kisah nyata seorang anak baik hati yang dipaksa menjalani hidup diluar keinginannya, hingga merubah nya menjadi anak yang introvert dengan beribu luka hati bahkan dendam yang hanya bisa dia simpan dan rasakan sendirian...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widhi Labonee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ada apa ini Mbah?
#Tiga tahun kemudian...
Hari ini adalah hari perimaan rapor kenaikan ke kelas empat. Tiwi sedang gelisah menunggu kedatangan sang Ibu yang belum nampak sedari tadi. Sedangkan semua orang tua murid sudah duduk rapi di dalam kelas. Dengan muka menahan tangis Tiwi berlari ke arah pagar gerbang depan sekolah, dia melihat ke arah rumahnya. Apakah sang ibu sudah jalan ke sini?Tetapi tetap saja tidak ada tanda-tanda kedatangan sang ibu.
Dengan langkah gontai Tiwi kembali ke kelas dan duduk di bangkunya sendirian. Beberapa saat kemudian Pak Rahman selaku wali kelasnya menyampaikan bahwa rapat pembagian rapor akan segera dimulai. Pak Rahman sempat memandang ke arahnya kemudian bertanya," Loh, ibumu belum datang Tiwi?"
Gadis kecil itu pun menggelengkan kepala sembari menahan tangis. Pak Rahman mendekat mengusap pucuk kepalanya sembari berkata lagi," Mungkin Ibumu masih di jalan, sudah ya, Pak Guru tahu kamu berani sendirian, anak hebat, anak pintar! jangan menangis.."
Setelah menyampaikan beberapa patah kata sambutan, maka dimulailah panggilan satu persatu kepada murid beserta orang tuanya untuk menerima rapor. Hingga tiba nama Tiwi dipanggil. Dia berjalan ke depan kelas sendirian, menerima rapornya dengan hati berdebar sekaligus kecewa. Mengapa bukan ibunya yang mengambil sih?
Pak Rahman berkata lembut," Selamat ya Nduk kamu tetap jadi juara 1. Bahkan nilaimu jauh mengungguli teman-temanmu. Pertahankan prestasimu ya Nduk ! Kami semua bangga memiliki murid sepandai dirimu."
Tiwi hanya mengangguk pelan. Satu tetes air mata luruh di pipinya. Setelah bersalaman dengan wali kelasnya itu, dia pun berjalan gontai keluar dari kelas. Dilihatnya semua temannya sedang berbahagia melihat hasil rapor bersama orang tuanya masing-masing. Hanya dia yang sendirian, membuatnya tidak ada niat untuk membuka rapornya sendiri. Sampai sebuah suara panggilan dari temannya terdengar di telinganya.
"Kamu rangking berapa Wi? Nilaimu bagus lagi ya? Tapi mengapa kamu malah sedih?" tanya Heni yang didampingi ibunya. Tiwi diam saja dia cuma membungkukkan sedikit badannya sebagai tanda hormat dan sopan kepada orang tua Heni tanpa menjawab pertanyaan dari temannya tersebut. Air mata kembali menetes di pipinya yang sedikit chubby itu. Dia segera menjauh dari kelasnya menuju ke pintu keluar dan berjalan perlahan pulang menyusuri tepi jalan raya. Kaki mungilnya menendangi kerikil yang banyak terdapat di tepian jalan, sementara air matanya dibiarkan satu persatu luruh di pipinya.
"Sudah pulang kamu Wi?" sapa Mbak Darti dari depan pintu rumahnya.
Tiwi pun menoleh, dia hanya mengangguk kecil. Mbak Darti yang melihat ada air mata yang masih menetes di pipi gadis kecil itu segera beranjak dari tempatnya berdiri kemudian mendekati Tiwi.
"Hai Tiwi,,, Mengapa kamu menangis Nduk? Mengapa kamu bersedih? Sini mampir ke rumah Mbak Dar dulu.." ajak mbak Dar sembari merangkul gadis kecil itu agar mau masuk ke pekarangan rumahnya.
Seharusnya Mbak Darti itu dipanggil Bude oleh Tiwi, tetapi karena satu lorong sudah mengenalnya dengan nama Mbak Dar, maka biarpun anak kecil sampai orang dewasa memanggilnya Mbak Dar. Di rumahnya ada sebuah warung makan kecil tempat orang tuanya Mbak Dar yaitu Mak Ti menjual rujak dan es campur serta berbagai macam jajanan anak kecil. Diajaknya Tiwi duduk di bangku yang ada di dalam warungnya, kebetulan saat itu warung sedang sepi. Mak Ti tampak sedang sibuk rebus sayuran dan menggoreng tahu tempe.
"Ini minum dulu Nduk," ujar Mbak Dar sembari memberikan segelas es teh kepada Tiwi.
Gadis kecil itu mengusap air matanya kemudian menerima gelas es teh itu dan meminumnya perlahan-lahan.
"Coba ceritakan Kenapa kamu sedih nak. Mungkin Mbak Dar bisa membantumu?"
Tiwi mendongakkan kepalanya kemudian menggeleng kecil.
"Lho nggak apa-apa.. Coba kamu bilang saja, biar hatimu lega, jangan suka menyimpan perasaanmu sendirian. Karena hal itu akan menyebabkan mu sakit dan kembali masuk ke rumah sakit. Apakah kamu suka untuk diinfus lagi? Bukankah sakit itu tidak enak?" bujuk Mbak Dar kepada Tiwi.
Akhirnya gadis kecil itu memutuskan untuk bercerita mengenai apa yang sedang dirasakannya.
"Ng..anu, mbak Dar, aku sedih karena ibuku tidak bisa datang untuk mengambil raport. Padahal semua temanku orang tuanya datang di kelas. Hanya aku sendiri yang tidak didampingi orang tua.."
"Kasihan sekali kamu Nak.. tapi raportnya sudah dikasihkan ke kamu kan? Apa hasilnya? Boleh Mbak Dar lihat?"
Tiwi mengangsurkan buku rapor yang dipegang di tangannya. Mbak Dar menerimanya, kemudian melihat isinya. Dia sangat kagum dengan nilai-nilai yang tertera di situ, bahkan ada keterangan jika Tiwi adalah juara kelas dengan nilai terbaik.
"Kamu memang pintar sekali. Ibumu pasti bangga padamu. Apalagi wajahmu yang memang sangat mirip dengannya itu."
Tiwi mengerutkan keningnya kemudian bertanya," Maksudnya aku mirip dengan ibuku? Ya kan aku memang anaknya mbak Dar. Nggak mungkin lah aku mirip orang lain."
Mak Ti yang mendengar hal tersebut segera menyaut," Hush!! Sudah Dar!! Jangan diteruskan! Dia masih terlalu kecil untuk mengetahui hal yang sebenarnya. Jangan sampai mulut embermu itu membuat Rianti dan Dek Mirah marah!"
"Tapi Bu.. dia berhak tahu mengenai kebenaran dalam hidupnya.."
"Ya iya...tapi nanti jika agak besar sedikit lah Dar. Sudah! Nggak usah kamu ikut campur urusan keluarga orang lain Dar! Kok nggak kapok-kapok kamu kena semprot oleh keluarga mereka.." putus Mak Ti.
Mbak Dar pun diam beberapa saat, kemudian dia mengalihkan pembicaraan pada Tiwi.
"Oh iya, akhir-akhir ini aku melihat seorang lelaki yang sering bertamu ke rumahmu eh bukan sih, dua orang ya? Bukankah yang satu yang selalu memakai sedan warna hijau metalik kalau nggak salah. Kamu kenal dia Wi?"
Gadis kecil itu mengangguk.
"Iya mbak, yang sering membawa sedan itu namanya Pak Raka, dia sayang sekali sama aku, aku sering dibelikannya boneka. Katanya dia ingin menikahi ibu dan mau menjadi ayahku."
"Oh begitu ceritanya.."kata Mbak Dar menimpali.
"Kalau yang satu lagi aku tidak begitu mengenalnya Mbak Dar. Orangnya tidak ramah seperti pak Raka, selalu marah jika mau masuk ke rumahku. Karena ada Melky dan Boy katanya, juga selalu memarahiku bila aku menggendong Lupus. Aku nggak suka orang itu Mbak Dar dan Ibu Pun sepertinya tidak nyaman dengannya.."
"Heemm .. Ya namanya juga janda ya, pada akhirnya akan menjadi rebutan para lelaki. Kasian kamu Tiwi. Kalau saja dulu kamu ikut ibumu pasti nasibmu tidak akan seperti ini."
Tiwi kembali mengernyitkan dahinya," Lho, bukankah aku memang ikut ibuku Mbak Dar? Memangnya sekarang ini aku ikut siapa coba?"
"Ah sudahlah, nanti jika waktunya tepat aku akan menceritakan semuanya padamu. Sekarang kamu mau pulang atau mau makan rujak dulu di sini?" tanya Mbak Dar kemudian.
"Iya Nduk kalau mau makan rujak aku buatkan yang nggak pakai cabai," kata Mak Ti.
Tiwi menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
"Makasih Mak Ti ! Terima kasih Mbak Dar! Aku pulang dulu mau makan di rumah saja..." kemudian gadis kecil itu pun segera berlari menuju rumahnya yang hanya berjarak dua rumah dari tempat Mbak Dar tersebut.
Sesampainya di rumah dilihatnya ada sebuah motor yang dikenalinya sebagai motor Om Suyitno adik bungsu ibunya. Rumahnya berjarak sekitar 40 km dan berada di lereng gunung. Dia adalah seorang polisi yang bertugas di sana.
Ketika Tiwi masuk rumah, tampak sang Om sedang makan, ditemani oleh Bu Mirah.
"Eh cucuku sudah pulang.. sini salim dulu sama Om-mu, setelah itu ganti baju seragammu dan cepat balik ke sini Mbah suapin," titah Bu Mirah kepada Tiwi.
"Loh ini rapormu ya Nduk? Wah, hari ini kamu terima rapor ya? Coba lihat.."
Om Suyitno segera membuka rapor dan melihat nilai yang membuatnya terkagum-kagum, keponakan perempuan kecilnya ini memang tergolong anak yang cerdas. Semua nilainya nyaris sempurna. Ada keterangan bahwa dia naik kelas sebagai juara 1.
"Lihatlah Bu, Twi kembali juara 1. Jika Mas Effendi masih ada beliau pasti akan sangat bangga," katanya kepada Bu Mirah.
"Iya Le. Sebenarnya aku tidak rela jika Ismawan ingin membawanya kembali. Setelah hampir 8 tahun ini hidup bersamaku aku sangat menyayanginya. Dan aku sendiri lebih suka jika Rianti memilih Raka. Tetapi jika kebahagiaannya itu harus ditebus dengan kehilangan Tiwi, maka mau tidak mau aku harus mengikhlaskan Rianti menerima pinangan dari Ismawan."
Suyitno yang baru saja mencuci tangan setelah makan itu, berkata kepada ibunya," Kalau begitu, biarlah untuk sementara Tiwi aku bawa pulang Bu. Biar dia tinggal di sana sampai selesai semua urusan ini. Aku yakin Bapak pun tidak rela jika sampai Tiwi di bawa lari Ismawan."
"Iya Le, baju-bajunya sudah aku siapkan kok. Kamu nggak usah cerita apapun padanya. Bilang saja jika kamu mengajaknya liburan di rumahmu."
Tiwi muncul diberanda depan dapur itu dengan pakaian rumahannya. Di tangan Bu Mirah sudah ada sepiring nasi lengkap dengan ikan kesukaan Tiwi. "Sini Nduk, duduk dekat Mbah."
Tiwi pun patuh mengambil tempat duduk di kiri neneknya tersebut dan mulai menerima suapan nasi yang diberikan.
"Kamu hebat Tiwi, bisa jadi juara kelas. Om sangat suka sekali punya keponakan sepandai dirimu. Setelah ini kamu ikut ke rumah Om ya? Kita menghabiskan liburanmu di sana saja. Kamu bisa bermain bersama anak-anak Om dan kita juga bisa pergi ke rumah kakek," kata Suyitno kepada keponakannya ini.
Setelah menelan nasinya Tiwi bertanya kepada neneknya.
"Ibu ke mana Mbah? Kenapa dia tidak datang mengambil raporku? Tadi aku menangis di kelas, karena semua temanku orang tuanya datang. Hanya aku seorang diri yang tidak didampingi oleh orang tua. Aku sedih Mbah.. Terus kenapa sekarang Ibu tidak ada? Ibu pergi ke mana? Dan mengapa aku harus ikut ke rumah Om di desa? Aku tidak mau pisah darimu Mbah.. Aku hanya ingin menghabiskan liburanku di sini saja bersama dengan Lupus, Melky dan Boy," ungkap Tiwi dengan nada sedih.
Mbah Mirah mengusap rambut panjang Tiwi yang dikepang dua itu sembari berkata," Maafkan ibumu Tiwi.. tadi dia mendadak ada urusan ke kota sehingga dia tidak bisa datang mengambil rapormu, besok dia baru pulang. Daripada kamu sendirian di sini lebih baik kamu ikut Om kamu ke desa, biar kamu bisa bermain bersama sepupumu dan juga pergi ke rumah kakekmu. Bukankah di sana sedang musim durian juga banyak jeruk dan jambu yang sudah masak."
"Benarkah apa yang dikatakan nenek Om? Sudah banyak buah yang matang di sana?"
Suyitno mengangguk sembari tersenyum," Iya sayang nanti kita juga akan pergi memancing dan memotong bebek serta ayam. Pokoknya kamu bisa sejenak melupakan sedihmu di sini."
"Tapi bagaimana dengan Lupus, Melky dan Boy? Mereka akan kesepian jika aku tidak ada di rumah Mbah?"
"Jangan kuatir, Mbah yang akan merawat mereka semuanya, menemani mereka di rumah."
Setelah selesai makan, Mbah Mira segera menyiapkan Tas berisi pakaian milik Tiwi yang diserahkan kepada anak lelaki bungsunya itu.
"Jaga dia untukku ya Le. Aku yang dulu memintanya kepada ibunya untuk aku rawat dan besarkan seperti cucuku sendiri. Biarkan dia aman di sana dulu sampai Riyanti bisa menyelesaikan permasalahannya dengan Ismawan."
Tiwi hanya bisa memandangi neneknya. "Ada apa ini mbah? Kenapa sepertinya aku disuruh pergi dari rumah ini? Apa salah aku? Ataukah karena aku nakal?" tanyanya kepada sang nenek.
Meskipun dia tidak paham arti omongan dari kedua orang dewasa ini, tetapi sedikit banyak dia merasa jika dia harus pergi sesegera mungkin dari rumah ini. Entah apa sebabnya.
"Oalah nggak ada apa-apa Nduk. Mbah cuma ingin kamu berlibur. Hati-hati di sana dan jangan nakal ya. Kamu bantu tantemu untuk menjaga adik-adikmu jika Om-mu pergi ke kantor. Dan juga jangan nakal jika kamu pergi ke rumah kakekmu. Karena nenek tirimu itu tidak terlalu suka kepada anak kecil,"pesan Bu Mirah kepada Tiwi. Gadis kecil itu pun mengangguk, segera dipeluknya erat-erat tubuh Sang Nenek kesayangannya ini, kemudian diciumnya pipi yang mulai keriput itu.
" Aku sayang kamu Mbah.. Aku pergi dulu ya.. Mbah baik-baik dirumah, pamitkan ke Ibu ya Mbah.."
"Iya... hati-hati di jalan..."
Dengan diiringi tatapan dan doa yang tulus dari Bu Mirah, kedua orang itu pun pergi meninggalkan rumah menuju ke desa di lereng gunung. Di sana ada mantan suami Bu Mirah yang sudah menikah lagi dengan seorang perempuan yang sangat judes dan lumayan buruk tabiatnya. Ayah dari Riyanti dan Suyitno itu menjadi Kepala Desa selama bertahun-tahun di desa di lereng gunung itu. Dia bercerai dengan Bu Mirah setelah ketahuan berselingkuh dengan perempuan yang sekarang dinikahinya itu. Sehingga Bu Mirah memutuskan untuk kembali pulang ke desa ini dan tinggal bersama Riyanti membantu merawat dan membesarkan Tiwi.
...----------------...
Siapakah Ismawan? Mengapa dia ingin mengambil Tiwi?