Keputusan Bian dan Tiara untuk pindah ke Rumah Warisan Kakek di Desa Raga Pati adalah sebuah kesalahan fatal. Rumah itu ternyata berdiri di atas tanah yang terikat oleh sebuah sumpah kuno: Kutukan Arwah Tumbal Desa.
Gangguan demi gangguan yang mengancam jiwa bahkan menjadikannya tumbal darah selanjutnya, membuat mental Bian dan Tiara mulai lelah dan ingin menyerah.
"Jangan pernah mencoba memecahkan apa pun yang sudah ada. Jangan membuka pintu yang sudah terkunci. Jangan mencoba mencari tahu kebenaran yang sudah lama kami kubur. Jika kalian tenang, rumah ini akan tenang. Jika kalian mengusik, maka ia akan mengusik kalian kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terbukanya Gerbang Kekuasaan
Wanita tua itu, yang mengaku sebagai adik Mbah Pawiro, berdiri di ambang pintu rumah warisan. Tatapannya dingin, terukur, dan penuh perhitungan, jauh lebih berbahaya daripada kegilaan fanatik Mbah Pawiro. Dia tidak datang sendiri, aura kekuasaan menguar dari iring-iringan mobil mewah dan para pengawal berjas hitam yang berdiri diam di belakangnya.
"Aku Tuan Ratih," katanya, suaranya halus tetapi memiliki bobot baja. "Aku bukan Pawang desa rendahan seperti kakakku. Aku adalah Pemegang Sumpah Klan Pawang di Ibukota. Dan kau, cucu Pranoto, telah membunuh pewaris tunggal kami."
Bian melangkah maju, melindungi Tiara yang berdiri tegang di belakangnya. "Kakak Anda mencoba mengikat arwah seorang wanita tak bersalah, Sari, dengan kutukan abadi. Kami membebaskannya."
Ratih tertawa kecil, tawa yang kering dan tanpa humor. "Arwah Sari? Itu hanya alat. Kakakku hanya bermain-main dengan energi lokal. Dia ceroboh, terlalu emosional. Tapi dia tahu satu hal. Rumah ini bukan sekadar warisan. Rumah ini adalah Gerbang."
Ratih menggerakkan tangannya, menunjuk ke seluruh rumah. "Kakekmu, Pranoto, membangun rumah ini di atas titik temu energi bumi yang telah digunakan Klan kami selama berabad-abad. Gerbang ini adalah saluran. Melalui Gerbang ini, kami bisa mengakses kekuatan yang lebih besar, mengikat entitas yang lebih kuat dari sekadar arwah desa."
Tiara memberanikan diri. "Dan kutukan Sari?"
"Hanya pengorbanan kecil," jawab Ratih acuh tak acuh. "Sari adalah pengorbanan yang diperlukan untuk mengaktifkan Gerbang ini sepuluh tahun sekali. Kutukan kakakku hanya memastikan energi Gerbang tetap bersih dari gangguan luar. Kalian, dengan Api Suci dan Cinta Sejati, telah membersihkan energi tersebut, menjadikannya murni untuk kami."
Mata Ratih menyipit. "Kalian telah membunuh kakakku, tetapi kalian telah menyelesaikan pekerjaannya. Kalian adalah Kunci terakhir yang kami butuhkan untuk menguasai Gerbang ini."
Bian merasakan hawa dingin. Ancaman Ratih tidak datang dari dunia gaib, ancamannya datang dari dunia nyata dan terorganisir, menggunakan mistis sebagai fondasi kekuatan.
"Kami tidak akan membiarkan Anda," kata Bian tegas. "Kami akan meninggalkan rumah ini dan pergi ke polisi."
Ratih tersenyum licik. "Polisi? Kami mengendalikan polisi di wilayah ini. Dan kau tidak bisa pergi, Nak Bian. Sebagai 'Pawang Baru', kau terikat oleh hukum spiritual yang lebih kuno. Kau memutus rantai, kau harus bertanggung jawab atas kekosongan yang kau ciptakan."
Ratih maju, berbisik pelan. "Begitu kalian membebaskan Sari, kalian mengambil alih beban energi. Jika kalian meninggalkan Gerbang ini tanpa pengawasan, energi itu akan meluap, menghancurkan seluruh desa dan diri kalian sendiri. Kau adalah penjaga yang tidak bisa melarikan diri."
Ia menoleh ke para pengawalnya. "Periksa seluruh rumah. Amankan Gerbang itu."
Para pengawal bergerak, masuk ke rumah, tetapi Ratih menghentikan salah satu dari mereka yang hendak menuju lemari ukir.
"Jangan sentuh lemari itu," perintah Ratih, matanya tajam. "Gerbang itu sekarang menjadi milik mereka, Pawang Baru. Kita hanya akan mendirikan pos di sekitarnya."
Ratih memposisikan pengawalnya di sekeliling rumah, mendirikan semacam benteng tak terlihat yang mengisolasi Bian dan Tiara di dalam.
"Mulai sekarang, kalian adalah tahanan di rumah kalian sendiri," kata Ratih, kembali menatap Bian. "Aku akan mengawasi Gerbang ini. Dan aku akan menunggu. Aku tahu kau akan menemukan cara untuk mengaktifkan kekuatan Gerbang ini sepenuhnya. Dan saat itu tiba, kami akan mengambilnya darimu."
Ratih melangkah mundur, lalu ia menunjuk ke langit-langit, tepat di atas ruang tamu.
"Kakakku menggunakan arwah lokal. Tapi kami... kami bekerja dengan yang lebih tua. Yang tertidur di luar sana."
Tiba-tiba, dari ruang tamu yang terang dan damai, terdengar suara dentuman yang sangat dalam, yang membuat seluruh rumah bergetar, seolah ada sesuatu yang besar dan kuno terbangun dari tidur.
Suara itu bukan dari dalam rumah, melainkan dari bawah tanah.
"Apa itu?" tanya Tiara, tubuhnya gemetar.
"Itu adalah Entitas yang tertidur," jawab Ratih dengan senyum penuh kepuasan. "Kalian membersihkan Gerbangnya, dan sekarang ia tahu Gerbang itu sudah siap digunakan. Ia menunggu untuk dipanggil. Dan aku akan memanggilnya."
Ratih membalikkan badannya. "Nikmati sisa waktu kalian. Kalian adalah Pawang Baru, tetapi kalian tidak tahu cara menggunakan kekuatan kalian. Sampai kalian mengetahuinya, kalian adalah tikus di dalam kandang."
Ratih dan iring-iringan kendaraannya mundur, tetapi mereka tidak meninggalkan desa. Mereka mendirikan pos pengawasan di luar gerbang rumah, memblokade setiap jalan masuk dan keluar.
Bian dan Tiara bergegas masuk ke rumah. Mereka melihat ke lantai ruang tamu yang menjadi pusat dentuman.
Di sudut ruangan, di balik sofa, Tiara melihat sebuah coretan baru di dinding, coretan kecil yang menyerupai simbol mata tunggal, tetapi di dalamnya terdapat tulisan kecil yang hanya bisa dibaca jika dilihat dari dekat.
Bian mendekat. Tulisan itu berbunyi:
Aku tidak mati. Jangan biarkan dia membangunkan Yang Tua. Cari tahu cara menutup Gerbang. - Jaga.
Jaga masih berkomunikasi dengan mereka, tetapi ia tidak bisa masuk. Ia telah menjadi penjaga di luar pagar.
"Kita harus menutup Gerbang ini, Bian," kata Tiara, menatap lemari ukir. "Ratih ingin membukanya untuk memanggil Entitas lain. Kita harus mencari tahu bagaimana kakek Pranoto mengendalikan Gerbang ini."
Mereka menuju ke lemari ukir yang menutupi pintu logam. Mereka membuka pintu lemari, memperlihatkan pintu logam di balik lemari, pintu yang dulu disegel oleh kutukan Sari.
Pintu itu kini terbuka sedikit, mengeluarkan udara dingin yang menusuk. Bukan udara dingin yang penuh dendam, melainkan udara dingin yang netral, dingin yang datang dari kedalaman yang tak terduga.
Bian dan Tiara tahu mereka harus turun. Itu adalah satu-satunya tempat di mana mereka mungkin bisa menemukan catatan Pranoto yang tersisa, atau mekanisme untuk menutup Gerbang.
Bian mengulurkan tangan ke pintu logam.
Tepat saat Bian menyentuh logam yang dingin itu, ia mendengar suara gemuruh dari bawah tanah yang jauh lebih kuat. Kemudian, ia merasakan sesuatu yang sangat besar melewatinya, menembus tubuhnya, masuk melalui Gerbang.
Bian ambruk. Ia tidak merasakan sakit, tetapi ia merasakan kekuatan yang sangat besar, asing, dan kuno mengalir di dalam dirinya.
Tiara berlutut di sampingnya. "Bian, kau kenapa?"
Bian mendongak. Di mata Bian, Tiara melihat sekilas cahaya keemasan yang sama dengan Api Suci yang mereka ciptakan, tetapi kini cahaya itu tampak kacau dan tidak terkontrol.
"Aku... aku merasakannya," bisik Bian, suaranya dipenuhi ketakutan dan keheranan. "Aku merasakan Gerbang itu. Aku merasakan Entitas itu. Dan aku tahu... Ratih benar. Aku adalah kuncinya."
Bian, sebagai Pawang Baru, telah secara tidak sengaja mengaktifkan Gerbang itu. Energi kuno itu kini bersemayam di dalam dirinya, menjadikannya target utama dan satu-satunya pertahanan terakhir.
Mereka harus menguasai Gerbang itu, sebelum Ratih menggunakan Bian untuk memanggil Entitas yang Tertidur.
sampai di bab ini, setiap baca gw cuma bisa,
"woh... wah... wah!"