimpi tempat persis seperti yang kamu sebutkan, jembatannya retak di bagian tengah. Dan ada… ada tangan pucat nyembul dari bawah air, menarik narik tubuh bapak.”
Gadis itu tersentak wajahnya semakin pucat. “Mungkin itu bukan cuma mimpi, Pak. Saya juga mendapat pesan aneh dari nomor nggak dikenal.”
“Bapak juga!” Bram nyaris terpekik, tapi berhasil menahan diri agar tetap terlihat cool “Nomornya cuma ada inisial, A.R. Siapa itu? Debt collector? Arisan panci ? Atau… Alumni Rohis zaman baheula?”
Nadira menggeleng keras. “Bukan, Pak. Saya sudah mencari-cari inisial ‘A.R’ itu kayaknya… kata ibu Rani HRD, dia dulu karyawan tapi tidak jelas asal usulnya."
" Lalu ? "
" Sudah meninggal..."
" What ? is died ? Olala, "Wajah Bram mengkerut pucat, " kamu jangan ngarang Nadira, mana ada orang mati bisa mengirim WA."
"Bapak boleh tanyakan dengan Ibu Rani, saya dapat info dari beliau."
Laki laki bertubuh gemuk itu terdiam kelu, matanya kelilipan kaya orang kena ayan.
"Dan alamat yang dia kirim lewat pesan—selalu merujuk ke suatu tempat yang sama.”
Bram meremas-remas rambut tipisnya di hiasi ketombe. “Bapak sampe uninstall WhatsApp kemarin, taunya tetep masuk lewat SMS! Dasar makhluk asuhan Bill Gates .”
“Tapi kenapa cuma kita, Pak?” tanya Nadira bergetar. “Kenapa cuma kita berdua di kantor ini yang… diganggu?”
Bram menyelisik wajahnya, tatapan yang biasanya sinis, kali ini melembut, jujur, dan penuh beban. “Nad…selama ini bapak emang suka jahilin Raga. Bercanda kejam, nyinyir sana-sini. Bapak tahu itu. Lalu Raga minta izin pulang kampung, tapi semenjak dia pergi…” Bram menarik napas panjang. “perasaan bapak selalu tidak tenang seakan akan ada perasaan bersalah menyerang.”
“Seperti apa?”
Bram menunduk, mengaduk aduk gelas kopinya yang sudah dingin dengan jarinya, " Ada perasaan aneh… bahwa dia nggak akan pernah kembali lagi.”
Sunyi menyergap ruangan itu, padat dan berat. ponsel Bram bergetar pelan di atas meja.
Nadira refleks mencondongkan badan.
Di layar, hanya ada satu baris pesan dari pengirim yang sama, Inisial yang sama.
A.R: “Bukan hanya kalian yang mencari. Aku juga.”
Wajah Bram lemas pucat pasi. “Dir…”gumamnya gemetar, “kita… kayaknya selama ini kebanyakan nyinyir sama Raga.”
Nadira melotot, tapi matanya penuh ketakutan, bukan amarah, “Ini udah bukan sekadar nyinyir lagi,Pak, tapi semacam signal dari kampung koto Tuo nyampe ke sini, ke kita.”
Mereka saling menatap bukan sebagai atasan dan bawahan. Tapi dua orang yang terjebak dalam teror yang sama—sebuah benang tak kasat mata yang mulai mengencang.
Apa pun yang terjadi pada Raga di Kuto Tuo…
gelombangnya sudah sampai melintasi jarak menerobos mimpi menyusup ke layar ponsel dan menjangkau mereka.
Dan A.R—siapa pun, atau apa pun itu—telah resmi mengikat mereka dalam sebuah misteri yang tak lagi bisa mereka abaikan, apalagi lari darinya.
\=\=
Malam yang sunyi dikamar kosnya, gadis itu menatap layar ponsel yang masih menyala, dihantui oleh dua huruf itu.
A.R.
Inisial berputar di kepalanya, seperti mantra yang tak sengaja diingat. Ia tidak mengenal siapapun dengan nama itu—bukan teman kantor, bukan kenalan keluarga, bukan bagian dari hidupnya. Namun, entah mengapa, dua huruf itu terasa seperti sesuatu yang sudah lama mengintai di pinggiran kesadarannya.
Di tengah rasa takut dan rasa penasaran yang membara, Nadira membuka kembali pesan aneh itu. Ia menekan lama pada deretan angka yang tampak acak, yang ikut dikirim setelah pesan ancaman—atau peringatan?—dari A.R.
Sekilas, angka-angka itu tampak seperti kode spam biasa.Tapi ketika ia menyalin dan menempelkannya ke kolom pencarian Google Maps…Peta terbuka perlahan, zoom in secara otomatis berhenti di satu titik. Sebuah titik yang seharusnya asing, tapi entah kenapa terasa seperti kenangan yang terselip.
“Sumatra Barat…” gumamnya lirih.
Napasnya tak teratur saat menatap peta itu,
Koto Tuo. Lokasi itu persis di pusat kampung yang muncul dalam mimpinya, jembatan bambu yang rapuh, rumah-rumah panggung tua dan kabut yang tak pernah benar-benar hilang.
Gambarnya seperti potongan memori yang bukan miliknya, tapi terpasang paksa di dalam kepala.
“Ini nggak mungkin…”Ia mencoba menarik napas panjang, tapi dadanya terasa sesak. Lalu muncul satu pikiran yang tak bisa ia tahan:
" Aku harus ngomong sama Pak Bram"
Sekuat apapun dia berusaha bersikap rasional, tubuhnya sendiri memberontak—ia tak bisa menanggung semua ini sendirian.
---
Pagi ini ruang divisi masih sepi ketika Bram tiba. Penampilannya berantakan: kemeja kusut, rambut tak tersisir rapi, dan—entah bagaimana—sebuah sisir kecil masih tersangkut di bagian belakang lehernya, seolah-olah ia lupa melepasnya setelah gagal merapikan diri.
Matanya langsung melebar penuh kepanikan melihat Nadira, “Nad! Kamu semalam… mimpi aneh juga nggak?” Suaranya bergetar takut pada udara itu sendiri.
Gadis itu segera menarik kursi dan duduk
“Pak…saya harus cerita, seseorang mengirim titik koordinat. Dari nomor yang sama—A.R. Dan ketika saya buka di maps, —”
“Koto Tuo?”
Nadira membeku. “Kok Bapak tahu ? …Bapak juga dapat?”
Ia mengangguk pelan napasnya pendek-pendek. “Sama persis, Dir. Sama. Dan semalam…” Ia menurunkan suaranya lebih rendah lagi, “ada perempuan berdiri di sudut kamar bapak.”
Nadira menatapnya lemah, matanya mengecil.“Perempuan?Dia bicara sesuatu dengan bapak ?”
" Gimana mau bicara, Nad, " Bram menggeleng cepat, " bapak saja sudah ketakutan."
" Lalu ? "
"Dia cuma berdiri di sana… sambil tersenyum. " Bram meremas-remas ujung kemejanya berusaha memutus kenyataan. “Bapak hampir pingsan kencing di celana.”
Nadira tersenyum tipis tidak terganggu oleh lelucon gelap Bram. “Pak…menurut Bapak apakah semua ini ada hubungannya dengan Raga?”
Bram menatapnya tajam tidak biasanya. Tak ada nada bercanda, tak ada tatapan iseng yang biasa ia berikan. Hanya ketakutan yang polos, mentah. “Percaya atau enggak, Nadira… sejak Raga pulang ke kampung, kita berdua terseret ke dalam masalah besar.”
“Terus…kenapa cuma kita berdua?”
“Bapak juga nggak tahu,” desis Bram parau. “Tapi satu hal yang pasti, Dir…”tubuhnya condong ke depan, bisikannya seperti pisau dingin: “A.R itu bukan orang biasa.”
“Dan kita…belum tentu dipilih karena alasan yang baik.”
Nadira kembali menatap layar ponselnya.
Titik koordinat itu masih berkedip pelan, seperti denyut nadi dunia lain, seakan-akan sebuah pintu telah dibuka, perlahan-lahan.
Dan mereka berdua—dengan segala rasa bersalah dan ketakutan—hanya bisa menunggu, menebak-nebak siapa yang akan dipanggil untuk melangkah masuk lebih dulu.