Follow IG othor @ersa_eysresa
Anasera Naraya dan Enzie Radeva, adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menikah. Namun tepat di hari pernikahan, sebuah tragedi terjadi. Pesta pernikahan yang meriah berubah menjadi acara pemakaman. Tapi meskipun begitu, pernikahan antara Ana dan Enzie tetap di laksanakan.
Namun, kebahagiaan pernikahan yang diimpikan oleh Ana tidak pernah terjadi. Karena bukan kebahagiaan yang dia dapatkan, tapi neraka rumah tangga yang ia terima. Cinta Enzie kepada Ana berubah menjadi benci di waktu sama.
Sebenarnya apa yang terjadi di hari pernikahan mereka?
Apakah Ana akan tetap bertahan dengan pernikahannya atau menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mabuk Yang Tak Biasa
Pertanyaan Ana "Kenapa kau menikahiku?" menggema di ruang makan yang mewah itu, membentur dinding tanpa menemukan jawaban.
Wajah Enzi mengeras. Dia tidak bisa menjawab dan tidak mau menjawab. Mengakui dia menikahi Ana karena dulu dia mencintainya tapi setelah kematian kedua orang tuanya semua rasa cinta itu seperti menguap begitu saja, tapi dia juga butuh pelarian, dan sekarang dia menghancurkan hidup Ana, semuanya terasa salah.
"Aku ada rapat," desis Enzi, meraih tas kerjanya. Itu adalah kebohongan yang kentara.
"Selalu seperti itu. Lari dari masalah," cibir Ana pelan.
Enzi berjalan cepat meninggalkan Ana sendirian dalam keheningan yang memekakkan. Sarapan di atas meja, yang disiapkan Bi Darmi, tidak tersentuh oleh mereka berdua, hanya tersentuh sedikit saja.
Ana berdiri diam sejenak, membiarkan gempa amarah di dadanya mereda. Dia tidak menangis. Anehnya, dia merasa... lega. Pertengkaran itu perlu terjadi untuk melampiaskan apa yang dia rasakan selama ini. Kini, dia tahu persis di mana posisinya.
Dia menoleh ke Bi Darmi, yang mengintip takut-takut dari dapur. "Bi, aku mau... istirahat di atas. Tolong jangan diganggu, antarkan beberapa cemilan dan minuman saja ke tempat kerjaku."
"Baik, Mbak."
Ana tidak beristirahat di kamarnya. Dia berjalan lurus ke perpustakaan. Membuka rak buku rahasia itu, dia masuk ke dalam dunianya.
Bau kertas dan pensil yang baru diraut menyambutnya. Dia menyalakan laptop baru itu. Melihat sketsa gaun yang dikerjakannya kemarin gaun malam dengan dominasi warna hitam, terasa ironis sepertinya hatinya.
"Aku harus menyelesaikan ini dan mengirimkannya kepada Pak Raka agar aku bisa mengumpulkan uang
Dia mulai bekerja. Jari-jarinya bergerak cepat di atas tablet. Setiap garis yang dia tarik adalah pelampiasan. Kemarahan pada Enzi, sakit hati pada Amel, semua dia tuangkan menjadi desain yang tajam, kuat, dan elegan. Dia lupa waktu. Dia lupa sarapan hanya memakan beberapa camilan yang sudah disiapkan Bi Darmi. Dia hanya fokus pada pekerjaannya.
Sementara itu, Enzi tiba di kantor dalam suasana hati yang kacau. Dia membatalkan rapat paginya, duduk di ruangannya, dan hanya menatap proposal Adijaya milik Fabian yang semakin menambah kekesalannya pagi ini
Ponselnya berdering. Nama "Amel" berkedip di layar.
Enzi menatap nama itu lama, lalu menggeser tombol hijau. "Halo."
"Selamat pagi, Tuan Radeva yang sibuk," suara serak Amel terdengar ceria. "Bagaimana kabarmu pagi ini. Maaf soal semalam. Istrimu... dia tampak sangat mencintaimu."
Ada nada sarkasme tipis di sana yang membuat Enzi tidak nyaman. "Aku baik, Dia hanya... sedang tidak enak badan. Ada apa, Mel?"
"Jahat sekali. Aku baru menghubungimu dan kau sudah bertanya 'ada apa'?" Amel tertawa. "Aku sedang jetlag, bosan di hotel. Dan aku dapat libur sehari penuh hari ini. Temani aku makan siang?"
Enzi melirik tumpukan pekerjaan. Dia teringat wajah dingin Ana. Lalu dia teringat tawa renyah Amel semalam.
"Oke," jawab Enzi. "Hanya makan siang."
Makan siang di restoran Italia mewah terasa seperti oase di tengah gurun. Amel adalah pendengar yang baik. Dia tidak menuntut, tidak marah, tidak bersikap dingin. Dia hanya tertawa, bercerita tentang dunia model, dan membuat Enzi merasa... ringan.
"Kau tahu, Zie, kau masih sama," kata Amel, menyuap tiramisu. "Tegang. Kau butuh sedikit bersenang-senang. Pekerjaanmu di Radeva itu menyiksamu, ya?"
"Bukan pekerjaan," gumam Enzi, tanpa sadar. "Rumah."
Amel tersenyum penuh kemenangan, meski sekilas. "Kalau begitu, karena aku libur... bagaimana kalau kita bersenang-senang? Seperti dulu."
Satu jam makan siang berubah menjadi tiga jam. Lalu berubah menjadi jalan-jalan di mal, dengan alasan Amel butuh teman untuk memilih gaun event. Enzi, yang awalnya hanya ingin "makan siang", mendapati dirinya membawakan tas belanja Amel, tertawa lebih lepas daripada yang dia rasakan selama beberapa hari ini.
Matahari terbenam. Jakarta bermandikan lampu.
"Ini masih sore," ujar Amel saat mereka berada di mobil Enzi. "Bagaimana kalau kita ke club kita dulu? Hanya satu minuman. Untuk merayakan pertemuan dan pertemanan lama kita. "
Enzi tersenyum dan mengangguk. Dia mengingat Ana, Tapi bayangan pertengkaran tadi pagi membuatnya menginjak pedal gas menuju tempat lain.
Musik dj yang menghentak menyambut mereka di klub malam eksklusif itu. Tempat ini tidak banyak berubah. Masih gelap, penuh asap rokok, dan dipenuhi orang-orang yang ingin melarikan diri dsri masalah.
Mereka berdua duduk di meja bar. "Dua minuman," pesan Amel sambil berbisik kepada pelayanan bar, Enzi hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Amel yang sama seperti dulu.
Mereka minum, berbicara tentang masa lalu. Tawa Amel semakin dekat, sentuhannya di lengan Enzi semakin sering.
"Kau tahu," bisik Amel di telinga Enzi, agar terdengar di antara dentuman musik, "Melihatmu lagi membuatku sadar... aku tidak seharusnya pergi."
Enzi terdiam.
Amel tersenyum. "Aku ke toilet sebentar."
Dia bangkit, berjalan anggun. Enzi memperhatikannya pergi, pikirannya kacau. Ternyata Amel tidak langsung ke toilet. Dia berhenti di sudut bar yang gelap, tempat seorang pria telah menunggunya. Transaksi cepat terjadi. Sebuah botol kecil berpindah tangan.
Amel kembali ke meja dan Enzi sedang menatap ponselnya, tidak ada panggilan atau pesan dari Ana. Wanita itu benar-benar dingin.
"Kau tegang sekali malam ini, disini kita bersenang-senang tanpa harus memikirkan masalah kantor atau rumah," kata Amel, kini duduk lebih dekat, pahanya menempel di paha Enzi. "Kau butuh sesuatu untuk rileks."
Tangan Amel yang satu mengelus rahang Enzi. Tangan lainnya, yang memegang botol kecil, dengan cepat dia buka di bawah meja lalu menuangkan cairan bening itu ke dalam gelas minuman Enzi yang tersisa setengah tanpa sepengetahuan pemiliknya.
"Ayo minum," bisik Amel, mengangkat gelasnya sendiri. "Untuk kita."
Enzi, yang pikirannya sudah keruh karena alkohol dan emosi, menenggak minumannya tanpa pikir panjang
Amel tersenyum. " Sekarang, aku mau dansa apa kamu mau ikut? "
Enzi menggeleng pelan.
"Kalau begitu Kamu tunggu sini, ya. Jangan kemana-mana." Dia mengedipkan mata dan menghilang ke lantai dansa.
Enzi duduk sendirian. Awalnya biasa saja. Tapi lima menit kemudian, gelombang panas yang aneh menjalar dari perutnya. Ruangan terasa berputar, tapi bukan karena mabuk. Napasnya menjadi berat, dan jantungnya berdebar kencang.
"Apa ini? "
Dia melihat ke lantai dansa. Amel sedang menatapnya dari jauh, menari dengan sensual, seolah mengundangnya.
Seketika Enzi sadar. "Sial!"
Dia harus pergi. Cepat-cepat dia meraih ponselnya, tangannya gemetar dan menekan panggilan cepat satu nomor, Arvin.
"Vin... jemput aku," desis Enzi, berusaha mengendalikan suaranya. "Di club biasanya. Sekarang. Cepat."
"Zi? Kau kenapa? Suaramu—"
"Jangan banyak tanya! Cepat!" Enzi menutup telepon.
Dia berjuang berdiri, berjalan sempoyongan ke pintu keluar, mengabaikan tatapan orang. Dia sampai di lobi tepat saat Arvin memarkir mobilnya dengan rem berdecit.
Arvin berlari keluar. "Astaga, Zi! Kamu kenapa? Wajahmu pucat!"
"Bawa aku pulang, Vin. Sekarang," rintih Enzi, tubuhnya sudah berkeringat dingin.
Arvin memapah sahabatnya masuk ke mobil, tidak bertanya lagi. Dia melihat Enzi mencengkeram perutnya, napasnya terengah-engah. Ini bukan mabuk biasa.
Di dalam klub, Amel kembali ke meja bar setelah sepuluh menit menari, senyum kemenangan tersungging di bibirnya, siap untuk 'panen'.
Dia tiba di meja. Kosong. Gelas Enzi masih di sana, tapi orangnya sudah tidak ada.
"Enzi?" Dia melihat sekeliling, ke toilet, ke pintu masuk. Tidak ada.
"Sialan!" umpat Amel, membanting tangannya ke meja bar. "Kemana perginya pria itu?"
dia sudah memilih
be strong woman you can do it
marah atau pura pura ga tau