NovelToon NovelToon
Incase You Didn'T Know

Incase You Didn'T Know

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Pernikahan Kilat / Nikahmuda / Dijodohkan Orang Tua / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:796
Nilai: 5
Nama Author: Faza Hira

Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19

Saat mereka berjalan menjauh, Bunga bisa merasakan tatapan Reza dan seluruh tim BEM menusuk punggungnya. Ia tahu apa yang mereka pikirkan.

Sang 'wali galak' itu... nyata.

Dan dia sama sekali tidak seperti yang mereka bayangkan.

Mobil Arga terparkir di area penjemputan VIP, sebuah sedan hitam elegan yang terlihat sama mahalnya dengan gedung di belakang mereka. Seorang petugas membukakan pintu untuk Bunga, dan ia masuk dengan canggung. Arga masuk ke kursi pengemudi, menyalakan mesin, dan melaju dengan tenang ke jalanan Jakarta yang padat.

Keheningan di dalam mobil terasa berbeda. Bukan hening yang canggung atau marah. Ini adalah keheningan yang berat, penuh dengan hal-hal yang tidak terucapkan. Bunga tidak berani memulai. Ia hanya menatap lampu-lampu kota yang berkelip di luar jendela.

"Jadi," suara Arga akhirnya memecah keheningan, nadanya datar dan tenang. "Itu Reza."

Itu bukan pertanyaan. Itu adalah pernyataan.

"Iya, Mas," jawab Bunga pelan. "Yang Bunga ceritain."

"Hmm," Arga bergumam. "Dia kelihatan... persis seperti yang Mas bayangkan."

Bunga menoleh. "Maksud Mas Arga?"

"Penuh pesona," kata Arga, matanya tetap fokus ke jalan. "Tipe yang tahu persis apa yang harus dikatakan untuk membuat seorang gadis merasa istimewa. Tipe yang biasa mendapatkan apa yang dia mau."

Ada nada dingin dalam analisis Arga. Itu bukan pujian. Itu adalah diagnosis.

Bunga terdiam. Ia tidak bisa menyangkalnya.

"Mas..." Bunga memberanikan diri. "Tadi... Mas Arga nggak perlu sampai segitunya."

"Segitunya gimana?" tanya Arga, seolah ia tidak melakukan apa-apa yang luar biasa.

"Sikap Mas... dingin banget. Kasihan Kak Reza, dia kan niatnya baik, mau ngerayain keberhasilan tim," kata Bunga. Sebagian dari dirinya merasa tidak enak pada Reza.

Arga meliriknya sekilas, tatapannya tajam. "Niatnya mungkin baik. Tapi tujuannya bukan tim. Tujuannya kamu."

Bunga tidak bisa membantah.

"Dengar, Bunga," kata Arga, nadanya kini berubah menjadi seperti seorang mentor. "Di dunia kerja nanti, kamu akan sering bertemu orang seperti dia. Cerdas, ambisius, pandai bicara. Mereka akan memujimu, membuatmu merasa hebat. Tapi kamu harus selalu bisa membedakan mana yang tulus mengagumi pekerjaanmu, dan mana yang punya agenda lain."

"Jadi Mas Arga pikir Kak Reza punya agenda lain?"

"Mas nggak 'mikir'," kata Arga. "Mas tahu. Dan sekarang, dia juga tahu."

"Tahu apa?"

"Tahu kalau kamu," Arga berhenti sejenak, mencari kata yang tepat, "bukan target yang mudah."

Jantung Bunga berdebar. Ia merasa seperti bidak catur yang baru saja dilindungi oleh sang raja.

"Bunga malu, Mas," akunya jujur. "Dilihatin teman-teman BEM yang lain. Mereka pasti mikir Bunga aneh. Dikekang banget."

"Biarin," kata Arga enteng. "Biarin mereka mikir begitu. Jauh lebih baik dianggap 'dikekang' daripada dianggap 'gampangan'. Reputasi itu dibangun di awal. Sekali kamu dicap mudah didekati, akan susah menghapusnya."

Logika Arga lagi-lagi tak terbantahkan. Dingin, pragmatis, dan sayangnya, benar.

"Mas Arga... kok bisa tahu semua hal kayak gitu?" tanya Bunga penasaran.

Arga tersenyum tipis, senyum pertama sejak mereka masuk mobil. "Mas sudah lebih lama hidup di 'hutan' ini daripada kamu, Bunga. Mas sudah lihat banyak hal."

Mereka tiba di apartemen. Keheningan kembali menyelimuti mereka saat di dalam lift. Saat Arga membuka pintu unit mereka, aroma masakan yang samar-samar masih tercium.

"Kamu pasti lapar," kata Arga, meletakkan kunci di meja. "Mas pesan makanan. Mau apa? Sebagai hadiah karena presentasimu bagus."

Bukan pujian emosional. Tapi sebuah hadiah logis. Itu sangat... Arga.

"Beneran, Mas?"

"Iya. Kamu mau apa? Steak? Sushi? Mumpung hari Jumat."

Bunga berpikir sejenak. Ia baru saja melewati hari yang paling menegangkan sekaligus paling membanggakan dalam hidupnya. Ia tidak ingin makanan mewah. Ia ingin... kenyamanan.

"Bunga mau... bubur ayam Mang Ujang yang di seberang stasiun," katanya.

Arga menatapnya, sedikit terkejut. "Bubur ayam?"

"Iya. Yang pakai sate usus," kata Bunga. "Boleh, kan?"

Arga menatapnya lama, lalu tersenyum tulus. Senyum yang membuat wajah lelahnya terlihat sangat hangat. "Boleh. Tentu saja boleh."

Malam itu, mereka makan bubur ayam di meja makan. Arga menceritakan sedikit tentang proyeknya yang rumit. Bunga menceritakan detail sesi tanya jawab dalam presentasinya. Mereka berbicara seperti dua kolega yang baru saja melewati minggu yang berat.

Tidak ada lagi pembahasan soal Reza. Tidak perlu. Arga telah membuat pernyataannya di lobi marmer itu. Dan Bunga, tanpa sadar, telah memilih pihaknya.

Keesokan paginya di kampus, dampaknya langsung terasa.

Bunga berjalan masuk ke kantin bersama Vina, dan ia bisa merasakannya. Tatapan-tatapan itu. Beberapa mahasiswa dari BEM yang kemarin ada di lobi, menyapanya dengan sedikit canggung. "Pagi, Bunga." Sapaan mereka sopan, tapi ada jarak.

"Gila, Bunga," Vina memulai interogasinya begitu mereka duduk dengan semangkuk mi ayam. "Lo harus cerita. Semuanya. Dari awal sampai akhir. Siapa cowok itu? Jangan bilang itu 'sepupu jauh' lagi, gue nggak percaya!"

Bunga menghela napas. Ia sudah menduga ini.

"Dia... Mas Arga. Wali Aku," kata Bunga, menggunakan alibi yang sudah disepakati.

"Wali macam apa yang gantengnya kayak gitu?!" pekik Vina tertahan. "Dia bukan kayak bapak-bapak! Dia kayak... CEO muda di drama Korea! Terus cara dia natap Kak Reza? Sumpah, gue kira mereka mau berantem!"

"Dia emang gitu, Vin. Protektif banget," kata Bunga, mencoba terdengar biasa saja.

"Protektif apa posesif?" tanya Vina, alisnya terangkat. "Terus cara dia naruh tangan di bahu lo? Itu bukan gestur wali! Itu gestur pacar! Lo... lo pacaran sama wali lo sendiri, ya?"

Wajah Bunga memerah. "Nggak! Apaan, sih! Dia udah kayak kakakku sendiri."

"Kakak macam apa yang bikin Presiden BEM kicep?" Vina masih tidak percaya. "Sumpah, Bunga. Seluruh anak BEM gosipin lo. Mereka bilang, pantesan Melati susah banget diajak keluar, ternyata 'penjaga'-nya serem."

Bunga meringis. Jadi benar. Reputasinya kini adalah 'gadis yang dijaga ketat'. Persis seperti yang Arga inginkan.

"Ya... emang gitu kenyataannya," kata Bunga pasrah.

"Tapi lo suka sama Kak Reza, kan?" desak Vina.

Bunga terdiam. Pertanyaan itu, yang beberapa minggu lalu akan ia jawab dengan 'iya' tanpa ragu, kini terasa rumit.

"Dia baik, Vin," jawab Bunga diplomatis. "Dan pinter."

"Nah, kan! Terus gimana? Lo mau nyerah gitu aja gara-gara wali lo?"

"Bukan gitu," kata Bunga pelan, menatap mangkuk mi ayamnya. "Cuma... mungkin memang lebih baik aku fokus kuliah dulu."

Ia mengucapkan kata-kata itu, dan ia terkejut pada dirinya sendiri. Kata-kata itu terdengar seperti sesuatu yang akan diucapkan Arga.

Saat itulah, Reza masuk ke kantin bersama beberapa temannya. Matanya bertemu dengan mata Bunga dari seberang ruangan.

Ia tersenyum. Senyum yang sopan. Ia tidak menghampiri meja Bunga seperti biasanya. Ia hanya mengangguk kecil, lalu berjalan ke warung soto bersama teman-temannya.

Interaksi itu singkat, tapi pesannya jelas. Ada jarak baru di antara mereka. Jarak yang bernama Arga.

"Tuh, kan!" bisik Vina. "Dia jadi jaga jarak! Gara-gara wali lo!"

Bunga menatap Reza yang sedang tertawa dengan teman-temannya. Ada sedikit rasa kehilangan. Kehilangan fantasi tentang romansa kampus yang sempurna. Tapi anehnya, rasa kehilangan itu tidak sedalam yang ia bayangkan. Itu tertutupi oleh perasaan lain... perasaan aman.

Malam itu, 'Jam Bimbingan' terasa berbeda.

"Mas," panggil Bunga, meletakkan pensilnya. Mereka sedang duduk berseberangan di meja makan, tenggelam dalam pekerjaan masing-masing.

"Hmm?" Arga tidak mendongak dari layar laptopnya.

"Teman-teman di kampus... gosipin Mas Arga."

Arga berhenti mengetik. Ia mendongak, alisnya terangkat. "Oh, ya? Mereka bilang apa?"

"Mereka bilang... wali Bunga serem. Posesif," kata Bunga, mengamati reaksi Arga.

Arga hanya tersenyum tipis. "Bagus. Biar mereka nggak ganggu kamu."

"Mas Arga sengaja, ya?"

"Sengaja apa?"

"Sengaja... bikin kesan kayak gitu?"

Arga melepas kacamatanya. Ia menatap Bunga. "Bunga, di dunia ini, ada dua cara untuk mendapatkan rasa hormat. Pertama, dengan menjadi sangat ramah dan disukai semua orang. Kedua, dengan menjadi seseorang yang tidak bisa dianggap remeh."

Ia berhenti sejenak. "Mas memilih yang kedua. Dan Mas mau kamu juga belajar itu."

Bunga terdiam. Nasihat Arga selalu datang dari sudut pandang yang tidak pernah ia pikirkan.

"Kak Reza juga jadi... beda," lanjut Bunga.

"Beda gimana?"

"Lebih formal. Lebih jaga jarak. Tadi dia cuma nyapa dari jauh."

"Itu bagus, kan?" kata Arga. "Artinya dia menghormati 'batasan' yang sudah kita buat. Sekarang hubungan kalian murni profesional. Kamu desainer, dia ketua proyek. Selesai. Nggak ada drama."

Tidak ada drama. Itu adalah dunia ideal Arga.

Tapi Bunga adalah perempuan 18 tahun. Sedikit drama kadang terasa menyenangkan.

"Tapi... apa Bunga jadi nggak punya teman cowok, Mas?" tanya Bunga pelan.

Pertanyaan itu membuat Arga terdiam. Ia menatap Bunga dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Kamu mau punya teman cowok?" tanyanya balik, suaranya pelan.

"Ya... mau, lah, Mas. Wajar, kan?"

Arga bersandar di kursinya. "Punya teman boleh. Tapi kamu harus bisa bedakan mana yang tulus mau jadi teman, dan mana yang punya maksud lain. Dan saat ini," ia menatap Bunga lekat, "kamu belum bisa bedakan itu."

"Kata siapa?" protes Bunga.

"Kalau kamu sudah bisa," kata Arga, "kamu nggak akan segampang itu percaya sama senyumnya si Reza."

Bunga terdiam. Tertohok.

"Belajar dulu," kata Arga, suaranya kembali menjadi mentor. "Fokus sama kuliahmu. Bangun nilaimu. Bangun portofoliomu. Buat dirimu 'kuat' dulu. Nanti, kalau kamu sudah punya fondasi yang kokoh, kamu akan bisa menarik orang-orang yang tulus dengan sendirinya. Bukan cuma orang yang tertarik karena kamu... cantik dan kelihatan naif."

Lagi-lagi, Bunga tidak bisa membantah logikanya. Arga sedang mengajarinya tentang nilai diri.

Ponsel Arga di atas meja berdering. Nama "Ibu" tertera di layar.

Arga menekan tombol speaker. "Assalamu'alaikum, Buk."

"Wa'alaikumsalam, Le," suara Ibu Arga terdengar ceria. "Lagi di mana? Nggak ganggu, kan?"

"Lagi di apartemen, Buk. Lagi kerja. Ada Bunga juga di sini." Arga melirik Bunga, memberinya isyarat.

Bunga langsung mendekat. "Halo, Tante!"

"Lho, kok Tante? Panggil Ibu, dong, Nduk. Kan sudah jadi menantu Ibu," protes Ibu Arga lembut. "Kalian lagi ngapain berdua malam-malam?"

Bunga dan Arga saling berpandangan.

"Lagi... belajar bareng, Buk," jawab Arga. "Bunga lagi banyak tugas kuliah."

"Oalah, pinter. Suami harus bantu istrinya, ya, Ga. Jangan dibiarin sendirian," nasihat Ibu Arga. "Gimana, Bunga? Arga jagain kamu baik-baik, kan? Dia nggak galak, kan?"

Bunga melirik Arga yang memasang wajah datar. Ia menahan tawa. "Dijagain banget kok, Bu. Mas Arga baik... banget."

Arga menyipitkan matanya pada Bunga, sebuah peringatan tanpa suara.

"Syukurlah kalau gitu," kata Ibu Arga. "Oh ya, Ibu telepon cuma mau kasih tahu. Dua minggu lagi, Ayah sama Ibu mau ke Jakarta. Mau tengokin kalian. Kangen juga sama pengantin baru."

Bunga dan Arga membeku. Mereka saling menatap dengan panik.

"Dua minggu lagi?" ulang Arga, berusaha menjaga suaranya tetap tenang.

"Iya. Nanti kami menginap di tempat kalian, ya? Biar hemat. Ibu pengen lihat apartemen kalian. Pengen dimasakin sama menantu Ibu juga," kata Ibu Arga, sama sekali tidak sadar akan bom yang baru saja ia jatuhkan.

Menginap. Di apartemen mereka. Apartemen dengan dua kamar tidur terpisah.

Sandiwara mereka akan diuji di level yang paling tinggi.

"Tentu, Buk," jawab Arga, suaranya terdengar sangat tenang, padahal Bunga bisa melihat otot rahangnya menegang. "Dengan senang hati. Nanti Arga jemput di stasiun."

Setelah telepon ditutup, Bunga menatap Arga dengan ngeri.

"Mas..." bisiknya. "Gimana ini?"

Arga melepas kacamatanya lagi. Ia memijat pangkal hidungnya, terlihat sangat pusing. "Mas juga nggak tahu."

Mereka duduk dalam keheningan yang tegang, menatap satu sama lain di seberang meja makan.

'Jam Bimbingan' malam itu berakhir lebih cepat. Ada masalah yang jauh lebih besar daripada kuil Parthenon yang harus mereka selesaikan.

1
indy
Ceritanya bikin senyum-senyum sendiri. arga latihan sekalian modus ya...
minsook123
Suka banget sama cerita ini, thor!
Edana
Sudah berhari-hari menunggu update, thor. Jangan lama-lama ya!
Ivy
Keren banget sih ceritanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!