Selina harus menerima kenyataan bahwa dirinya ternyata menjadi istri kedua. Tristan suaminya ternyata telah menikah siri sebelum ia mempersuntingnya.
Namun, Selina harus berjuang untuk mendapatkan cinta sang suami, hingga ia tersadar bahwa cinta Tristan sudah habis untuk istri pertamanya.
Selina memilih menyerah dan mencoba kembali menata hidupnya. Perubahan Selina membuat Tristan perlahan justru tertarik padanya. Namun, Selina yang sudah lama patah hati memutuskan untuk meminta berpisah.
Di tengah perjuangannya mencari kebebasan, Sellina menemukan cinta yang berani dan menggairahkan. Namun, kebahagiaan itu terasa rapuh, terancam oleh trauma masa lalu dan bayangan mantan suami yang tak rela melepaskannya.
Akankah Sellina mampu meraih kebahagiaannya sendiri, atau takdir telah menyiapkan jalan yang berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Keluarga besar.
Hubungan Erza dan Nathan di mulai jauh sebelum Nathan menikahi Valentina. Erza entah mengapa merasa Nathan tidak tulus mencintai Valen. Selalu ada yang membuatnya ragu, dulu Erza sering meminta sang kakak agar mempertimbangkan lagi pernikahan itu, namun Valen tak pernah menghiraukannya.
Kini setelah Nathan bergabung di hotel baru ia tahu jika Nathan memang punya niat buruk, hanya saja Erza masih mengumpulkan bukti.
Suasana di meja makan bagaikan medan perang bagi mereka berdua. Saling tatap tajam seolah hanya ada mereka.
"Sudah cukup!" sela Dania, tangannya menepuk pelan meja.
Erza lantas segera menatap ke arah lain begitu juga Nathan. Tangan Valen menepuk pundak suaminya itu agar bersabar.
"Mama sudah lama memikirkan ini, dan hanya Erza satu-satunya yang mau mengambil alih. Kalian kan tau Valentina gak mau berurusan dengan hotel."
Tatapannya penuh harap saat menatap Erza. "Jadi tolong, sudahi semua hubunganmu dengan gadis-gadis gak jelas itu. Mulailah cari yang serius, kamu sudah kepala tiga mau sampe kapan, Erza?"
Saat melihat ekspresi ibunya yang seakan memohon Erza akhirnya luluh. "Baiklah, aku akan kurangin. Kalau buat berhenti sepenuhnya aku pikir-pikir dulu ya, Ma."
Dania sekali lagi hanya bisa menghela nafas saat anaknya sulit di ajak bicara serius.
"Dan Nathan. Mama harap kau bisa awasin Erza buat mama. Bantuin dia di hotel, ya," pintanya, suaranya lembut.
Nathan mengangguk pelan seraya menyesap kopi hitamnya.
****
Pagi itu, mentari menyapa dengan cahayanya yang cerah, namun kehangatannya gagal mencairkan atmosfer dingin di antara Tristan dan Sellina.
Di pagi yang menyegarkan, udara yang berhembus seakan membawa semangat, tetapi justru memperjelas tembok tebal kecanggungan yang memisahkan dua orang itu.
Pikiran Tristan masih terbayang tubuh mulus Sellina, memori malam yang seharusnya tidak pernah terjadi itu terus berputar di benaknya.
Saat mereka bertemu, tak satu pun berani menatap mata yang lain. Sellina turun terlebih dahulu dengan membawa beberapa barang di tasnya. Ia tanpa sepatah kata pun langsung masuk ke dalam mobil, memilih kursi belakang.
Sementara Reykha dan Tristan masih sibuk menyiapkan barang yang akan dibawa. Setelah semua siap, Tristan bersiap berangkat. Reykha mendekat, mencium tangan dan kedua pipinya. Bahkan, mereka berciuman tepat di depan pintu mobil — sebuah tindakan yang terasa sengaja dilakukan, memastikan Sellina, yang kini hanya terlihat dari pantulan kaca spion, melihatnya.
"Hati-hati ya sayang. Jangan lupa kabari aku kalau udah sampai, ya?" Reykha melambaikan tangan dengan senyum yang dipaksakan ceria saat Tristan memasuki mobilnya.
Perjalanan mereka cukup melelahkan. Lima jam jika ditempuh jalur darat, karena rumah ibu Tristan berada di beda kota.
Mobil segera melaju meninggalkan kediamannya, melesat membelah jalanan yang padat. Weekend di jantung kota jelas padat merayap, banyak orang melakukan perjalanan untuk liburan, menambah sesak udara dan bising klakson.
Di dalam mobil, keheningan terasa mematikan, lebih berat dari kemacetan di luar. Tristan merasa tercekik oleh udara yang tebal. Ia memberanikan diri.
"Tentang semalam ..."
Tristan berusaha memulai percakapan, karena suasana di dalam seakan menyesakkan paru-parunya. Namun, belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Sellina segera memotongnya. Suaranya datang dari belakang, datar dan dingin.
"Gak usah dibahas. Aku udah gak mikirin itu," ucap Sellina, "tapi lain kali tolong, jangan diulang."
Sorot matanya, saat sekilas bertemu Tristan melalui kaca spion, seakan tak peduli. Itu adalah campuran antara kekecewaan dan penolakan yang keras.
Tristan terdiam. Tangannya mencengkeram kemudi lebih erat. Penolakan itu, meski diucapkan dengan nada tenang, terasa seperti tamparan. Ia melirik Sellina lewat spion, mencoba mencari jejak emosi, tapi Sellina sudah mengalihkan pandangan ke luar jendela, seolah pemandangan yang bergerak lebih menarik daripada keberadaannya.
Lima jam lagi, pikir Tristan getir. Lima jam yang terasa seperti tiada ujungnya, terjebak dalam ruang sempit bersama wanita yang perasaannya sendiri ia hancurkan, dan wanita yang kini menjadi penampung semua rasa bersalahnya.
Sellina menarik napas panjang, membiarkan kemarahan dan kecanggungan meredam. Ia memutuskan mendengarkan murotal, lantunan ayat suci yang menenangkan, memasang headset dan memejamkan mata, mencoba mencari ketenangan di tengah bisingnya kemacetan. Tak butuh waktu lama, ia mulai terbuai dalam mimpi.
Entah sudah berapa lama ia tertidur, Sellina perlahan mulai sadar karena mobil tengah berhenti total. Ia mengerjap, matanya menyipit saat cahaya sore yang keemasan menyilaukan memenuhi rongga matanya.
Tangannya menyentuh sesuatu yang lembut dan hangat yang menutupi tubuhnya, jelas selimut itu bukan miliknya. Aroma maskulin yang familiar samar-samar tercium. Jantungnya berdesir halus. Matanya mencari sosok Tristan di kursi pengemudi, namun ia tak menemukannya.
Sellina menegakkan tubuh, menoleh ke luar jendela. Di sana, ia melihat Tristan keluar dari dalam supermarket kecil di area rest area tersebut, dengan membawa beberapa kantong plastik penuh. Wajahnya terlihat sedikit lelah, namun matanya langsung tertuju pada Sellina.
Senyumnya mengembang saat melihat Sellina sudah terbangun. Ia mengangkat tangannya seakan memberi tahu bahwa ia membeli beberapa barang.
Tristan segera melangkah mendekat dan membuka pintu belakang mobil. "Kau sudah bangun?" tanyanya terengah-engah, sedikit terburu-buru.
Tanpa menunggu jawaban, Tristan memasukkan semua makanan dan minuman ringan itu ke kursi belakang yang kini menjadi sesak. "Pindahlah ke depan," pintanya, suaranya sedikit lebih lembut dari sebelumnya. "Kau pasti enggak nyaman karena ada banyak barang sekarang. Aku mau mampir sebentar ke toilet, setelah itu kita jalan lagi."
Sellina tertegun sesaat. Perhatian kecil itu—selimut yang menutupinya, makanan yang dibeli, nada suaranya yang kini tak lagi tegang—melunakkan sedikit kekakuan di hatinya. Ia mengangguk samar, melepas headset, dan bergeser perlahan ke kursi depan.
Dengan perasaan bingung batin Sellina penuh tanya. 'Ada apa dengannya? Kenapa tiba-tiba sikapnya berubah. Terakhir kali kita ke rumah mama, aku minta berhenti sebentar aja dia cuekin. Ah, entahlah ....'
Mereka kembali melanjutkan perjalanan setelah Tristan kembali dari toilet. Namun, suasana kembali menegang, canggung tak terhindarkan.
Sellina kembali menutup diri, memilih memperhatikan pemandangan di luar jendela yang kini mulai berubah menjadi siluet pedesaan. Walaupun sikap Tristan kini perlahan berubah padanya—lebih perhatian, lebih lembut—namun sikapnya yang kejam selama ini tak akan pernah ia lupa. Luka itu terlalu dalam.
Tristan menoleh, senyum tipis, penuh penyesalan, menghiasi bibirnya. "Makanlah beberapa camilan. Nanti kamu lapar," tawarnya, tangannya menunjuk kantong plastik di belakang.
"Gak usah hiraukan aku, Mas. Fokus aja nyetirnya, biar cepat sampai," ucap Sellina singkat, tanpa menoleh. Nada suaranya dingin.
Lagi-lagi penolakan itu begitu nyata, menghantam Tristan tepat di ulu hati. Ia seakan merasa Sellina benar-benar tak lagi menyukainya seperti dulu.
Dulu, di sepanjang jalan, Sellina selalu mengajaknya bicara walau ia tak merespon, bahkan kadang ia dengan kasar menyuruhnya diam. Kini, Sellina lah yang memilih diam, dan keheningan itu terasa jauh lebih menyakitkan daripada rentetan ocehan manisnya dulu.
Tak ingin membuat Sellina semakin kesal, Tristan memutuskan mengabaikannya. Ia kembali fokus mengemudi, mencoba menghilangkan prasangka aneh dan rasa bersalah yang menggerogoti hatinya.
Akhirnya, setelah menempuh waktu yang cukup lama dan melelahkan, mereka tiba di kota yang mereka tuju. Pemandangan di sana jauh berbeda dari kota metropolitan tempat mereka tinggal.
Semakin jauh mereka memasuki inti kota tujuan, pemandangan mulai didominasi oleh bangunan-bangunan perusahaan tambang industri besar di beberapa titik. Udara yang mereka hirup terasa lebih berat dan kering. Langit senja tidak lagi berwarna jingga cerah, melainkan diselimuti kabut tipis kecokelatan yang pekat.
Sellina mencondongkan tubuh, menatap tak percaya. Dulunya, tempat itu hanyalah tempat sepi, asri, dan damai, dengan banyak hutan luas yang menjadi paru-paru kota. Namun kini, wajah kota itu telah tercabik-cabik.
Sudah banyak perusahaan tambang yang beroperasi, membuka hutan dan gunung untuk mereka olah, meninggalkan bekas luka berupa tanah merah dan gundukan material berat.
Di situlah tempat tinggal kedua orang tua serta keluarga besar Tristan. Walaupun sekarang tempat itu penuh pencemaran dan polusi, mereka enggan pindah, mengingat itu adalah tempat kelahiran mereka, tempat segala kenangan pahit dan manis terukir.
Saat mobil Tristan membelok ke jalanan kecil yang berdebu, melintasi rumah-rumah sederhana yang berdiri di antara sisa-sisa kehijauan yang tersisa, Sellina merasakan percampuran emosi, kesedihan atas rusaknya alam, dan kecemasan yang mendalam karena harus bertemu dengan keluarga ia cintai.
Di ujung jalan yang awalnya berdebu dan berkerikil, akhirnya mereka kembali ke jalan aspal yang mulus. Kontras itu terasa menenangkan.
Memasuki desa tempat tinggal ibunya, di sana rumah-rumah minimalis berjejer rapi dan cantik, menunjukkan kemakmuran lokal yang mungkin bersumber dari industri di luar.
Tepat di ujung jalan, terlihat kontras pemandangan rumah yang megah. Walaupun hanya memiliki satu lantai, rumah itu besar, luas, dan tampak terawat dengan baik. Inilah kediaman orang tua Tristan.
Di halaman depan, ada beberapa pendopo kecil yang kini sudah penuh dengan banyak orang. Mobil dan motor terparkir rapi, menandakan persiapan syukuran atau hajatan sedang berlangsung meriah. Suasana kekeluargaan langsung menyelimuti.
Tristan segera memarkirkan mobil tepat di samping rumah di garasi yang cukup luas. Begitu mesin dimatikan, keheningan di dalam mobil segera digantikan oleh bising ramah dari kerumunan di luar. Semua mata tertuju pada mereka, menantikan kedatangan pasangan muda yang lama dinanti itu.
Saat Sellina keluar, beberapa sanak keluarga, yang sebagian besar adalah budenya, segera menghampiri dengan wajah sumringah dan pelukan hangat.
"Alhamdulillah, kalian udah sampai, Ndok," seru Bude Tari, memeluk Sellina erat, aroma minyak kayu putih dan bedak tradisional tercium.
"Gimana di jalan? Mabuk enggak?" timpal Bude Lilis, berguyon sambil mencubit pipi Sellina pelan.
Sellina balas tersenyum bahagia, matanya berbinar tulus saat para budenya menyambutnya dengan suka cita. Kehangatan ini adalah hal yang paling ia rindukan dari keluarga Tristan.
"Alhamdulillah perjalanannya lancar, Bude. Aku juga enggak mabuk, kok," jawabnya sambil mengelus tangan salah satu budenya.
Namun, momen hangat itu tak bertahan lama. Selalu ada pertanyaan klasik yang mengiringi.
"Syukurlah kalau gitu. Tristan kelihatan kurusan, kamu urus dia yang bener, ya," ujar seorang ibu paruh baya yang baru saja mendekat, suaranya lebih keras dari yang lain. Matanya meneliti Sellina dari atas ke bawah.
"Iya, Ndok. Tapi, kok kalian masih berdua aja sih?" sahutnya lagi, nadanya berubah menjadi menggoda sekaligus menuntut. "Mbok cepat bertiga gitu loh! Jangan sibuk kerja terus, kasihan ibunya Tristan nunggu cucu!"
Seketika, senyum di wajah Sellina sedikit memudar. Wajah Tristan, yang baru saja selesai menurunkan tas, tampak menegang.
Sellina hanya bisa memaksakan senyum tipis, merasa sepasang mata keluarga besar itu kini menuntut jawaban yang tak mungkin ia berikan.
ditunggu kelanjutannya❤❤