Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.
Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.
Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.
Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.
Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.
Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 - Buah, Batu dan Warisan Dunia
Aku lupa tepatnya di mana, namun yang jelas ia sedang mengembara ke negeri gersang, kami bisa saling memahami karena ia mampu berbicara dalam bahasa Lakantara pemberian sang Pencipta yang memungkinkan setiap pengembara memahami banyak bahasa.
Bahkan aku perlu 1 tahun memahami bahasa mereka dimana bumi di pijak.
Ia menyebut sesuatu yang luar biasa dengan kata “Ferul”, yang berarti “diutus” di suatu negeri yang gersang. Dari mulutnya, aku belajar hal yang aneh sekaligus menakjubkan: bumi itu bulat, tapi tidak sempurna seperti telur.
Aku pun mengambil sepotong kapuk, memegangnya di tengah tangan dan mulai memperagakan bentuk telur itu.
“Lihat,” kataku sambil menunjuk kapuk di tengah,
“ini adalah awan kanopi abadi yang mengelilingi bumi, menutupi sebagian permukaan dan memberi napas kehidupan.
Bagian atas dan bawah, tanpa kapuk, itulah utara dan selatan.
Seperti telur, bulat tapi tak sempurna, diciptakan agar hidup bisa bertahan di berbagai negeri dan musim.”
Pengembara itu mengangguk pelan, matanya berbinar.
Dengan Ferul, kami berbagi pengetahuan bahwa bumi tidak statis, bahwa kehidupan manusia dan makhluk lain tergantung pada keseimbangan langit, tanah, dan napas alam.
Di tengah gersang atau di bawah kanopi abadi, setiap langkah adalah pelajaran, setiap perjalanan adalah pengingat bahwa dunia jauh lebih besar dari yang pernah kubayangkan.
Saat aku menatap jauh ke arah awan kanopi abadi, membentang di tengah bumi, dan melihat utara tanpa awan yang memanjang di atas sana, pengembara itu Sang Ferul tiba-tiba menghilang.
Padahal, aku masih memiliki begitu banyak pertanyaan yang ingin kuceritakan dan tanyakan padanya.
Kehilangan sosok itu begitu cepat, seolah dunia menelan dirinya kembali ke misteri negeri gersang dari mana ia berasal.
Pengalaman itu begitu unik, begitu aneh, hingga hatiku berdetak seperti bertemu Ranu Lahu.
Aku berdiri sejenak, memandangi awan kanopi yang berputar lembut di tengah bumi, merasa bahwa setiap pertemuan, bahkan yang singkat dan tak terselesaikan, meninggalkan jejak pengetahuan yang tak tergantikan.
Dan meski Ferul menghilang, aku tahu pelajaran tentang bumi yang bulat namun tak sempurna, serta awan kanopi abadi yang memberi napas kehidupan, akan selalu bersamaku.
Meskipun Ferul dan Ranu berbeda bahasa, makna yang mereka bawa sama keduanya diutus, dikirim, untuk menyampaikan pesan dari negeri mereka masing-masing.
Saat aku bertemu Ferul, aku merasakan getaran yang sama seperti ketika Ranu Lahu hadir di hadapanku: sebuah panggilan untuk memahami, untuk menerima pengetahuan yang jauh lebih luas daripada yang terlihat.
Ferul mengaku bisa berbagai bahasa, pemberian dari Sang Pencipta, sehingga pertemuan itu terasa tak sekadar kebetulan.
Kata “Ferul” berarti “diutus” di tanah gersang, sementara “Ranu” menyiratkan hal serupa, utusan dari yang tak terlihat.
Dua sosok, dua negeri, satu makna: penyampaian, pengembaraan, dan pelajaran yang harus dibawa pulang.
Saat aku menatap awan kanopi abadi yang membentang di tengah bumi dan melihat utara tanpa awan, Ferul menghilang seketika.
Namun jejak makna yang dibawanya tetap melekat, seakan menghubungkan seluruh pengalaman pengembaraanku dengan Ranu Lahu dan semua pengetahuan yang kuterima di negeri-negeri jauh.
Ama menatap Sanu’ra dengan mata membulat, keningnya berkerut.
“Bumi… bulat?” gumamnya pelan, seolah kata itu sulit diterima oleh akal yang terbiasa melihat dataran dan awan kanopi abadi sebagai batas dunia.
“Tapi… bagaimana bisa… aku tak pernah melihat tepi bumi. Semua yang kukenal sejauh mata memandang hanyalah hutan, pegunungan, dan kanopi,” tambahnya, suara penuh kebingungan tapi juga rasa ingin tahu yang besar.
Rana Karu mencondongkan tubuhnya, tangan memegang dagu.
“Dan sosok itu… Ferul… ia bisa menghilang begitu saja?” tanyanya setengah tak percaya.
“Menyampaikan pesan dari negeri yang bahkan tak pernah kulihat… seakan kita sedang menatap dunia yang tak terbatas. Rasanya… seperti melihat bayangan Ranu Lahu,” katanya sambil menatap Sanu’ra dengan rasa kagum bercampur heran.
Para Sura saling berpandangan, bisik-bisik terdengar pelan di antara mereka.
“Makhluk seperti itu… apakah benar ada? Bisa bicara berbagai bahasa, lalu menghilang begitu saja… itu menakutkan sekaligus menakjubkan,” ujar salah seorang Sura muda, matanya berbinar karena rasa penasaran.
Sanu’ra mengangguk perlahan, menatap mata mereka satu per satu.
“Benar, Ama, Rana, dan para Sura… Ferul bukan sekadar pengembara. Ia utusan, sama seperti Ranu Lahu. Kehadirannya mengajarkan kita bahwa dunia lebih luas daripada yang kita lihat, dan pengetahuan bisa datang dari arah yang tak terduga.”
Suasana sejenak hening.
Hanya suara napas yang terdengar, seolah setiap orang sedang mencoba membayangkan bumi bulat, awan kanopi abadi, dan sosok Ferul yang tiba-tiba menghilang, meninggalkan pertanyaan tanpa jawaban namun penuh makna.
Sanu’ra menarik napas panjang, menatap Ama, Rana, dan para Sura dengan mata yang berbinar penuh rahasia.
“Sekarang,” ucapnya pelan, “ada satu hal terakhir yang ingin kubagikan. Sesuatu yang datang dari negeri jauh, dari perjalanan yang menembus batas dunia yang kita kenal.”
Ia membuka peti kayu terakhir dengan hati-hati. Di dalamnya, berjejer batu-batu kristal beraneka warna, memantulkan cahaya tembaga aula dengan kilau lembut.
Ada merah seperti bara yang padam, biru dalam seperti air yang tenang, hijau pekat seperti hutan lebat, dan kuning keemasan seperti sinar pagi.
Para Sura dan Rana menahan napas, terpana oleh keindahan batu-batu itu.
Beberapa dari mereka menunduk, merasakan energi yang seolah tersembunyi di dalam kilaunya.
Di samping batu, Sanu’ra mengangkat kerang-kerang berbentuk bulat lonjong.
Setiap kerang memiliki lubang di tengahnya, dan warnanya memikat: percampuran putih gading, merah muda pucat, ungu lembut, dan abu-abu dengan kilau yang tak biasa.
“Lihatlah,” katanya sambil memutar salah satu kerang di tangannya, “ini bukan sekadar batu atau kerang biasa.
Warna, bentuk, dan kilau mereka… semuanya adalah jejak kehidupan dari negeri yang jauh, dari samudra dan daratan yang tak pernah kita jamah.”
Ama menatap kerang itu dengan mata melebar, suara pelan keluar dari bibirnya, “Seperti… dunia yang berbeda, tapi nyata…”
Rana Karu meraih satu batu berkilau, meneliti permukaannya yang halus. “Setiap warna… seolah menyimpan cerita. Batu, kerang… semua ini… tanda bahwa ada kehidupan lain di luar awan kanopi kita,” gumamnya.
Sanu’ra menunduk, lalu tersenyum tipis.
“Benar. Batu-batu ini mengingatkan kita bahwa dunia lebih luas, lebih berwarna, dan lebih beragam daripada yang bisa kita bayangkan.
Begitu juga kerang-kerang ini; mereka menyimpan rahasia laut dan daratan yang jauh, memberi kita pelajaran bahwa setiap makhluk, setiap benda, memiliki peran dalam kehidupan.”
Ia menutup peti perlahan, lalu menatap setiap mata yang memandangnya.
“Semua yang kalian lihat hari ini buah, benih, batu, kerang, dan kisah pengembara Ferul adalah jendela.
Jendela menuju dunia yang lebih luas, dunia yang memberi pelajaran tentang bertahan, belajar, dan menghormati kehidupan di mana pun berada.”
Para Sura dan Rana duduk terdiam, masing-masing tenggelam dalam bayangan perjalanan jauh yang Sanu’ra ceritakan.
Hanya suara napas mereka dan kilau tembaga aula yang memantul di lantai menjadi saksi keajaiban dunia yang tak pernah mereka lihat sebelumnya.
Sanu’ra menatap peti-peti dan bambu-bambu besar di sekelilingnya, lalu suaranya lembut tapi penuh hormat:
“Semua ini benih buah, kacang-kacangan, batu-batu berkilau, dan kerang-kerang unik—kubawa dari negeri-negeri jauh, hasil perjalanan panjang yang penuh tantangan dan pengalaman.”
Ia menunduk sejenak, lalu menatap Ama dengan mata yang bersinar.
“Untuk Yang Mulia Yarun Rahu Ama, putra Rahu Beren Ama, kupersembahkan semua ini. Bukan sekadar benda atau benih, tetapi warisan dunia, pelajaran hidup, dan bukti bahwa kehidupan menemukan jalannya, di mana pun berada.”
Sanu’ra meletakkan peti-peti dan bambu di depan Ama, suaranya bergetar dengan rasa hormat dan kagum:
“Semoga ini menjadi jendela bagi Yang Mulia, membuka mata dan hati akan luasnya dunia, keajaiban yang belum kita jamah, dan kekayaan alam yang memberi kehidupan bagi semua yang menghargai bumi.”
Ama menatapnya dalam diam, tangan tua itu perlahan menyentuh salah satu batu berkilau, lalu kerang yang halus.
“Ini… benar-benar… anugerah,” gumamnya pelan, suaranya penuh kehangatan dan takjub.
Rana dan para Sura berdiri di sekeliling, menyaksikan upacara kecil itu, merasa terhanyut oleh makna dan beratnya perjalanan Sanu’ra, serta nilai dari setiap benda yang dihadirkannya.
Sanu’ra menarik napas panjang, menunduk hormat sekali lagi.
“Semua ini… untuk Yang Mulia, agar hidup kita dan generasi mendatang selalu mengingat, belajar, dan menghormati kehidupan di seluruh dunia.”
Yarun Rahu Ama menatap peti dan bambu yang tersusun rapi di hadapannya. Matanya menangkap cahaya dari batu-batu berkilau, lalu ia mengambil satu berlian seukuran dua jari, permukaannya halus dan dingin seperti air yang membeku.
Ia memutar batu itu di antara jarinya, cahaya tembaga aula memantul lembut ke wajahnya. Diamnya panjang, seolah setiap detik membiarkan makna benda itu meresap ke dalam hati.
“Ini… indah,” gumamnya pelan, suaranya nyaris seperti membelai angin.
Berlian itu berkilau seperti menangkap seluruh cahaya dari peti, batu lain, dan kerang-kerang di sekitarnya. Ia mengingatkan pada salju jauh di utara, padang pasir yang panas, serta benih buah yang menumbuhkan kehidupan.
Rana dan para Sura menahan napas, menyaksikan sang putra berdiri dengan penuh kekaguman.
“Semua ini… perjalanan dan pemberian dari Sanu’ra…” gumam Ama, matanya bersinar, “membawa dunia ke hadapan kita, seolah kita bisa merasakan setiap negeri yang jauh itu hanya dengan sentuhan.”
Yarun Rahu Ama menunduk sejenak, memegang berlian itu dengan lembut, kemudian menatap Sanu’ra. Senyum tipis terukir di wajahnya, penuh penghargaan.
“Perjalananmu, usaha dan pengorbananmu, Sanu’ra… aku menerima semua ini dengan hati terbuka. Ini bukan sekadar benda, tapi jendela bagi kita untuk belajar tentang dunia, kehidupan, dan keajaiban yang tak terjamah.”
Sanu’ra menunduk dalam-dalam, rasa hormat dan lega tampak jelas di wajahnya. Para Sura dan Rana menghela napas panjang, menyadari betapa berat dan berharganya setiap benda yang telah diperjuangkan, dan betapa dunia luas yang jauh dari Lakantara kini terasa begitu dekat di aula tembaga ini.
Suasana hening, hanya gemericik cahaya yang memantul dari berlian, batu, dan kerang menandai akhir persembahan yang agung, sekaligus pembuka mata bagi generasi yang menatap masa depan dengan kekaguman dan rasa syukur.
Sanu’ra menatap peti terakhir, lalu menghela napas panjang. Ia mengambil beberapa berlian, batu-batu berkilau yang permukaannya dingin dan jernih.
“Batu-batu ini… awalnya aku tidak tahu harus kuapa,” ucapnya pelan, matanya menerawang ke dalam ingatan. “Aku menemukannya di tempat yang berbeda-beda: beberapa di dalam goa gelap, ada di tebing terjal, tanah longsor, bahkan di puncak bukit yang hampir mustahil dijangkau.
Bentuknya indah, tapi aku tak tahu apa fungsinya. Awalnya ingin kubiarkan saja di tempat mereka, tapi kemudian kupikir… mungkin Lakantara bisa menilainya, memberi makna atau tanggapan.”
Ia memutar batu itu di tangannya, cahaya tembaga aula memantul lembut di permukaannya.
“Batu ini bukan sekadar hiasan. Aku membawanya sebagai persembahan, sebagai tanda perjalanan panjang dan pengamatan yang dilakukan bumi ini dari bawah tanah, tebing, hingga puncak bukit.”
Para Sura dan Rana menatap dengan kagum, merasakan ketelitian dan keberanian yang dibutuhkan untuk membawa batu-batu itu ke Lakantara.
Sanu’ra menunduk sejenak, kemudian menambahkan:
“Aku berharap, dari tangan Yang Mulia, batu-batu ini bisa menunjukkan sesuatu yang tak bisa kulihat sendiri apakah itu nilai, kegunaan, atau sekadar keindahan yang mengajarkan kita untuk menghargai dunia di sekitar kita.”
Suasana di aula menjadi hening. Setiap pantulan cahaya dari berlian, batu, dan kerang seolah menandai perjalanan panjang dan makna yang lebih dalam, menunggu penilaian dari putra Rahu Beren Ama, Yarun Rahu Ama.
Yarun Rahu Ama menatap Sanu’ra dengan mata tenang, lalu memalingkan pandangannya ke Sura Loga.
Suara putra Rahu Beren Ama terdengar mantap dan penuh wibawa:
“Untuk setiap satu tahun pengabdian dan pengembaraanmu, Sanu’ra, berikan 100 batang kayu perunggu. Agar jasamu tercatat dalam sejarah dan upaya menjaga warisan dunia tidak hilang sia-sia.”
Sura Loga segera mengingat dan mengangguk, matanya bersinar di bawah cahaya tembaga aula yang memantul lembut.
Para Sura dan Rana menunduk, memahami berat dan pentingnya perintah itu.
Kayu perunggu, simbol kemuliaan dan kerja keras, kini menjadi tanda penghargaan bagi Sanu’ra bukan sekadar benda, tapi bukti pengabdian, keberanian, dan pengetahuan yang dibawa dari negeri jauh ke Lakantara.
Sanu’ra menarik napas panjang, menatap semua yang hadir. Senyum tipisnya menunjukkan rasa lega dan bangga.
Ia tahu, meski perjalanan panjang masih menanti, hari ini warisan dunia yang dibawanya telah dihargai dengan sepantasnya.
Aula hening sejenak. Cahaya matahari yang menembus tembaga memantul ke lantai, seakan ikut merayakan penutupan pertemuan yang penuh makna ini.