NovelToon NovelToon
After The Fall

After The Fall

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: ARQ ween004

Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.

Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.

Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.

Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.

Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.

Dan dia adalah sosok itu...

Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Agler yang mendominasi

Malam itu, udara Jakarta terasa berat — campuran antara dingin dan aroma bensin yang masih tertinggal di jalanan.

Jam digital di kamar Agler menunjukkan pukul 23.04 ketika suara deru mesin motor dari kejauhan terdengar samar.

Di dalam kamar bercahaya redup, Agler duduk di tepi ranjang. Jaket kulit hitam tergantung di bahunya, kunci motor berputar di jarinya. Di meja kecil di samping tempat tidur, sebuah foto lama — dirinya bersama seorang perempuan berwajah lembut — menatap hangat ke arah kamera.

Ia menatap foto itu sejenak. Tatapannya diam, terlalu dalam untuk disebut tenang. Lalu ia berdiri, mengenakan jaketnya, dan melangkah keluar kamar.

Begitu menuruni tangga, langkahnya melambat saat mendapati seorang pria paruh baya berdiri di ruang tengah — mengenakan kemeja rumah, dengan tangan terlipat di depan dada.

Daniel Cristian Kendrick — ayahnya.

“Keluar lagi?” suara berat itu memecah keheningan. Tenang, tapi jelas mengandung tekanan.

Agler berhenti di anak tangga terakhir. “Ya. Ada urusan.”

“Urusan?” Lelaki itu menatapnya tajam. “Urusan apa yang selalu kamu punya tengah malam?”

Nada sinis itu menggantung di udara.

Agler menahan napas, menatap balik tanpa gentar.

“Bukan urusan Daddy.”

“Agler. Jangan kurang ajar sama Daddy!” balas Daniel, langkahnya maju setengah meter. “Mau ke mana Daddy tanya?”

Agler melengos, menekan lidah pada pipi dalamnya sebelum menjawab. “Nongkrong sama teman.”

“Sampai kapan kamu hidup liar di jalanan? Malam-malam keluar, nongkrong sama anak-anak jalanan itu?”

Agler tersenyum miring, dingin. “Lebih mending nongkrong sama mereka daripada pura-pura jadi orang suci di rumah ini.”

“Agler, jaga ucapan kamu! Kamu sadar apa yang kamu katakan?”

“Tentu.” Ia menatap tajam. “Tapi sejak kapan Daddy peduli? Bukannya urusan Daddy cuma sama pelakor itu?”

“Agler!” bentak Daniel dengan tangan terangkat, siap mendarat ke pipi putranya — jika saja ia tak menahannya sendiri.

“Kenapa berhenti? Pukul aja. Bukankah pecundang kayak Daddy cuma bisa menghakimi tanpa mau introspeksi?” tantang Agler dengan nada tenang.

“Agler!!” bentakan Daniel menggema lebih keras, tangan yang tadi ditahan kembali terangkat.

Suasana langsung menegang. Detik jam dinding terdengar jelas di antara mereka — satu-satunya suara selain napas berat keduanya.

Ayahnya menatap tajam, tapi suaranya kini lebih rendah. “Kamu pikir dengan semua kelakuan kamu yang kayak gini bisa bikin Mommy kamu bangga?”

Mendengar itu, tatapan Agler seketika berubah — tajam, penuh kebencian dan dendam. “Siapa yang izinin Daddy nyebut nama Mommy di sini?”

Daniel terdiam.

Kalimat itu — tajam, penuh bara yang tak bisa dijinakkan — membelah udara di antara mereka seperti pisau yang memotong sisa kewarasan di rumah itu.

Tatapannya kehilangan arah sesaat. Tangan yang tadi terangkat perlahan turun, menggantung di sisi tubuh. Ia hanya berdiri di sana, mematung, menatap anak laki-lakinya yang kini berjalan menjauh tanpa menoleh lagi.

Langkah Agler menimbulkan gema berat di lantai marmer ruang tengah. Suara derap sepatunya seolah menandai jarak yang semakin jauh — bukan hanya secara fisik, tapi juga secara batin.

Ketika pintu utama terbuka, udara malam menerobos masuk, membawa dingin dan bau bensin dari jalanan. Agler sempat berhenti sejenak di ambang pintu. Hanya sebentar. Cukup untuk menarik napas dalam-dalam, seolah menahan segala amarah yang masih menempel di dadanya.

Lalu tanpa menoleh, ia melangkah keluar.

Daniel masih terpaku di tempatnya. Matanya mengikuti bayangan putranya yang kini sudah menuruni teras, menuju garasi kecil di sisi rumah.

Suara mesin motor terdengar — keras, kasar, penuh letupan tenaga seperti jantung yang tak mau diam.

Lampu depan motor sport hitam-merah itu menyala tajam, memantulkan cahaya ke dinding dan wajah Daniel yang tampak lebih muda dari usianya.

Ia berdiri di sana, hanya mampu menatap ketika motor itu melesat keluar gerbang dengan kecepatan tinggi.

Suara knalpot mengoyak keheningan malam.

Lalu hilang.

Yang tersisa hanya aroma bensin yang samar tertinggal di udara — dan tatapan kosong seorang ayah yang terlalu lama menyimpan rasa bersalah, tapi tak tahu bagaimana mengucapkannya.

Perlahan, Daniel menunduk. Bibirnya bergerak nyaris tanpa suara. “Maaf, Agler…”

Namun tak ada yang mendengar. Yang ada hanya rumah besar yang kembali sunyi, seolah ikut menelan sisa perdebatan yang belum sempat diselesaikan.

...----------------...

Langit Jakarta malam itu kelabu gelap, nyaris tanpa bintang. Lampu jalan berpendar redup di antara kabut tipis yang menggantung di udara, sementara jalanan mulai sepi — hanya beberapa kendaraan melintas dengan sorot lampu panjang menembus bayangan malam.

Suara raungan mesin motor sport hitam-merah milik Agler memecah keheningan itu. Ia melaju cepat di jalur kosong, melewati deretan bangunan beton dan jembatan layang yang dingin. Angin malam menghantam wajahnya, membawa aroma aspal basah dan bensin yang pekat — aroma yang entah kenapa terasa lebih familiar daripada aroma rumahnya sendiri.

Helm full-face-nya memantulkan cahaya lampu jalan. Sorot matanya di balik visor tampak tajam, fokus, tapi juga menyimpan sesuatu yang berat — kemarahan yang nyaris menyerupai kesunyian.

Beberapa kilometer kemudian, motor itu berbelok ke gang sempit di kawasan industri tua di utara kota. Dari luar tampak seperti gudang tua yang tak terpakai, tapi di dalamnya, lampu-lampu neon putih menyala redup, menerangi dinding-dinding penuh coretan logo hitam berbentuk ular melingkar — Black Venom.

Begitu motor Agler berhenti di dalam, suara mesinnya langsung membuat beberapa kepala menoleh. Suasana yang tadinya ramai mendadak sunyi sepersekian detik. Beberapa anggota yang sedang duduk di sofa kulit usang spontan berdiri.

“Agler datang,” suara berat seseorang memecah keheningan.

Langkah Agler terdengar tegas saat ia melepas helmnya. Rambutnya sedikit berantakan, mata tajamnya menyapu ruangan tanpa sepatah kata pun. Tak perlu — wibawanya sudah cukup untuk membuat semua orang diam.

Di sisi kanan, Arvin yang sedang mengisap rokoknya santai langsung menegakkan tubuh. Ia menatap sekilas ke arah Elvatir, yang bersandar di tiang baja sambil memainkan ponsel — tapi bahkan Elvatir, yang biasanya paling santai, malam itu ikut menahan napas.

Ada sesuatu di tatapan Agler yang berbeda. Bukan sekadar lelah, tapi seperti bara yang disulut dari luka lama.

“Kenapa semua diam?” suaranya rendah, serak, tapi berat — seperti peringatan.

Tak ada yang menjawab. Hanya desis halus dari kipas tua di langit-langit yang berputar malas.

Agler melangkah ke tengah ruangan, duduk di sofa panjang, lalu mengambil sebatang rokok. Ia menyalakannya, mengisap dalam, lalu mengepulkan asap tebal ke udara.

Arvin di sisinya cengengesan, berniat membuka percakapan untuk memecah ketegangan, tapi tatapan Agler berpindah padanya — dingin dan menekan. Arvin langsung kembali diam.

Elvatir, yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya bersuara pelan. “Ada yang ganggu pikiran lo, Gler?”

Agler menatap sekilas. “Nggak ada,” jawabnya datar. Tapi semua orang tahu, malam ini ada badai yang sedang ditahan di dalam dirinya.

Ia berdiri lagi, berjalan menuju ruangan belakang — ruangan pribadinya, yang hanya dia boleh masuki.

Sebelum pintu tertutup, ia berucap lirih tanpa menoleh.

“Jangan ada yang ganggu gue malam ini.”

Pintu logam tertutup dengan dentuman berat.

Suasana di ruang utama tetap tegang. Arvin menarik napas panjang, lalu memandang Elvatir dengan raut khawatir. “El, lo ngerasa nggak? Aura dia… beda banget malam ini.”

Elvatir mengangguk pelan, menatap pintu yang baru saja menelan sosok ketua mereka. “Bukan cuma beda,” katanya lirih. “Tapi kayak ada sesuatu… yang udah dibangunin lagi dalam dirinya.”

...****************...

1
Mar lina
pasti Agler
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
Mar lina
siapa ya
sosok misterius itu???
Mar lina
bener Rafka ada main sama sahabat Viola
lanjut thor
Yunita Aristya
kok aku merasa friska ada main sama rafka🤭
ARQ ween004
Aku update tiap hari jam delapan ya! makasih yang udah mampir 🫶 tinggalkan jejak kalian di kolom komentar sini ya! biar aku tambah semangat nulisnya, hhe...

love u sekebon buat para readers ku🫶🫶
Madie 66
Aku jadi bisa melupakan masalah sehari-hari setelah baca cerita ini, terima kasih author!
ARQ ween004: makasih kembali, makasih udah baca cerita ku dan aku juga senang kalau kalian suka🫶🫶
total 1 replies
Carlos Vazquez Hernandez
Dapat pelajaran berharga. 🧐
Kelestine Santoso
Menguras air mata
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!