Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Bunga ditinggal berdiri sendirian di tengah ruang tamu. Aroma kopi dari kantong kertas di atas meja bercampur dengan aroma opor ayam dari dapur. Ironi itu terasa begitu pahit di lidahnya.
Pintu kamar Arga tertutup. Cklek.
Suara itu terdengar final. Lebih keras dari bentakan. Lebih dingin dari sikap acuh tak acuh. Itu adalah suara ditutupnya sebuah pintu kepercayaan.
Bunga tidak bergerak selama beberapa menit. Ia hanya berdiri mematung, mencerna apa yang baru saja terjadi.
Ketahuan.
Ia tidak hanya ketahuan berbohong. Ia ketahuan berbohong pada satu-satunya orang di kota ini yang menjadi sandarannya. Orang yang ia tahu baru kemarin membela namanya di depan seorang dosen, yang baru tadi pagi ia bekali opor, yang baru saja ia tunggu kepulangannya dengan bangga.
Rasa bersalah menggerogotinya.
Makan. Opornya sudah Mas hangatkan.
Perintah dingin itu menggema. Ia berjalan ke dapur dengan langkah berat. Nasi dan semangkuk opor ayam yang tadi ia masak dengan penuh kebanggaan, kini terhidang di atas meja. Arga pasti menghangatkannya di microwave sambil menunggunya pulang.
Ia duduk. Perutnya mual. Ia sama sekali tidak lapar. Tapi ia memaksakan diri mengambil sendok.
Suapan pertama terasa hambar. Kuah opor yang kemarin terasa kaya dan gurih, malam ini terasa seperti abu. Ia makan dalam keheningan total. Apartemen yang mewah itu mendadak terasa seperti kuburan. Tidak ada suara TV. Tidak ada suara Arga mengetik di laptopnya. Tidak ada suara apa pun kecuali denting pelan sendoknya yang beradu dengan piring.
Setiap suapan terasa seperti hukuman.
Ia selesai makan, mencuci piringnya, dan membersihkan dapur hingga kinclong. Lebih kinclong dari biasanya. Ia membersihkan meja, mengelap kompor, bahkan menyikat wastafel. Ia butuh melakukan sesuatu. Ia butuh menyibukkan tangannya agar otaknya berhenti berteriak.
Pukul setengah delapan. Pintu kamar Arga masih tertutup rapat.
Bunga tidak tahan lagi. Ini harus diselesaikan. Ia tidak bisa hidup dalam suasana perang dingin seperti ini. Ini adalah rumahnya, dan Arga adalah... keluarganya. Setidaknya untuk saat ini.
Ia berjalan ke kamar Arga. Pintu kayu solid itu menjulang di depannya, terlihat mengintimidasi.
Ia mengangkat tangannya. Ragu.
Bagaimana jika Mas Arga marah besar?
Ia menarik napas. Ia lebih takut pada keheningan ini daripada pada amarah Arga.
Tok... tok...
Ia mengetuk pelan.
Tidak ada jawaban.
Ia bisa mendengar suara samar-samar, mungkin Arga sedang memakai headphone.
Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Tok... tok... tok!
Hening sejenak. Lalu terdengar langkah kaki berat. Pintu terbuka.
Arga berdiri di sana. Ia sudah berganti kaus oblong dan celana pendek. Rambutnya sedikit acak-acakan. Wajahnya... kosong. Datar. Tidak marah, tidak sedih. Hanya lelah. Dan dingin.
"Mas..." panggil Bunga lirih.
Arga hanya menatapnya, alisnya terangkat sedikit, menunggu.
"Bunga... Bunga minta maaf," katanya, suaranya bergetar.
Arga bersandar di kusen pintu, tangannya terlipat di dada. "Maaf untuk apa, Bunga?" tanyanya, suaranya tenang. Terlalu tenang. "Maaf karena sudah berbohong? Atau maaf karena pergi?"
Pertanyaan itu menjebak. Bunga merasa sedikit tersudut. Rasa bersalahnya bercampur dengan sedikit pembelaan diri.
"Kenapa Bunga harus minta maaf karena pergi?" katanya, suaranya sedikit meninggi. "Perjanjian kita, Bunga bebas, kan? Bunga bebas berteman sama siapa aja. Termasuk... Kak Reza."
Arga tersenyum. Tapi itu bukan senyum. Itu hanya tarikan sinis di sudut bibirnya.
"Kamu benar," katanya. "Perjanjiannya kamu bebas."
Ia berhenti sejenak, menatap lurus ke mata Bunga. "Tapi perjanjiannya juga, Mas adalah 'wali' kamu. Mas adalah 'kakak pelindung' kamu. Mas adalah partner kamu dalam sandiwara ini. Dan kamu... berbohong."
Bunga menciut.
"Kamu nggak bilang, 'Mas, aku mau ngopi'. Kamu bilang, 'Mas, aku mau kerja kelompok'. Kamu nggak bilang 'di kafe', kamu bilang 'di perpus'. Kamu nggak bilang 'sama senior cowok', kamu bohong soal 'jam malam ibu kost'."
Arga melangkah maju satu langkah. Bunga refleks mundur.
"Berapa banyak kebohongan dalam satu sore, Bunga?" tanyanya tajam. "Justru karena 'perjanjian' inilah kamu harusnya jujur!"
Suara Arga tidak meninggi, tapi intensitasnya membuat Bunga gemetar.
"Saya," kata Arga, mengganti panggilannya dari 'Mas' menjadi 'Saya', "nggak peduli kamu mau ngopi sama sepuluh ketua BEM sekaligus. Itu hak kamu. Tapi saya peduli kalau kamu bohongin saya soal lokasi."
"Saya nggak bermaksud..."
"Kamu nggak bermaksud apa?" potong Arga. "Bagaimana saya bisa 'jaga' kamu, seperti janji saya ke Ayahmu, kalau saya nggak tahu kamu ada di mana? Kalau tadi, amit-amit, kamu pingsan di kafe itu, atau kamu diganggu orang di jalan, saya akan cari kamu di perpustakaan universitas! Kamu paham, kan, masalahnya di mana?"
Itu dia. Logika Arga yang tajam dan tak terbantahkan. Ia tidak memarahi Bunga karena cemburu. Ia memarahi Bunga karena Bunga telah membahayakan keselamatannya sendiri dengan merusak sistem kepercayaan mereka.
Rasa bersalah Bunga kini seratus persen utuh. Tidak ada lagi pembelaan diri.
"Maaf, Mas..." bisik Bunga, air matanya mulai menggenang. "Bunga salah. Bunga nggak kepikiran sejauh itu. Bunga cuma... Bunga cuma takut Mas Arga marah kalau Bunga bilang mau pergi sama Kak Reza."
"Kenapa Mas harus marah?" tanya Arga.
"Nggak tahu..."
Keduanya terdiam. Bunga menunduk, menatap lantai marmer yang dingin di bawah kakinya.
"Lain kali," kata Arga, suaranya sedikit melunak, tapi masih tegas. "Bilang aja. 'Mas, Bunga mau ngopi sama Kak Reza'. Selesai. Mas nggak akan larang."
Bunga mendongak kaget. "Nggak akan?"
"Nggak akan," kata Arga. "Tapi Mas akan tanya, pulangnya jam berapa. Dan Mas akan pastikan kamu kirim lokasinya. Itu saja."
"Iya, Mas. Bunga janji."
"Bagus."
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Konfrontasi itu sepertinya sudah selesai. Bunga merasa sedikit lega, meski suasana masih kaku.
"Mas..." panggil Bunga lagi. "Mas Arga... kok bisa tahu Bunga pergi sama Kak Reza? Bunga kan cuma bilang mau 'kerja kelompok'."
Arga terdiam. Ia sepertinya tidak menyangka pertanyaan itu akan keluar. Ia telah membocorkan pengetahuannya. Ia tahu Bunga berbohong sebelum ia melihat kantong kopi itu. Kantong kopi itu hanya konfirmasi akhir.
"Gampang aja menyimpulkannya," elak Arga. "Kemarin kamu bilang dia yang bantu kamu. Hari ini kamu bohong soal 'kerja kelompok' di hari terakhir OSPEK, di mana nggak mungkin ada tugas. Jelas kamu pergi sama dia."
Penjelasan itu logis. Tapi Bunga merasa ada yang disembunyikan.
"Mas Arga... lihat Bunga di sana, ya?"
Wajah Arga mengeras. "Nggak."
"Terus... Mas Arga tahu dari mana kalau Kak Reza traktir Bunga dan minta dikabari?"
Mata Bunga membelalak saat ia menyadari apa yang baru saja ia katakan. Ia keceplosan! Ia baru saja mengkonfirmasi kecurigaan Arga!
Wajah Arga berubah dari dingin menjadi... sesuatu yang lain. Sesuatu yang gelap. Ia tidak tahu Arga mendengar itu.
"Oh," desis Arga pelan. "Jadi dia mentraktir kamu. Dan minta kamu kabari dia kalau sudah sampai."
"Mas! Maksud Bunga bukan..."
"Mas nggak tahu," potong Arga, suaranya kini benar-benar dingin. "Mas cuma menebak. Dan tebakan Mas benar, kan?"
Arga menatap Bunga. "Dia ketua BEM, Bunga. Dia nggak bodoh. Dia tahu persis apa yang dia lakukan."
"Dia cuma baik, Mas!"
"Nggak ada senior cowok yang 'cuma baik' sampai segitunya sama maba cewek," kata Arga sinis. "Kamu boleh naif, tapi jangan bodoh. Dia sedang mendekatimu."
"Mas Arga cemburu?"
Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Bunga. Berani, dan langsung ke intinya.
Arga terpaku. Ia menatap Bunga seakan baru saja ditampar. Ekspresi sinisnya lenyap, digantikan oleh keterkejutan. Seakan Bunga baru saja menyentuh saraf yang paling terbuka.
"Saya?" Arga tertawa. Tawa yang hambar dan sama sekali tidak lucu. "Kenapa saya harus cemburu? Perjanjian kita jelas. Kamu bukan siapa-siapa saya, selain 'adik' yang dititipkan."
Ouch.
Kata-kata itu menghantam Bunga lebih keras dari bentakan Kak Dito.
"Saya cuma nggak mau," lanjut Arga, suaranya kembali datar dan dingin, "reputasi kamu hancur di semester pertama. Saya nggak mau 'istri' saya—walaupun cuma pura-pura—terlihat seperti cewek gampangan yang baru masuk kuliah sudah 'ngopi berdua' sama senior."
Itu... kejam.
Bunga merasakan air matanya benar-benar jatuh kali ini. "Mas Arga... jahat," bisiknya.
Ekspresi Arga sedikit berubah saat melihat air mata Bunga. Ada penyesalan di matanya. Ia sepertinya sadar kata-katanya keterlaluan. Ia baru saja melakukan hal yang sama dengan Kak Dito—mempermalukan Bunga.
Ia menghela napas, mengusap wajahnya. "Bunga, Mas nggak bermaksud..."
"Bunga ngerti," potong Bunga cepat. Ia menghapus air matanya dengan kasar. Ia tidak mau terlihat lemah. "Bunga ngerti posisi Bunga. Maaf, Mas. Bunga nggak akan bohong lagi. Dan Bunga akan 'jaga reputasi'. Permisi."
Tanpa menunggu jawaban Arga, Bunga berbalik badan dan setengah berlari masuk ke kamarnya.
Brak.
Ia menutup pintunya lebih keras dari yang ia niatkan.
Arga ditinggal berdiri sendirian di depan pintu kamarnya. Ia menatap pintu kamar Bunga yang tertutup. Ia baru saja melakukan kesalahan besar. Ia ingin melindungi Bunga dari Reza, tapi ia malah melukai Bunga dengan kata-katanya sendiri.
Ia mengepalkan tangannya. "Sialan," umpatnya pelan, entah pada dirinya sendiri, pada Reza, atau pada situasi rumit yang mereka ciptakan.
Ia kembali masuk ke kamarnya, dan malam itu, untuk pertama kalinya, Arga Pradipta merasa sangat membenci 'perjanjian' yang ia buat sendiri.
Besoknya adalah hari Sabtu.
Bunga terbangun dengan mata bengkak dan hati yang berat. Tidak ada OSPEK. Tidak ada kuliah. Hanya ada keheningan yang menyesakkan.
Ia memberanikan diri keluar kamar pukul tujuh pagi. Ia sudah siap mental untuk menghadapi suasana dingin.
Sesuai dugaannya, Arga sudah bangun. Laki-laki itu duduk di meja makan—bukan di sofa—dengan laptop terbuka. Ia sudah rapi dengan kaus polo abu-abu, seakan siap pergi. Tapi ia tidak pergi. Ia sedang bekerja. Fokusnya seratus persen pada layar di depannya, jemarinya menari di atas keyboard dengan cepat.
Tidak ada kopi yang diseduh untuk berdua. Tidak ada roti panggang. Hanya ada cangkir kopi hitam Arga sendiri di samping laptopnya.
Bunga berjalan pelan ke dapur, membuka kulkas untuk mengambil susu.
"Pagi, Mas," sapa Bunga, suaranya pelan, mencoba memecah kebekuan.
Arga tidak mendongak. Ia hanya bergumam "Pagi" tanpa menghentikan ketikannya.
Dingin. Sangat dingin.
Bunga menelan ludah. Oke. Jadi begini cara mainnya. Hati Bunga terasa sakit. Ia lebih suka Arga yang bawel, yang logis, yang bahkan sinis, daripada Arga yang mengabaikannya seperti ini.
Ia ingat aturan mereka. Sabtu. Jadwal bersih-bersih.
Minggu ini Mas, minggu depan kamu.
Minggu ini adalah gilirannya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Bunga mengambil vacuum cleaner dari lemari penyimpanan. Ia mencolokkannya ke stopkontak di dekat ruang tamu.
NGUUUUUNG...
Suara vacuum cleaner yang keras dan melengking memecah keheningan apartemen.
Arga, yang sedang fokus bekerja, sedikit tersentak oleh suara bising itu. Ia mendongak, alisnya berkerut. Matanya bertemu dengan mata Bunga.
Bunga menatapnya balik dengan tatapan menantang, seolah berkata, 'Ini jadwalku. Suka atau tidak, aku akan melakukannya.'
Arga menatapnya sejenak. Lalu, tanpa berkata apa-apa, ia mengambil cangkir kopi dan laptopnya, bangkit dari meja makan, dan pindah ke pantry dapur, membelakangi Bunga, melanjutkan pekerjaannya di sana.
Ia tidak mengeluh. Ia tidak melarang. Ia hanya... menghindar.
Bunga mematikan vacuum itu sejenak. Keheningan kembali datang. Punggung Arga yang tegap itu terlihat begitu jauh.
Perjanjian mereka tidak lagi retak. Perjanjian mereka sudah pecah berkeping-keping.
Bunga menyalakan kembali vacuum cleaner-nya. Suara bising itu setidaknya bisa menutupi suara hatinya yang terasa ngilu. Ini akan menjadi akhir pekan yang sangat panjang.