Boleh tidak aku kembali ke masa 5 tahun yang lalu? saat aku masih gadis, tak akan aku membantah nasehat ibu tentang Mas Akbar, suamiku. Dengan ikhlas aku akan menurut beliau tanpa protes sedikit pun, meski harus melepas lelaki yang aku cintai. Karena sekarang aku tahu maksud Ibu tak memberi restu dulu, karena Mas Akbar penganut suami patriaki.
Urusan rumah, anak, bahkan menjadi tulang punggung keluarga pun aku lakukan sendiri tanpa bantuan dari Mas Akbar. Aku sudah tidak menuntut Mas Akbar untuk berubah, rasanya sudah mati rasa, dan berharap tiap hari diberikan kesabaran tanpa batas, agar bisikan setan tak kuturuti untuk meracuninya. Astaghfirullah.
Selain tabiat Mas Akbar, yang membuatku ingin mengakhiri pernikahan ini adalah sikap mertua padaku. Beliau selalu menganggap aku sebagai istri pembawa sial, yang menyebabkan Mas Akbar terkena PHK massal. Beliau selalu mengatakan andai aku tak menikah dengan Mas Akbar, mungkin putra kesayangannya itu akan naik jabatan. Sialan memang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HANYA KITA
Aku menangis melihat Fabian yang ikut menangis, di balik sikap play boynya ternyata dia menyimpan banyak luka. Semenjak Maya direbut oleh sang kakak.
"Mamaku tak tahu kalau papa itu sudah punya istri dan anak, karena mama dan papa itu adalah sepasang kekasih. Mereka menikah diam-diam, dan papa baru memberi tahu saat aku berusia satu tahun, kami diboyong dari Kalimantan ke sini."
"Papa berarti merantau?"
"Iya. Papa merantau, tiap 8 bulan sekali pulang ke sini, awalnya pekerja tambang, tapi akhirnya beliau memutuskan untuk membuka usaha. Istri pertama dan mama diminta tinggal satu rumah. Mama area selatan, istri pertama area utara. Setiap hari kita harus sarapan dan makan malam bersama di area tengah. Namanya dimadu, pasti tidak akan pernah akur, sehingga aku dan Jovan pun juga tidak akur. Papa berusaha mendamaikan aku dan Jovan tapi sampai sekarang gak bisa. Terlebih, Jovan mengambil Maya dari aku, makin benci saja aku sama dia."
"Maya kok mau?" Fabian mengedikkan bahu.
"Mungkin karena uang. Jovan uangnya lebih banyak daripada aku. Mungkin karena itu dia mau berkhianat."
"Terus anaknya?"
"Keguguran katanya."
"Karena digempur terus?"
"Iya mungkin."
"Katanya dia sudah tidak ke kampus?"
"Iya. Tidak ke kampus belum tentu aku gak bertemu kan? Setiap hari bertemu saat sarapan dan makan malam. Mereka selalu tampil mesra begitu, tapi aku sadar kalau saat Jovan merangkulnya dia melirikku sebentar."
"Terus kalau dia menghubungi kamu, Jovan gak tahu?" Fabian mengedikkan bahu. Maya biasa menghubunginya saat sedang di luar, dengan nomor lain, tetap saja diam-diam, karena ia mungkin tak mau Jovan tahu.
"Sampai sekarang belum punya anak?"
"Belum."
"Apa kamu getol menikahi aku, karena ingin membalas mereka?"
"Gak juga. Setiap habis main sama perempuan lain begitu, hati kecilku nelangsa. Masa' iya hidupku begini terus. Maya akan semakin menganggapku susah move on padanya dong kalau main sama perempuan gak jelas. Kemudian mama kan akhir-akhir ini ikut pengajian, beliau selalu bilang anak mama cuma aku, kalau aku gak baik, nanti yang doain mama siapa. Makanya beliau menyuruhku segera mencari istri, karena saat mama meninggal biar aku ada yang urus. Sebagai anak jelas aku tertohok dengan nasehat beliau, akhirnya aku bertemu sama kamu, terlebih aku memberi syarat ke mama perempuan yang dekat denganku nanti harus janda. Aku gak mau menikah dengan gadis, karena aku sudah bejat, tak pantas dapat seorang gadis."
Aku mulai paham mengapa Fabian akhirnya mau berkenalan lebih jauh denganku. "Mungkin doa mama terkabul, bertemu dengan ibu kamu, dan kita akhirnya bisa sampai menikah begini. Hidupku sudah terlalu lama menyimpang, Mir. Ajak aku buat kembali ke jalan yang benar."
"Yakin?" dia menjewer pipiku gemas.
"Ternyata efek akad nikah begitu besar ya, sampai batinku bilang, aku harus tobat."
"Waow. Menjadi baik dong ya!"
"Ck, gak usah meledek."
"Kita sudah sepakat untuk setia dalam pernikahan ini, maka aku akan berusaha untuk setia sama kamu. Aku juga berpikir kalau terus sakit hati pada Maya, selamanya aku gak bakal bisa menikmati sisa hidup ini. Jadi lebih baik, yuk kita bangun rumah tangga sebaik mungkin."
"Oke."
"Santai banget, kamu gak cemburu aku teleponan sama Maya?" Aku menggeleng. "Bohong dikit napa sih, Mir."
Aku tertawa saja. "Aku tidak berniat memiliki hati kamu, kita menikah juga biar gak bablas, karena kamu sukanya nyosor." Fabian tertawa.
"Ternyata main sama yang halal itu beda ya."
"Bedanya?" Fabian menatapku intens.
"Bikin nagih, dan gak perlu pakai pengaman. Terlebih lebih plong aja. Tahu gak saat aku berada di atas kamu hatiku bilang apa."
"Apa?"
"Kamu miliku."
"Gombal. Seorang Fabian yang playboy cap kapak bisa ngomong begitu," sindirku dan membuatnya berdecak sebal.
"Sebelum dikhianati aku setia kali."
"Kalau kamu suatu saat nanti ingin bersatu sama Maya, bilang ya. Jangan diam-diam. Aku gak bakal menghalangi kamu."
"Apaan sih. Harusnya kamu tuh berpikir gimana caranya mencintai Fabian, agar pernikahan ini langgeng."
"Semua tergantung kamu lah. Sebagai istri mah aku bakal sejalan dengan suami. Kalau kamu hanya menomor satukan hasrat, maka aku juga akan mengimbangi. Kalau kamu setia maka aku juga akan setia. Kalau kamu belajar mencintai aku, maka aku juga akan belajar cinta sama kamu."
"Kita jalani apa adanya saja, Mir. Setelah dikhianati dulu, rasanya aku gak bisa segampang itu jatuh cinta."
"Sama. Setelah cerai dari Akbar, aku juga gak gampang tertarik sama cowok, karena aku pikir cowok sama semua."
"Beda dong!"
"Aku gak mokondo. Aku lebih ganteng, dan satu lagi," Fabian menatapku dengan tatapan menggoda. "Aku lebih perkasa sampai bikin kamu menjerit," bisiknya yang membuatku tertawa ngakak.
"Benar kok," jawabku sembari mengalungkan tanganku di leher Fabian. "Aku mengakui itu semua, dan aku saat ini aku tidak menyesal nikah sama kamu."
"Main lagi, Yuk!" ajak Fabian langsung membopongku, dan aku tak menolak sama sekali. Kami kembali bercumbu dengan romantis. Saling menjamah, sebagai penanda bahwa tubuh ini adalah milik Fabian seutuhnya. Aku sama sekali lupa kalau aku pernah dijamah Akbar, karena Fabian begitu mendominasi sehingga pikiranku hanya tertuju pada Fabian saja.
Setelah ibadah halal, aku mengingatkan Fabian untuk menunaikan ibadah sholat shubuh, dan dia tak keberatan untuk melakukannya. Dari hati ia ingin berubah, maka aku harus sabar untuk mengingatkan juga.
Ternyata aku baru merasakan indahnya masa pengantin baru saat pernikahan yang kedua, bersama Fabian, lelaki yang belum aku cintai justru dia memberikan sebuah warna akan arti pernikahan. Tak selamanya dijodohkan itu buruk, justru karena dijodohkan, kedua orang tua memberi restu sehingga aku merasa berbeda saja di pernikahanku yang kedua.
Setelah check-ou, kita berkunjung ke rumah Fabian. Cek pekerja yang mulai finishing di berbagai area. Sungguh aku semakin takjub dengan rumah ini. "Kapan kamu mau pindah ke sini?" tanya Fabian sembari memelukku dari belakang saat aku berdiri di pinggir kolam.
"Terserah kamu. Kamu mau mengajak kapan aku ikut."
"Besok gimana?" aku mengangguk saja. "Kalau sudah tinggal di sini, kita main di kolam juga!" aku tertawa ngakak mendengar fantasi Fabian, tetap ya dipikirkan hanya urusan mendesah saja.
"Aku gak mau punya ART yang tinggal di sini, rumah ini hanya untuk kita berdua saja."
"Kalau orang tua kita."
"Mereka boleh berkunjung tapi gak mungkin tinggal di sini kan?"
"Mama kamu tinggal di sana sendiri, gak kasihan?"
"Justru mama yang bilang ke aku, rumah ini hanya diisi oleh istriku dan aku saja."
Aku langsung berbalik dan membalas pelukan Fabian. "Lama-lama aku bisa jatuh cinta sama kamu, karena pernikahan yang aku inginkan benar-benar kamu wujudkan."
"Aduh, baper aku!" jawab Fabian pura-pura terlena sembari meletakkan kepalanya di pundakku. Konyol sekali dia.
berasa gantung terus tau gak kak. ampun dah candu sama karyanya akak.
tapi makin kesini kok makin kesana..
selalu serrruu sih..
Always bintang 5 yak.