Misda terpaksa harus bekerja di kota untuk mencukupi kebutuhan keluarga nya. Saat Dikota, mau tidak mau Misda menjadi LC di sebuah kafe. Singkat cerita karena godaan dari teman LC nya, Misda diajak ke orang pintar untuk memasang susuk untuk daya tarik dan pikat supaya Misda.
Bagaimana kisah selanjutnya? Ikuti cerita novelnya di SUSUK JALATUNDA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Ketika mobil akhirnya terhenti di depan gapura besar padepokan yang remang diterangi cahaya lampu temaram, beban di dada Wono perlahan mengendur. Beberapa penjaga yang mengenalnya menyambutnya dengan anggukan singkat dan aba-aba tegas.
“Masuk saja, Wono. Parkir di dalam,” ucap salah satu pria sambil menunjuk gerbang yang menganga di hadapan mereka.
Suasana jalanan sunyi, gelap mencekam, dan jarum jam menunjuk pukul dua pagi. Anak-anak padepokan sudah terlelap dalam mimpinya, terperangkap di kamar masing-masing yang sepi. Wono menarik napas dalam, bersiap menghadapi malam yang tidak hanya sepi, tapi juga penuh rahasia yang bersembunyi di balik tembok tinggi itu.
"Misda, bangun! Kita sudah sampai di padepokan Ki Kusumo!" Wono mengguncang tubuh kekasihnya dengan suara getir, penuh kegelisahan.
Mata Misda masih terpejam, menolak bangkit, namun Wono tahu betul betapa dalam lelah itu merantai tubuhnya. Rasa cemas menjalari tulang, meremas hatinya lebih erat dari sebelumnya. Malam ini bukan sekadar keheningan biasa, ada bisikan-bisikan yang menunggu untuk terungkap, dan takdir mereka akan berubah di bawah bayang-bayang padepokan yang sunyi ini.
"Tunggu sebentar, aku ingin istirahat dulu sebelum Ki Kusumo memanggil kita ke rumahnya," katanya lirih, mencoba meredam gelombang perasaan yang bergejolak di dadanya. Namun, Wono tak mau waktu terbuang sia-sia; hatinya bergetar menanti apa yang akan terjadi di hadapan Ki Kusumo.
Wono menunjukkan kamar untuk beristirahat untuk Misda di kamar khusus wanita. Di sana Misda dikenalkan dengan Mulan, salah satu murid padepokan silat Ki Kusumo.
"Mulan, titip Misda yah. Temani dia dulu, aku akan menghadap guru, Ki Kusumo di kediaman nya," kata Wono setelah bicara pelan pada Misda, kekasih nya kalau malam ini terpaksa dia harus tidur di kamar sendiri. Sementara itu Wono hendak menghadap guru nya, Ki Kusumo untuk menyampaikan maksud dan tujuannya.
Wono duduk bersila di pendopo, matanya tajam menatap lantai kayu usang. Beberapa murid Ki Jombrang berkumpul di sana, total sepuluh orang, tapi hatinya seakan hanya fokus pada satu hal. Dari balik pintu kayu, Ki Kusumo keluar pelan setelah selesai sholat tahajud, wajahnya yang berumur lima puluhan memancarkan ketenangan.
“Wono, kamu yakin ingin memperjuangkan wanita itu? Kamu sudah jatuh cinta padanya, tapi dia terjerat perjanjian kontrak dunia iblis. Menggapai dia bukan perkara mudah,” suara Ki Kusumo berat namun penuh waspada. Wono mengangkat kepala, mata yang biasanya teduh kini berkilat penuh tekad.
“Saya sudah yakin, Ki. Apapun resikonya, saya siap menanggungnya. Meski dia memiliki banyak kekurangan,” jawabnya pelan, tetapi suara itu mengandung keberanian yang sulit dibendung.
Ki Kusumo tersenyum lebar, matanya berbinar. Ia mengangguk pelan, seolah menghargai keberanian muridnya meski jalan yang ditempuh penuh bahaya.
Ki Kusumo menatap tajam, suaranya berat menyayat suasana.
"Susuk itu... sudah tertanam dalam daging kekasihmu, Wono. Bukan cuma menempel, tapi sudah menyatu sampai ke darah nadinya." Wono menggigit bibir, badan terasa dingin disusupi ketakutan.
"Setiap gerak-geriknya sekarang dikendalikan oleh iblis betina itu," lanjut Ki Kusumo, menambah gemetar hati Wono.
"Makanya, jangan heran saat kamu jatuh dalam maksiat dan perzinahan, iblis itu turut campur tangan."
Wono menunduk, wajahnya berubah pucat. Bayangan sosok kekasihnya tiba-tiba berubah jadi iblis betina yang menguasai semuanya, gerakan, kata-kata, bahkan perasaan Wono sendiri. Getaran ngeri membuncah di dada saat dia menyadari betapa parahnya dia telah melanggar aturan, bahkan sebelum pernikahan mereka disahkan.
"Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi.
“Kamu sudah memilih gadis itu,” ucap Ki Kusumo pelan, matanya menatap tajam tanpa cela.
“Aku hanya bisa membantu melepaskan jeratan pengaruh negatif yang membelit kekasihmu.” Wono mengernyit, bibirnya mengatup rapat, suaranya serak saat bertanya,
“Kalau tak bisa disembuhkan, apa kamu tetap akan pertahankan dia?”
Diam menyelimuti sejenak. Lelaki itu menunduk, menggenggam erat tangan yang tak bisa lagi ia lepaskan. Tanggung jawab sudah menjadi beban yang menancap dalam dirinya, terlebih saat kenangan manis bersama gadis itu masih terasa hangat di kulitnya.
“Aku paham,” akhirnya Ki Kusumo mengangguk.
“Kamu sudah terikat oleh tanggung jawab itu. Wajar.”
Wono menundukkan kepala, napasnya tercekat antara rasa malu dan kejujuran.
"Maafkan saya, guru. Saya tahu saya tidak pantas jadi murid Ki Kusumo. Saya sudah melanggar aturan norma dan agama," ucapnya terbata. Matanya tak bisa lepas dari bayang-bayang gadis itu.
"Tapi sumpah, saya sangat menyukai dia," tambahnya dengan suara serak.
Di depan, Ki Kusumo mengangguk pelan, seolah memahami semua pergulatan batin Wono. Teman-teman seperguruan yang masih duduk terpaku, menundukkan kepala dan menahan senyum geli mereka. Sikap Wono yang benar-benar sedang ‘bucin’ membuat suasana sedikit mencair. Tanpa disadari, Wono telah terperangkap dalam jaring susuk Jalatunda yang merayap dari tubuh Misda, kekasihnya.
Kepeduliannya terhadap urusan hati membuatnya lengah pada kewajiban ibadah. Benteng batinnya yang dulu kokoh kini mulai memudar, membuka celah bagi gelombang sihir ilmu hitam yang perlahan menyusup masuk.
Ki Kusumo menatap tajam sambil mengatupkan bibirnya. "Ya sudah. Setelah pembicaraan ini, aku tugaskan padamu untuk sholat taubat seratus rekaat. Nggak boleh setengah-setengah." Tangannya mengepal pelan di atas meja.
"Kamu harus melakukan wiridan selama tiga hari dua malam, terus menerus, di ruangan tertutup. Bersihkan tubuhmu dari perbuatan zina yang telah meracuni jiwa." Suaranya rendah tapi penuh tegas.
"Susuk Jalatunda sudah merasuk dalam pikiran dan darahmu. Itulah yang bikin nafsumu hanya tertuju pada gadis itu, susah untuk lepas darinya." Dia menarik napas dalam, lalu melanjutkan,
"Kamu harus mampu menahan godaan bayangan gadis itu yang terus menghantuimu." Ki Kusumo menggeser posisi duduknya, matanya menerawang sejenak sebelum menambahkan,
"Sementara itu, kekasihmu akan kuarahkankan melakukan pembersihan juga, supaya susuk yang tertanam di tubuhnya bisa memudar, bahkan sampai terlepas sepenuhnya."
Wajahnya tegas, seolah memberi tahu bahwa jalan ini berat tapi harus ditempuh.
Wono menatap Ki Kusumo dengan mata yang berkilat semangat.
“Baik, guru. Saya siap melakukan apa pun yang diperintahkan. Semua ini demi kekasihku,” ujarnya lantang, suara seraknya hampir bergetar oleh tekad. Namun, Ki Kusumo menggeleng pelan, bibirnya bergetar menahan kecewa.
“Tidak, Wono. Bukan demi manusia, tapi demi Tuhanmu. Kamu harus bertaubat,” ucapnya dengan suara dalam, penuh rasa berat.
“Perbuatanmu telah melanggar aturan, menjauhkanmu dari jalan-Nya.”
Sementara itu, murid-murid lain menundukkan kepala, mendengarkan dengan khidmat, meskipun kata-kata itu memang ditujukan terutama untuk Wono yang menunduk, wajahnya berubah menjadi muram dan penuh pertimbangan.
Setelah azan subuh berkumandang, mereka semua bergegas ke masjid kecil di padepokan untuk sholat subuh berjamaah. Suasana sunyi dan khidmat menyelimuti ruangan. Saat semua sudah selesai, Wono melangkah pelan menuju ruang khusus yang tertutup rapat.
Di sana, ia mulai menunaikan sholat taubat seratus rekaat dengan wajah penuh penyesalan. Tangannya gemetar sedikit ketika menyentuh sajadah, seolah beban dosanya semakin nyata. Setelah itu, Wono menjalani wirid selama tiga hari, hanya ditemani suara lirih bacaan dzikir yang terus terucap dari bibirnya. Setiap kali pintu ruangan dibuka untuk mengirimkan makanan, matanya tak pernah lepas dari kitab kecil yang ada di pangkuannya, sebuah perintah ketat dari Ki Kusumo yang harus dijalankan tanpa cela.