NovelToon NovelToon
Obsesi Tuan Adrian

Obsesi Tuan Adrian

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / CEO / Diam-Diam Cinta / Mafia / Cintapertama / Balas Dendam
Popularitas:705
Nilai: 5
Nama Author: Azona W

Di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur, hidup mereka terikat oleh waktu yang tak adil. Pertemuan itu seharusnya hanya sekilas, satu detik yang seharusnya tak berarti. Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Hati mereka saling menemukan, justru di saat dunia menuntut untuk berpisah.

Ia adalah lelaki yang terjebak dalam masa lalu yang menghantuinya, sedangkan ia adalah perempuan yang berusaha meraih masa depan yang terus menjauh. Dua jiwa yang berbeda arah, dipertemukan oleh takdir yang kejam, menuntut cinta di saat yang paling mustahil.

Malam-malam mereka menjadi saksi, setiap tatapan, setiap senyuman, adalah rahasia yang tak boleh terbongkar. Waktu berjalan terlalu cepat, dan setiap detik bersama terasa seperti harta yang dicuri dari dunia. Semakin dekat mereka, semakin besar jarak yang harus dihadapi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azona W, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Babak Pertama

Hujan akhirnya berhenti menjelang siang, menyisakan kabut tipis yang menggantung di pekarangan Petunia Hill.

Rumah itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Sunyi yang bukan damai, melainkan sunyi yang memerangkap napas.

Elena duduk di meja makan, ditemani secangkir teh yang sudah dingin. Di depannya tergeletak sebuah kotak kecil berwarna coklat muda. Kotak yang ia temukan tadi pagi di dalam tas lamanya, berisi barang-barang yang dulu milik ayahnya.

Kotak itu sempat lupa ia bawa saat pindah rumah. Kini, ia merasa takut membukanya… namun lebih takut lagi jika tidak membuka sama sekali.

Adrian masuk dari arah dapur, rambutnya masih sedikit basah.

Ia memandang kotak itu, lalu memandang Elena.

“Kau yakin mau melihatnya sekarang?” tanyanya lembut.

Elena mengangguk pelan. “Aku harus tahu, Adrian. Jika ayahku memang pernah terseret dalam dunia Cassian… aku perlu melihat jejak apa yang tertinggal.”

Adrian duduk pelan di sebelahnya. Ia tidak menyentuh kotaknya, seolah itu benda paling rapuh di dunia. “Kalau ada hal yang menyakitkan di dalamnya… kau tak harus memaksakan diri. Aku ada di sini.”

Elena mencoba tersenyum. “Justru karena kau di sini aku berani.”

Ia membuka kotaknya perlahan. Bau kertas tua dan kayu lembap menguar.

Di dalamnya… beberapa nota pembayaran utang, tiga kartu nama dari perusahaan-perusahaan berbeda, surat singkat yang sudah menguning, dan sebuah foto kecil dirinya bersama sang ayah

Elena memungut foto itu dulu.

Di gambar itu, ia masih berusia sekitar enam belas tahun.

Ayahnya memeluk bahunya sambil tersenyum ke kamera. Senyum hangat yang sudah lama tak ia lihat sebelum kematian pria itu.

Elena menutup mulut, menahan isak.

“Dia selalu terlihat kuat di depanku… tapi dia sudah hancur di dalam.”

Adrian menyentuh punggung tangannya lembut. “Elena…”

Ia menggeleng pelan.

“Aku terus berpikir… kalau saja aku memperhatikan lebih baik. Kalau saja aku bertanya. Kalau saja aku tidak sibuk menutupi rasa sakitku sendiri waktu itu…”

“Elena.” Adrian menggenggam tangannya. “Kau tidak bersalah. Kau anaknya. Bukan penjaganya.”

Elena menatapnya, air mata jatuh lagi. Namun ia memaksakan diri melihat isi kotak selanjutnya.

Ia mengambil selembar nota utang.

Tanggalnya…

Tiga tahun lalu.

Jumlahnya… sangat besar.

Terlalu besar untuk seorang pria yang hanya bekerja di bengkel.

Adrian memutar kursi mendekat. “Boleh kulihat?”

Elena menyerahkannya.

Adrian membaca cepat, alisnya mengerut.

“Ini bukan nota dari pemberi pinjaman biasa. Formatnya… terlalu rapi.”

Elena mengerutkan kening. “Rapi?”

“Cassian selalu memakai pihak ketiga untuk meminjamkan uang pada orang yang ia pantau,” Adrian menjelaskan. “Supaya mereka bergantung padanya tanpa sadar.”

Elena merasakan perutnya menegang. “Jadi… ayahku dipinjami uang oleh orang Cassian… tanpa tahu dia sedang diawasi?”

“Bisa jadi,” Adrian mengangguk. “Atau dia tahu, tapi tidak punya pilihan.”

Elena memijat kening. “Ayahku tidak pernah bilang apa pun. Tidak pernah minta bantuan. Dia bahkan tak pernah menyebut nama siapa pun terkait utangnya.”

Adrian menatapnya penuh iba. “Itu bukti dia berusaha melindungimu.”

Elena menghela napas gemetar.

Sebastian muncul dari arah ruang tamu. “Seharusnya aku tahu kalian sedang membongkar masa lalu.”

Adrian menoleh, separuh kesal. “Kalau kau mau mengoceh, jangan lakukan sekarang.”

Sebastian mengabaikannya.

Ia mendekat dan mengambil salah satu kartu nama di kotak itu.

Matanya menyipit.

“Kartel finansial kecil,” gumamnya lirih. “Dipakai Cassian dua tahun sebelum kalian bertemu… untuk mengikat beberapa target.”

“Target?” Elena mengulang.

Sebastian mengangguk. “Orang-orang yang tidak punya apa pun, tapi bisa dimanfaatkan dari sisi emosional atau sosial.”

Elena menelan ludah.

“Jadi ayahku… hanya pion?”

“Tidak.” Adrian memotong cepat. “Jangan pernah bilang begitu.”

Sebastian menghela napas panjang. “Adrian benar. Cassian tidak pernah menjadikan orang-orang itu pion. Dia menjadikan mereka senjata emosional.”

Elena menegang. “Apa maksudmu?”

“Dia tidak perlu menyentuhmu,” Sebastian berkata pelan. “Dia tinggal menyentuh orang yang kau cintai. Dengan cara apa pun yang membuatmu jatuh… atau melakukan apa yang ia mau.”

Elena menggenggam foto ayahnya erat-erat, hampir meremasnya.

Adrian meletakkan tangan di bahunya. “Elena… aku berjanji—apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkan Cassian menyentuh hidupmu lagi.”

Elena menunduk, air matanya jatuh begitu saja.

“Aku hanya…” Suaranya pecah. “Aku ingin ayahku tahu… kalau aku mengerti perjuangannya. Kalau aku tidak membencinya.”

Adrian memeluknya perlahan. Tak memaksa. Tak menuntut. Hanya membiarkan Elena tenggelam dalam pelukan yang ia butuhkan.

Sebastian menatap keduanya dengan wajah yang jarang. Hampir seperti rasa iba.

Namun kemudian ekspresi itu hilang, berganti dengan ketegangan.

Ia menoleh ke arah jendela.

“Adrian,” panggilnya pelan. “Sesuatu berubah.”

Adrian melepaskan pelukan, menoleh cepat. “Apa?”

Sebastian mendekat ke jendela, menurunkan tirai sedikit.

“Selama seminggu terakhir, Cassian hanya mengawasi dari jauh. Tapi pagi ini…”

Ia menatap halaman luar yang berkabut.

“…dia mulai menggerakkan pion-pionnya.”

Elena merasa kulitnya merinding. “Apa maksudmu?”

Sebastian membalikkan badan perlahan.

“Mobil hitam itu,” katanya tenang, “bukan milik tetangga. Dan platnya tidak berasal dari kota ini.”

Adrian berdiri, matanya berubah tajam. “Kau lihat siapa di dalamnya?”

Sebastian mengangguk, wajah mengeras.

“Ya. Orang Cassian. Yang dulu mengantar lily putih itu.”

Elena membeku.

Adrian berdiri di depan Elena, melindungi secara refleks. Suaranya rendah dan gelap.

“Ini artinya apa, Sebastian?”

Sebastian menarik napas panjang.

“Ini artinya,” katanya,

“Cassian sudah siap masuk ke babak pertama.”

 

1
Mentariz
Penasaran kelanjutannya, ceritanya nagih bangeett 👍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!