Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Daging dan Keajaiban Marinasi
Darah di pembuluh nadi Han Qiu terasa membeku, lalu mencair menjadi air es yang mengalir lambat ke seluruh tubuhnya. Pertanyaan Gao bukan sekadar pertanyaan; itu adalah vonis yang menunggu untuk dibacakan.
Bau itu—aroma kemenangan yang ia peluk beberapa jam lalu—kini menjadi hantu yang mencekiknya. Aroma kacang panggang yang hangat dan gurih menempel di serat-serat kain seragamnya yang kasar, sebuah bukti kejahatan yang tidak bisa ia sangkal.
Otaknya berputar, mencari kebohongan di antara ribuan kemungkinan yang melintas. Mengaku? Mati. Menyangkal? Bodoh, karena baunya nyata. Ia butuh kebohongan ketiga. Kebohongan yang begitu aneh, begitu tidak masuk akal dalam konteks kuliner, sehingga mungkin saja bisa dipercaya.
"Itu... itu bukan bau makanan, Nyonya Kepala Koki," jawab Han Qiu, suaranya ia paksa keluar dengan nada serak dan sedikit gemetar, seolah ia sedang menahan sakit.
Ia menundukkan kepalanya lebih dalam lagi, memastikan Gao hanya bisa melihat puncak kepalanya yang tertutup rambut kusam.
"Itu... ramuan obat."
"Obat?" Gao mengulang kata itu dengan nada mengejek yang menusuk.
"Dapurku adalah apotek paling murni di seluruh kekaisaran. Obat apa yang bisa menghasilkan bau seperti ini? Bau gelandangan yang memanggang tikus di pinggir jalan?"
"Ramuan untuk pegal linu, Nyonya," lanjut Han Qiu cepat, ceritanya mulai terbentuk dari kepingan-kepingan keputusasaan.
"Punggungku sakit sekali setelah mengangkat kuali-kuali berat. Salah satu bibi pelayan tua memberiku resep. Campuran akar-akaran yang harus ditumbuk dan... dan dipanaskan hingga kering di atas batu hangat, lalu dibalurkan."
Gao terdiam.
"Angkat kepalamu," perintah Gao.
Dengan enggan, Han Qiu mengangkat wajahnya. Matanya bertemu dengan mata Gao yang dingin dan tanpa emosi. Dalam sepersekian detik itu, sebuah ide gila melintas di benaknya.
Di dalam lengan bajunya, terselip sebuah botol porselen kecil seukuran ibu jari—hadiah dari seorang pelayan binatu sebagai ucapan terima kasih karena Han Qiu pernah membantunya.
Isinya minyak bohe, minyak mint, yang biasa dipakai untuk meredakan sakit kepala.
Dengan gerakan yang ia samarkan sebagai gestur gugup menggaruk pergelangan tangan, Han Qiu berhasil membuka tutup botol itu dengan ujung kukunya dan mengoleskan sedikit minyak ke telapak tangannya.
Gao melangkah lebih dekat, mengabaikan jarak pribadi. Ia membungkuk lagi, hidungnya yang tajam kini hanya beberapa senti dari leher Han Qiu.
Ia mengendus.
Aroma kacang panggang itu masih ada, samar tapi nyata.
"Bau tanah," desis Gao,
"tapi ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang..."
Tepat pada saat itu, Han Qiu mengangkat tangannya yang sudah beraroma mint ke dekat wajahnya, berpura-pura menyeka keringat dingin di pelipisnya. Aroma tajam, dingin, dan menusuk dari minyak mint langsung menguar ke udara, menyerang indra penciuman Gao yang sensitif.
Gao tersentak mundur sedikit, wajahnya berkerut jijik.
"Bau apa lagi ini?!"
"Ini... ini bagian akhir dari ramuannya, Nyonya," kata Han Qiu, menunjukkan telapak tangannya yang sedikit basah.
"Minyak bohe. Untuk mendinginkan kulit setelah dibalur ramuan panas. Kata bibi itu, panas dan dingin akan melawan rasa sakitnya."
Minyak esensial yang tajam, akar yang dibakar... itu filosofinya. Justru karena itulah, kebohongan itu berhasil. Gao tidak bisa membayangkan ada orang yang sengaja memasukkan aroma seperti itu ke dalam makanan.
Mata Gao menyipit. Ia menatap Han Qiu lama, lalu ke tangannya yang beraroma mint, lalu kembali ke wajahnya yang pucat. Ia tidak percaya sepenuhnya, tetapi ia juga tidak punya bukti. Bau gurih itu kini telah terkontaminasi oleh bau mint yang menusuk, menciptakan sebuah aroma aneh yang membingungkan.
"Aku tidak peduli ramuan iblis apa yang kau oleskan pada tubuh kotormu itu," kata Gao akhirnya, suaranya kembali datar dan dingin.
"Tapi jika setetes saja dari baumu itu mencemari bahan makanan suci di dapurku, aku akan mengulitimu hidup-hidup. Mengerti?"
"Mengerti, Nyonya Kepala Koki," bisik Han Qiu, jantungnya masih berdebar seperti genderang yang dipukul tanpa henti.
Gao menatapnya sekali lagi, lalu berbalik dengan gerakan anggun yang mematikan.
"Ikut aku."
Han Qiu tidak berani bertanya. Ia hanya mengikuti sandal sutra Gao yang melangkah tanpa suara di koridor yang remang-remang. Mereka berjalan melewati dapur utama yang sudah sepi, menuju sayap belakang tempat asrama para pelayan rendahan berada. Jantung Han Qiu mulai berdebar lebih kencang. Apa Gao akan menggeledah kamarnya? Jika ia menemukan sisa kacang, bahkan yang masih mentah, tamatlah riwayatnya.
Namun, Gao berhenti di tengah-tengah lorong asrama yang sempit dan pengap. Ia bertepuk tangan dua kali. Suaranya tajam dan keras, seperti letusan cambuk.
"BANGUN! SEMUANYA KELUAR!" teriaknya, suaranya menggema di dinding batu.
Dalam sekejap, lorong itu menjadi lautan kepanikan. Pintu-pintu reyot terbuka. Para pelayan dan koki rendahan, yang baru saja akan terlelap, keluar dengan wajah bingung dan ketakutan. Beberapa masih menggosok mata, yang lain buru-buru merapikan pakaian tidur mereka yang compang-camping. Li muncul dari kamar mereka, matanya membelalak ngeri saat melihat Han Qiu berdiri di belakang Gao.
"INSPEKSI!" seru Gao, matanya menyapu kerumunan yang gemetar itu.
"Aku mencium bau asing di istana ini. Bau pembusukan. Bau kemiskinan. Bau masakan ilegal!"
Kata-kata terakhir itu mendarat seperti batu di tengah kolam yang tenang, menciptakan riak ketakutan yang menyebar dengan cepat. Memasak di luar jadwal adalah kejahatan besar, setara dengan pencurian.
"Mulai dari ujung sana!" perintah Gao kepada dua mandor yang muncul entah dari mana.
"Periksa setiap kamar! Buka setiap peti, lihat ke bawah setiap ranjang! Aku mau tahu siapa tikus yang berani membangun sarang di lumbung padiku!"
Para mandor bergerak dengan brutal. Mereka menendang pintu hingga terbuka, membanting peti-peti kayu, dan menarik keluar kasur jerami yang tipis. Suara barang-barang yang dilempar dan bentakan-bentakan kasar memenuhi udara. Para pelayan hanya bisa berdiri diam, memeluk diri mereka sendiri dalam ketakutan.
Han Qiu menahan napas saat para mandor mendekati kamarnya dan Li. Jantungnya terasa seperti akan melompat keluar dari dadanya. Kacang-kacang itu... baskom berisi air cucian yang kotor... semua disembunyikan di bawah ranjang.
Salah satu mandor masuk ke kamarnya. Terdengar suara tendangan pada rangka kayu ranjang, lalu keheningan sesaat. Han Qiu memejamkan matanya, menunggu teriakan kemenangan sang mandor.
"Tidak ada apa-apa di sini, Nyonya!" lapor mandor itu setelah keluar.
"Hanya bau apek seperti biasa."
Han Qiu membuka matanya, bingung. Bagaimana mungkin?
Li menatapnya dari seberang kerumunan, memberikan sebuah anggukan kecil yang nyaris tak terlihat. Han Qiu kemudian sadar. Sebelum keluar tadi, Li pasti sudah bergerak cepat, memindahkan semua bukti ke tempat persembunyian yang lebih baik, mungkin di celah dinding yang longgar atau di bawah ubin lantai yang goyang. Kesetiaan kasim muda itu baru saja menyelamatkan nyawanya.
Inspeksi itu berlangsung selama setengah jam yang terasa seperti selamanya. Tentu saja, tidak ada yang ditemukan. Para pelayan di sini terlalu takut pada Gao untuk berani melakukan pelanggaran sebesar itu.
Wajah Gao mengeras saat mandor terakhir melaporkan kegagalan mereka. Kemarahannya yang tidak menemukan sasaran kini meluap, siap menenggelamkan siapa saja. Ia melangkah maju, menatap setiap wajah di lorong itu satu per satu.
"Dengarkan aku baik-baik, kalian semua," desisnya, suaranya rendah namun mematikan.
"Mungkin malam ini aku tidak menemukan sumber baunya. Tapi telingaku ada di mana-mana. Mataku melihat segalanya. Dapur ini adalah kuil, dan aku adalah pendeta tertingginya. Makanan yang kita sajikan adalah doa. Doa kemurnian untuk Putra Langit."
Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap.
"Jika aku mendengar, atau mencium, atau bahkan hanya bermimpi bahwa ada salah satu dari kalian yang berani memasak sesuatu di luar buku panduan... jika ada yang berani membawa masuk rasa-rasa jalanan yang vulgar dan kotor ke dalam kuil ini..."
Tatapan matanya terkunci pada Han Qiu.
"Aku tidak akan hanya memecat kalian. Aku akan memastikan kalian menjadi contoh. Aku akan menyeret kalian ke halaman tengah, dan di hadapan semua orang, aku akan memerintahkan agar kalian dicincang. Dicincang seperti daging sapi yang tidak murni, hingga tulang dan urat kalian tidak bisa lagi dibedakan."
Ancaman itu begitu gamblang, begitu brutal, hingga beberapa pelayan muda mulai terisak pelan. Udara terasa berat, dipenuhi oleh teror murni.
"Sekarang kembali ke kandang kalian," perintah Gao.
"Dan berdoalah agar aku tidak pernah mencium bau asing itu lagi."
Dengan itu, ia berbalik dan melangkah pergi, jubah putihnya lenyap ditelan kegelapan koridor, meninggalkan keheningan yang pekat dan bau ketakutan di belakangnya.
Para pelayan bergegas kembali ke kamar mereka, tidak berani saling pandang. Han Qiu merasa kakinya seperti jeli. Ia baru saja selamat dari tepi jurang.
Ia melirik Li, yang memberinya isyarat untuk segera masuk ke kamar.
Ia melangkah menuju pintu mereka, kelegaan mulai membasuh dirinya.
Lolos.
Untuk saat ini, ia lolos.
"Pelayan Xiao Lu."
Suara Gao yang dingin dan tanpa emosi memanggilnya dari ujung lorong yang gelap. Ia tidak pergi. Ia menunggu di sana, dalam bayang-bayang.
Han Qiu membeku, punggungnya menghadap sang kepala koki. Seluruh tubuhnya menegang.
"Minyak mint-mu itu," lanjut Gao, suaranya terdengar lebih dekat, seolah ia sedang berbisik langsung di telinga Han Qiu.
"Baunya terlalu bersih. Terlalu dibuat-buat untuk menutupi bau dosa."
Han Qiu tidak berani berbalik.
"Besok pagi, setelah tugas mencuci selesai, kau akan membantuku langsung di dapur pribadiku. Kita akan memilah seratus kati biji teratai. Aku ingin melihat dari dekat... seberapa terampil tanganmu itu saat tidak sedang meracik 'obat'."