"Tuan Putri, maaf.. saya hanya memberikan pesan terakhir dari Putra Mahkota untuk anda"
Pria di depan Camilla memberikan sebilah belati dengan lambang kerajaan yang ujungnya terlihat begitu tajam.
.
"Apa katanya?" Tanya Camilla yang tangannya sudah bebas dari ikatan yang beberapa hari belakangan ini telah membelenggunya.
"Putra Mahkota Arthur berpesan, 'biarkan dia memilih, meminum racun di depan banyak orang, atau meninggal sendiri di dalam sel' "
.
Camilla tertawa sedih sebelum mengambil belati itu, kemudian dia berkata, "jika ada kehidupan kedua, aku bersumpah akan membiarkan Arthur mati di tangan Annette!"
Pria di depannya bingung dengan maksud perkataan Camilla.
"Tunggu! Apa maksud anda?"
.
Camilla tidak peduli, detik itu juga dia menusuk begitu dalam pada bagian dada sebelah kiri tepat dimana jantungnya berada, pada helaan nafas terakhirnya, dia ingat bagaimana keluarga Annette berencana untuk membunuh Arthur.
"Ya.. lain kali aku akan membiarkannya.."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aplolyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ Bab 3
Pagi itu, kediaman megah Duke Leontinus Barak diliputi ketegangan yang jarang terjadi. Para pelayan sibuk membersihkan halaman, mengganti tirai, dan menata bunga segar di setiap ruangan.
Kabar sudah menyebar bahwa utusan kerajaan akan datang untuk mengetes Lady Camilla, putri Duke, dalam rangka seleksi Putri Mahkota.
Mary, dayang pribadi Camilla, hampir tidak berhenti berlari-lari kecil sejak fajar. “Lady, duduklah sebentar! Anda sudah berjalan bolak-balik sejak tadi,” pintanya cemas.
Camilla hanya tersenyum tipis sambil memandang cermin. “Tenang, Mary. Aku sudah terbiasa dengan semua ini.. lebih dari yang kau tahu.”
Ia teringat kehidupan sebelumnya, ujian ini adalah tahap awal, namun dulu ia menghadapinya dengan terlalu polos. Ia percaya semua pertanyaan akan adil, semua tes akan jujur.
Kini, ia tahu bahwa ini bukan sekadar tes kemampuan, melainkan ujian politik yang dirancang untuk menjatuhkan atau mengangkat seseorang.
Tak lama kemudian, derap kuda dan roda kereta berhenti di depan gerbang utama. Suara terompet singkat menggema. Para pelayan segera berbaris rapi menyambut.
Masuklah rombongan kerajaan: Lady Debora, seorang bangsawati tua yang dipercaya langsung oleh Ibu Suri Elenora, ditemani seorang guru besar tata krama, serta seorang penasihat istana. Mereka semua dikenal berhati tajam, sulit disenangkan.
Duke Leontinus sendiri menyambut mereka di aula utama. “Kediaman Barak merasa terhormat atas kunjungan Yang Mulia,” ucapnya dengan sopan.
Lady Debora hanya tersenyum tipis. “Kami datang atas perintah Ibu Suri. Hari ini, kami ingin melihat sendiri kemampuan Lady Camilla. Bukan sekadar kecantikan, melainkan otak, sopan santun, dan.. daya tahan.”
Kata terakhir itu ia ucapkan dengan tekanan halus, membuat beberapa pelayan saling pandang dengan gugup.
Camilla kemudian dipanggil masuk. Ia berjalan perlahan melewati aula besar dengan gaun sederhana berwarna putih gading. Setiap langkahnya mantap, setiap gerakan tubuhnya penuh kendali.
Lady Debora memperhatikan dengan saksama, lalu tersenyum miring. “Lady Camilla, mari kita mulai dengan sesuatu yang mudah. Bagaimana Anda menilai peran seorang Putri Mahkota dalam kerajaan ini?”
Camilla menatap mata sang bangsawati tanpa gentar. Dalam kehidupannya dulu, ia menjawab dengan naif, mengatakan bahwa seorang Putri Mahkota hanya perlu mendukung suaminya. Jawaban itu membuatnya tampak lemah. Kini, ia sudah belajar.
Ia menunduk sopan lalu menjawab, suaranya tenang namun penuh keyakinan:
“Seorang Putri Mahkota bukan sekadar pendamping. Ia adalah jembatan antara rakyat dan istana, cahaya yang memberi keyakinan pada bangsawan maupun rakyat jelata. Tugasnya bukan hanya mendampingi Putra Mahkota, melainkan menjaga keseimbangan istana, menenangkan hati rakyat, dan memastikan stabilitas yang diwariskan kepada generasi berikutnya.”
Ruangan hening sejenak. Para utusan saling pandang, jelas terkejut dengan kedalaman jawaban itu.
Guru besar tata krama berdehem, mencoba menggoyahkan: “Kata-kata indah, Lady. Namun kecantikan sering lebih berbicara daripada pikiran. Bagaimana jika Putra Mahkota hanya menginginkan seorang permaisuri yang cantik, bukan yang pintar?”
Camilla tersenyum samar. “Kecantikan akan memudar seiring waktu, Tuan. Tapi kecerdasan, kesetiaan, dan kekuatan hati.. akan bertahan lebih lama daripada wajah yang rupawan.”
Duke Leontinus yang duduk di kursinya menatap putrinya dengan bangga, meski wajahnya tetap tenang.
Lady Debora mengetuk kipasnya pelan, menahan senyum tipis. “Menarik.. sangat menarik.”
Tes berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaan sulit: mulai dari strategi mengatur jamuan kerajaan, mengomentari politik luar negeri, hingga menguji pengetahuan sastra klasik. Camilla menjawab semuanya dengan tenang, tak satu pun membuatnya goyah.
***
Di ruang kerjanya, Arthur menuliskan laporan perang. Lilin sudah hampir habis, namun tangannya tetap bergerak cepat.
Aiden berdiri di samping, memberi laporan tambahan. “Beberapa keluarga bangsawan sudah mulai mendekati Ibu Suri, Yang Mulia. Saya mencium ada aliansi yang terbentuk.”
Arthur mengangguk singkat. “Awasi mereka, aku ingin tahu siapa yang di pilih oleh wanita tua itu.”
“Tentu, Yang Mulia.”
Di sisi lain dari istana, tepatnya di Paviliun Seraphine, kediaman resmi Ibu Suri Elenora, malam berjalan dengan cara yang berbeda.
Tidak ada tumpukan laporan perang, tidak ada bau lilin habis terbakar. Yang ada hanyalah harum teh melati yang mengepul dari cangkir-cangkir porselen, suara lembut kecapi yang dimainkan pelayan, dan cahaya lentera yang membuat ruangan berkilau keemasan.
Ibu Suri Elenora duduk anggun di kursi tinggi berlapis beludru ungu. Usianya sudah melewati lima puluh, tapi wajahnya masih memancarkan kecantikan yang terjaga dengan baik. Senyum tipisnya jarang sekali tulus, kebanyakan hanyalah selubung untuk menutupi pikiran yang berlapis-lapis.
Di hadapannya tergeletak daftar panjang nama-nama gadis bangsawan yang dinominasikan untuk menjadi Putri Mahkota, calon pendamping Putra Mahkota Arthur.
Elenora mengetuk-ngetukkan ujung kipas gadingnya di atas daftar itu, matanya menyipit penuh perhitungan.
“Putri dari keluarga Marquis Valmont.. terlalu lemah lembut. Akan hancur begitu saja di tengah intrik istana.”
“Putri Countess Almare.. cantik, tapi keluarganya tidak memiliki cukup pengaruh.”
“Ah… dan ini… Camilla El Barak.”
Ibu Suri berhenti di nama itu. Senyum samar terbentuk di wajahnya.
“Putri dari Duke Leontinus Barak. Cerdas, terdidik, tapi… keluarga Barak terlalu berpengaruh. Menyatukan mereka dengan takhta mungkin akan membuat neraca kekuasaan condong terlalu jauh ke satu sisi.” Ia menutup kipasnya perlahan. “Menarik, tapi berbahaya.”
Seorang dayang tua yang berdiri di dekatnya memberanikan diri bertanya, “Apakah Yang Mulia mempertimbangkan Lady Camilla, Ibu Suri?”
Elenora menoleh sekilas, tatapannya tajam meski bibirnya tetap melengkung manis. “Aku mempertimbangkan semua. Tapi memilih Putri Mahkota bukan sekadar memilih pendamping untuk cucu tiriku. Ini tentang siapa yang akan kuizinkan berdiri di sisinya… dan siapa yang akan kuizinkan memegang pengaruh di sekitarnya.”
Tangannya kembali bergerak menyusuri daftar. “Ada pula gadis baru yang datang dari garis keturunan jauh kerajaan utara.. Annette.”
Nada suaranya terdengar berbeda saat menyebut nama itu. Senyum Ibu Suri melebar tipis, seperti menemukan permata tersembunyi.
“Tidak banyak yang tahu asal-usulnya, namun justru karena itu.. dia mudah dibentuk. Tidak terlalu banyak beban politik di belakangnya. Wajah polos, senyum manis, hati lembut. Anak seperti itu mudah dikendalikan.. dan yang terpenting, tidak akan menyaingi kekuasaanku.”
Dayang tua itu menunduk. “Apakah Ibu Suri akan memilih Lady Annette, maka?”
Elenora menggerakkan kipasnya pelan, menutupi sebagian senyum liciknya. “Bukan memilih.. belum. Aku hanya akan mengamati. Biarkan mereka semua saling bersaing, saling menjatuhkan. Dari sana, yang paling cocok akan muncul dengan sendirinya. Dan saat itu terjadi, aku akan memastikan Putri Mahkota yang terpilih adalah yang sesuai dengan kepentinganku.”
Ia berdiri, gaun ungu gelapnya bergemerisik menyapu lantai marmer. “Sampaikan undangan padaku. Aku ingin menghadiri sesi penilaian berikutnya. Akan menarik melihat bagaimana gadis-gadis itu berusaha menarik perhatian.”
Lilin di paviliun padam satu per satu, menyisakan cahaya bulan yang menembus jendela besar.
Di dua sisi istana yang berbeda, dua permainan tengah dimulai, Arthur di ruang kerjanya mengawasi pergerakan bangsawan, sementara Ibu Suri Elenora menyusun bidak-bidaknya di papan catur politik.
***
Keesokan paginya, Istana Kerajaan tampak lebih sibuk dari biasanya. Para pelayan berlarian membawa vas bunga, kain sutra, serta peralatan perjamuan. Aula timur akan dipakai untuk sesi penilaian pertama para kandidat Putri Mahkota.
Camilla berdiri di depan cermin besar di kamarnya, mengenakan gaun biru pucat yang dipilihkan Mary. Gaun itu sederhana dibandingkan milik para putri bangsawan lain, namun justru menonjolkan kecantikan alami dirinya. Rambut coklatnya digelung tinggi, menyisakan beberapa helai tipis yang jatuh lembut di sisi wajahnya.
Mary menatapnya dengan kagum. “Lady.. Anda terlihat menawan sekali hari ini. Semua mata pasti akan tertuju pada Anda.”
Camilla tersenyum samar. “Semoga saja, Mary. Tapi bukan hanya keindahan yang harus mereka lihat.. melainkan kekuatanku.”
Ia tahu benar, di kehidupan sebelumnya, inilah awal segalanya. Ia memasuki aula itu dengan hati penuh kepolosan, percaya bahwa keanggunan dan pendidikan yang dimilikinya sudah cukup. Nyatanya, satu senyuman manis Annette mampu membalik segalanya.
Kini, Camilla sudah berbeda. Ia tidak akan membiarkan dirinya lagi menjadi pion.
Sementara itu, di Paviliun Seraphine, Ibu Suri Elenora bersiap menuju aula. Ia mengenakan gaun beludru ungu tua dengan hiasan mutiara, mahkota tipis berkilau di atas rambut peraknya. Dayang-dayangnya sibuk menata detail kecil, sementara Elenora menatap ke cermin perunggu.
“Biarkan gadis-gadis itu datang dengan ambisi mereka,” ucapnya pelan, seakan berbicara kepada dirinya sendiri. “Hari ini aku akan melihat siapa yang sekadar bunga, dan siapa yang memiliki duri tersembunyi.”
Aula timur akhirnya dipenuhi oleh para bangsawan tinggi, keluarga para kandidat, serta duta asing yang ingin menyaksikan proses seleksi. Musik lembut dari harpa terdengar, sementara cahaya matahari masuk melalui kaca patri, memantulkan warna emas dan biru di lantai marmer.
Arthur hadir dengan pakaian resmi militer, berdiri di samping tahta cadangan di bawah bendera kerajaan. Wajahnya tenang, dingin, nyaris tanpa ekspresi, namun sorot matanya penuh pengamatan.
Aiden mendekat sedikit, berbisik, “Yang Mulia, para kandidat sudah memasuki aula.”
Arthur mengangguk singkat. Pandangannya menyapu ke arah pintu besar, menunggu.
Satu per satu para gadis bangsawan masuk dengan gaun indah, senyum penuh percaya diri, dan tatapan yang berusaha merebut perhatian.
Namun ketika Camilla El Barak melangkah masuk, suasana seakan berubah. Gaun biru pucatnya memang tidak paling mewah, tapi cara ia berjalan tenang, mantap, penuh wibawa membuat banyak pasang mata terpaku.
Arthur mengernyit tipis. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu. Bukan hanya keindahannya.. tapi aura yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.
Tak lama setelahnya, Annette masuk. Gadis berambut pirang lembut itu tersenyum manis, matanya bersinar polos. Para bangsawan berbisik-bisik, kagum akan keanggunan alaminya.
Ibu Suri Elenora tersenyum di kursinya, menyipitkan mata menatap kedua gadis itu. “Menarik,” bisiknya. “Satu bunga yang sudah mekar indah, dan satu tunas segar yang mudah dibentuk. Mari kita lihat.. siapa yang akan bertahan lebih lama di taman penuh racun ini.”