Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 9.
Waktu terus berlalu, kejadian duka dan bahagia silih berganti. Beberapa bulan setelah Mbok Piyah meninggalkan Joglo. Seekor burung gagak tiba tiba terjatuh dan mati di halaman joglo.. dan setelah itu terdengar kabar Mbok Piyah meninggal dunia..
Namun satu tahun kemudian kabar bahagia datang.. Seorang prajurit TNI melamar Warastri....
Dan kini dua tahun pun telah berlalu.. hari hari berjalan seperti air yang terus menetes ke batu... perlahan tapi pasti meninggalkan jejak.
Joglo Kodasih masih berdiri, teduh dan tua, namun ruang ruangnya mulai kehilangan suara.
Warastri, yang sudah bersuami dengan seorang tentara yang sering berpindah tugas. Semakin jarang pulang ke Joglo
Awalnya mereka tinggal tidak jauh dari dusun Akar Wangi , masih bisa pulang satu bulan sekali. Tapi terakhir, penempatan sang suami membuat Warastri harus pindah jauh, dan mereka mulai sulit kembali ke dusun Akar Wangi.
Dan kini Warastri mengirim kabar. Ia ingin orang tuanya, Sanah dan Pardi, ikut tinggal bersamanya. Di kota tempat suaminya bertugas, dan ia akan melahirkan anak pertamanya, usia kehamilannya sudah lewat tujuh bulan.
Pagi itu gerimis kecil turun. Embun menempel tebal di daun kopi dan rumput rumput halaman.
Sanah berdiri di serambi joglo sambil menggenggam selendang tipis. Matanya sembab karena kurang tidur.
“Nyi… Warastri butuh ditemani. Dia sebentar lagi melahirkan,” ucapnya pelan.
Kodasih sudah tahu. Surat Warastri, yang datang tiga hari lalu, masih terlipat rapi di meja.
“Warastri itu anakmu sendiri. Tempat kalian adalah di samping dia,” jawab Kodasih lembut.
Pardi yang sejak tadi membereskan peralatan dapur berhenti mengikat tali buntelan. Ia menatap Kodasih, wajahnya berat.
“Nyi… saya sangat berutang budi pada Nyi... Tidak tega meninggalkan Nyi Kodasih seorang diri. Tapi keadaan memaksa. Kalau Warastri tinggal sendirian di rumah dinas, apalagi suaminya sering keluar tugas.. Dia tidak punya siapa siapa selain kami.”
Kodasih mengangguk pelan.
Tidak ada satu pun kata yang menyalahkan. Karena dalam dirinya ia tahu: seperti air sungai, anak anak memang akhirnya harus kembali ke sumber mereka.
Ketika siang menjelang, kabut turun tipis tipis. Dari arah jalan tanah terdengar suara mobil dinas kecil berhenti. Warastri turun dari mobil dengan perutnya yang memang sudah besar, dipapah seorang perempuan yang rupanya tetangga barunya dari kompleks tentara.
“Nyi…” Warastri mendekat, memeluk Kodasih dengan hati-hati.
“Saya jemput Bapak sama Emak. Habis ini suami saya pindah tugas lagi, jaraknya jauh. Saya takut melahirkan tanpa keluarga.”
Kodasih membalas pelukan itu singkat.
“Tri.. rawat orangtuamu. Aku sudah tua, tapi kalian masih panjang jalannya.”
Sanah tak sanggup menahan air mata.
“Saya.. takut Nyi nanti sendirian… siapa yang ganti kendi, siapa yang masak, siapa yang menemani Nyi kalau malam hujan?”
Kodasih tersenyum, senyum yang sudah ditempa banyak kehilangan.
“Joglo ini pernah lebih sepi dari sekarang. Lagi pula… kesunyian bukan musuhku, Nah. Ia teman lama.”
Pardi menunduk lama, lalu mencium tangan Kodasih.
“Nyi… maafkan kalau kami banyak merepotkan. Bertahun tahun mengabdi Nyi.. jadi kenangan yang tak akan hilang.”
Kodasih memegangi bahu Pardi.
“Kalian bukan merepotkan. Kalian membuat rumah ini berdenyut lagi setelah lama diam.”
Buntelan buntelan naik ke mobil: kain lurik Sanah, alat-alat dapur, sarung Pardi, dan beberapa panci yang pernah mereka beli bersama Kodasih.
Sebelum masuk mobil, Warastri memegang tangan Kodasih erat erat.
“Nyi… kalau Nyi mau ikut tinggal bersama kami. Atau nanti kalau saya sudah menetap, saya jemput Nyi. Atau kalau Nyi mau, saya carikan orang untuk tinggal membantu di sini.”
Kodasih menggeleng kecil.
“Joglo ini tak bisa ditinggalkan. Tugas hidupku masih di sini. Pergilah, Tri... Keluargamu yang sekarang membutuhkanmu.”
Warastri menunduk, mencium tangan Kodasih lama.
Mobil berjalan perlahan. Sanah melambai lambai sampai tubuhnya berguncang menahan tangis.
Pardi menatap joglo itu sampai mobil berbelok ke tikungan.
Dan seperti tahun tahun lalu ketika Warastri pertama kali ke kota, ketika Mbok Piyah dijemput keluarganya. Kabut kembali menelan bayang bayang mereka.
Ketika suara mobil menghilang, Kodasih berdiri di tanah halaman yang tiba tiba terasa sangat luas.
Angin sore meniup dedaunan.
Pintu dapur tidak lagi berderit oleh langkah Sanah.
Lantai ruang depan tidak lagi terdengar gesekan sandal Pardi.
Joglo tua itu kembali seperti dulu: hanya suara burung, suara angin, dan suara batin Kodasih sendiri.
Ia duduk di bangku panjang, memandangi kendi kosong.
“Beginilah… satu per satu pergi mengikuti hidupnya,” bisiknya.
Namun ia tersenyum tipis, tapi ikhlas.
“Begitu memang semestinya.”
Hari itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun tahun, Kodasih benar-benar tinggal seorang diri.
Dan malamnya, ketika doa doa disuarakan, hanya satu suara yang terdengar di joglo tua itu:
Suara Kodasih, pelan namun tetap tegak, seperti pohon tua yang tidak tumbang meski akarnya mulai menipis.
Malam malam setelah kepergian Sanah dan Pardi berjalan seperti embun yang menetes tanpa suara. Pelan, dingin, tapi lama lama membuat hati lembap oleh rasa kehilangan yang dalam.
Di joglo itu, hanya suara jangkrik yang menemani Kodasih menjelang tidur.
Tidak ada lagi suara Sanah membereskan piring.
Tidak ada lagi suara Pardi mengepel lantai.
Tidak ada suara Warastri yang dulu kadang menginap sambil membawa kabar dari kota.
Joglo menjadi rumah tanpa napas manusia lain.
☀️☀️☀️
Hari hari berikutnya, daun daun kering mulai menumpuk di halaman. Kendi air sering dibiarkan kosong sampai sore karena tak ada yang menggantinya. Dapur berbau kayu lama dan gosong abu dari tungku yang jarang dipakai.
Kodasih tetap menjalani rutinitasnya, tapi tubuh tuanya tak lagi secepat dulu. Kadang ia hendak menyalakan tungku, tapi kayunya terlalu basah. Kadang ia hendak menyapu halaman, tapi napasnya terengah.
Kadang ia duduk di serambi dan baru sadar: tidak ada orang lagi yang perlu dibangunkan, tidak ada lagi yang harus diajari mantra atau ramuan.... Ia mulai tidak tahu untuk siapa ia bangun pagi.
Dusun Akar Wangi pun berubah. Orang orang yang dulu sering datang meminta tolong, sekarang lebih sering pergi ke puskesmas. Mereka pulang membawa kertas resep dan obat yang baunya menyengat.
Di warung bawah, obrolan tentang Nyi Kodasih semakin jarang terdengar.
“Sekarang kan sudah ada bidan baru. Lebih cepat,” kata seseorang.
“Zaman sudah berubah… Nyi Kodasih itu sudah sepuh,” sambung yang lain.
Satu demi satu, orang dusun berhenti naik ke joglo. Mereka mungkin tidak berniat melupakan. Tapi kehidupan baru membuat langkah mereka berubah arah.
Suatu sore, Kodasih duduk di serambi memandangi jalan setapak. Jalan itu pernah sibuk: perempuan membawa kendi, lelaki membawa ayam untuk tirakat, anak anak datang membawa bunga empat rupa. Sekarang jalan itu kosong, berdebu, dan ditumbuhi rumput rumput liar di pinggirnya.
Ia menunggu...
Menunggu suara seseorang memanggil, seperti bertahun tahun lalu:
“Nyi Kodasih… tolong anak saya.”
“Nyi… tolong pegang punggungku.”
“Nyi, saya mimpi buruk. Apa artinya?”
Namun tak ada suara itu lagi.
Yang datang hanya angin sore yang kadang membawa bau logam dari puskesmas di bawah sana..
🌑🌑🌑
Di suatu malam bulan mati, Kodasih duduk berlama lama di ruang dalam, dekat lampu minyak yang cahayanya bergetar.
“Saya ini… masih dibutuhkan siapa?” gumam nya pelan, seperti pertanyaan pada dirinya sendiri.
yakinlah bahwa setial karya mu akan jadi
pelajaran di ambil.sisi baik nua dan di ingat sisi buruk nya
mksh mbk yu dah bikin karya yg kuar biasa
"Angin kotor " aku bacanya "Angin kolor" 🤣🤣🤣 mungkin karena belum tidur semalaman jd bliur mataku 🤣🤣🤣🤣