NovelToon NovelToon
Muslimah Gen Z: Iman,Cinta, Dunia.

Muslimah Gen Z: Iman,Cinta, Dunia.

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Identitas Tersembunyi / Teen Angst / Cinta Terlarang / Cinta Seiring Waktu / Berondong
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: syah_naz

Namaku Syahnaz Fakhira az-Zahra, berusia delapan belas tahun.
Aku baru saja menyelesaikan pendidikan selama enam tahun di Pondok Pesantren Darfal — sebuah pondok perempuan di salah satu kota di Jawa yang dikenal dengan kedisiplinan dan kedalaman ilmunya.

Selama enam tahun di sana, aku belajar banyak hal; bukan hanya tentang ilmu agama, tetapi juga tentang kehidupan. Aku tumbuh menjadi seseorang yang berusaha menyeimbangkan antara iman dan ilmu, antara agama dan dunia.

Sejak dulu, impianku sederhana namun tinggi — melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo, menuntut ilmu di tanah para ulama. Namun, takdir berkata lain.
Di tahun kelulusanku, ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Dunia seolah runtuh dalam sekejap.
Aku sangat down, tertekan, dan rapuh.
Sejak kepergian ayah, keadaan ekonomi keluarga pun memburuk. Maka, aku memilih pulang ke rumah, menunda impian ke luar negeri, dan bertekad mencari pekerjaan agar bisa membiayai ibuku sekaligus untk kuliah.
lanjut? 🤭

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

(4) kejadian memalukan!

“Kamu beneran nggak kenal, Naz? Atau kamu kenal, tapi belum yakin?” ucap Lubna, menatap Syahnaz yang masih mematung ke arah aula.

“Enggak, aku nggak kenal. Ayo kita pulang, Lub, keburu Maghrib,” jawab Syahnaz buru-buru, berbalik arah, seolah ingin kabur dari sesuatu yang menekan dadanya.

“Loh, nggak mau shalat di sini aja? Pasti imamnya Gus Naufal, atau mungkin... gus yang tadi,” goda Lubna sambil mengedip.

Syahnaz terdiam sejenak. “Hmm... boleh deh. Sekalian first time kita shalat di pondok yang santrinya ribuan gini,” ujarnya akhirnya, berusaha menormalkan ekspresi.

“Okedeh, ayo cari tempat perempuan!” sahut Lubna riang.

Mereka pun menuju barisan perempuan. Saat Syahnaz sedang menata mukenanya, pandangannya tertuju pada sosok perempuan anggun di saf terdepan. “Ah, itu Ning Sofia kan, Lub?” ucapnya sambil menyipitkan mata.

“Iya, Naz! Itu Ning Sofia — anaknya Bu Nyai Maryam, pengasuh pondok kita” jawab Lubna cepat.

“Cantik banget ya, masyaa Allah...” gumam Syahnaz takjub.

“Masyaa Allah... kalau orang cantik aja bilang cantik, berarti beneran cantik ini,” balas Lubna sambil nyengir.

“Apaan sih, Lub... ini beneran cantik!” ucap Syahnaz, mencoba menahan tawa.

“Iya, cantik... tapi kamu juga cantik,” goda Lubna pelan, membuat Syahnaz hanya bisa mendengus kecil.

“Udah ah, ayo pasang mukenanya,” ucap Syahnaz, menutup obrolan.

Beberapa saat kemudian, suara takbirotul ihrom berkumandang lembut, menggema di seluruh aula. menciptakan suasana khusyuk yang merambat sampai ke dada.

Dan ketika imam mulai melantunkan ayat demi ayat, suara itu... suara yang lembut namun tegas, merdu namun berwibawa.

Hati Syahnaz bergetar.

Tatkala ia sadar — suara itu adalah suara Gus Naufal.

Lantunannya menyusup pelan ke dalam dada, membawa ketenangan sekaligus debar yang aneh di hatinya.

...****************...

Setelah selesai shalat dan dzikir, Syahnaz buru-buru berdiri, matanya tertuju pada sosok anggun di saf terdepan.

“Lub, salaman yuk,” ucapnya sambil menyenggol Lubna.

“Aku malu, Naz…” bisik Lubna tiba-tiba ciut, wajahnya merona.

“Ayo ah, siapa tahu bisa sekalian salaman sama Bu Nyai Maryam juga. Hitung-hitung ambil kesempatan dalam kesempitan,” goda Syahnaz sambil tersenyum.

Lubna akhirnya mengangguk. Mereka pun melangkah ke depan, menembus kerumunan perempuan yang ingin bersalaman juga.

“Ummi…” ucap Syahnaz lirih sambil menunduk dan mengulurkan tangan.

“Syahnaz! Ini serius kamu? Ya Allah, Syahnaz… Ummi rindu,” ucap Bu Nyai Maryam dengan mata berkaca-kaca.

Ia menggenggam tangan Syahnaz erat—hangatnya seperti melepas rindu bertahun-tahun.

“Syahnaz juga rindu Ummi,” ucap Syahnaz pelan, air matanya menetes tanpa bisa ditahan.

Lubna pun ikut menyalami Bu Nyai Maryam dengan sopan, sementara suasana terasa haru dan penuh keberkahan.

“Kenapa nggak mampir ke pondok, Nak?” tanya Bu Nyai lembut.

“Tadi pagi Syahnaz sempat ke sana, Ummi… tapi Umminya nggak ada, hehe,” jawab Syahnaz sambil tersenyum malu.

“Ooh, iya, Ummi seharian di sini,” balas Bu Nyai lembut.

“Ini Ning Sofia, kan, Ummi?” tanya Syahnaz menatap gadis anggun di samping Bu Nyai.

“Iya, ini Sofia. Baru pulang dari pondok,” jawab Bu Nyai. “Eh, kalian tuaan siapa? Umurmu berapa sekarang, Syahnaz?”

“19 tahun, Ummi,” jawab Syahnaz sopan.

“Ooh berarti Sofia lebih tua setahun,” sahut Sofia sambil tersenyum manis.

Mereka sempat berbincang sebentar sebelum Bu Nyai dan Ning Sofia diajak oleh para Bu Nyai lain menuju aula utama.

Saat melangkah keluar dari masjid, Syahnaz tak berhenti tersenyum.

“Alhamdulillah, akhirnya ketemu juga sama Ummi Maryam,” ucapnya senang sambil berjalan di sisi Lubna.

Namun langkahnya terhenti.

Tatapannya terpaku pada seseorang yang baru keluar dari aula — seseorang yang terlalu mirip dengan Reyhan.

“Hah…” napasnya tercekat.

“Syahnaz mau ke mana?” tanya Lubna bingung saat Syahnaz mulai berjalan pelan membuntuti sosok itu di antara kerumunan.

Syahnaz hanya memberi isyarat dengan jari di bibirnya. “Sst… diam.”

“Kamu ngikutin siapa sih?” bisik Lubna, ikut menunduk.

“Lagi membereskan rasa penasaranku,” jawab Syahnaz lirih, pandangannya tak lepas dari punggung sosok itu.

“Ooh, gus itu ya?” tanya Lubna pelan.

Syahnaz hanya mengangguk mantap. Mereka berhenti agak jauh di belakang kerumunan agar tak terlihat.

“Mau nyari apa, Gus?” tanya salah satu santri yang mengikutinya sejak tadi.

“Hm… saya cuma mau lihat-lihat aja dulu,” jawab pria itu, lalu berhenti di depan basecamp buku-buku.

Tak lama kemudian, seseorang berlari kecil menghampiri. “Gus Ridwan!” panggilnya.

“Kamu nggak ngajak-ngajak mau ke bazar, Gus,” ucap pria tinggi tampan itu sambil tertawa — tampak akrab dengannya.

“Naz…” bisik Lubna, “kamu tuh kalau penasaran, kayak detektif. Serius banget mukanya.”

“Kayaknya kita bakal ketahuan deh kalau di sini aja,” bisik Syahnaz, lalu berpindah tempat ke dekat tenda buku tapi tetap menjaga jarak.

“Aku kira kamu nggak mau ke bazar tadi,” ucap pria yang mirip Reyhan — Gus Ridwan.

“Mau lah,” jawab temannya, “sekalian lihat-lihat santri sini. Eh ini buku yang viral itu, kan, Gus Ridwan?”

syahnaz membeku.

Batinya seperti dihempas keras. Jadi… itu bukan Reyhan.

“Lub, sepertinya aku salah. Itu bukan orang yang aku kenal,” ucap Syahnaz akhirnya, menunduk dan berbalik.

Namun tanpa ia sadari, gantungan kunci bergambar logo pondok yang ia beli tadi jatuh ke tanah.

Gus Hafidz — lelaki tinggi yang bersama Gus Ridwan — melihatnya, lalu cepat-cepat mengambil dan memanggil,

“Ukhti! Tunggu, ini punyamu!”

Tapi suara itu tenggelam di tengah riuh bazar dan lantunan shalawat dari panggung utama.

Syahnaz terus melangkah, tanpa tahu… seseorang kini sedang memegang gantungan kecil miliknya, menatapnya lama.

“Ada apa, Gus?” tanya Gus Ridwan, menoleh ketika melihat Gus Hafidz memanggil seseorang di tengah keramaian.

“Ini, Gus. Gantungan kunci milik mbak itu jatuh,” jawab Gus Hafidz sambil memandangi benda kecil berbentuk daun yang menggantung di tangannya.

“Kamu ingat orangnya?”

“Iya, aku ingat. Dia pakai jubah hitam dan kerudung pashmina hijau tua. Aku juga sempat lihat wajahnya,” jawabnya yakin.

“Kalau begitu, ayo kejar. Mungkin belum jauh.”

Tanpa berpikir panjang, keduanya segera menerobos kerumunan santri dan tamu yang berlalu lalang. Langkah mereka cepat, menyusuri halaman yang ramai. Hingga akhirnya, mata Gus Hafidz menangkap sosok yang dikenalnya—dua gadis duduk di bawah pohon besar, menikmati gorengan dan es jeruk di kursi panjang.

“Disana, Gus,” ucapnya sambil menunjuk.

Mereka pun menghampiri.

Syahnaz yang sedang menyeruput es jeruk mendongak tanpa sempat bersiap, dan—

Burr!

Cairan dingin itu muncrat keluar dari mulutnya tepat mengenai jubah putih Gus Hafidz.

Wajahnya langsung memucat. “Yaa Allah, Gus! Maafin saya... saya nggak sengaja, beneran nggak sengaja!” serunya panik, berdiri terburu-buru dengan tangan gemetar.

Ia bingung harus bagaimana. Mau mengelap, tapi... masa iya menyentuh jubah seorang gus?

Sementara Gus Hafidz hanya terpaku sesaat, menatap noda oranye di pakaiannya, lalu menghela napas kecil.

Lubna di sampingnya sudah menutup mulut, menahan tawa sekuat tenaga.

Gus Ridwan melirik sahabatnya dengan senyum geli.

“Sepertinya gantungan kunci bukan satu-satunya hal yang jatuh hari ini,” gumamnya pelan, membuat pipi Syahnaz semakin panas menahan malu.

1
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Goresan_Pena421
Kerenn, novel yang lain sudah duluan menyala, tetaplah berkarya Thor. untuk desain visual bisa juga pakai bantuan AI kalau-kalau kaka Authornya mau desain sendiri. semangat selalu salam berkarya. desain covernya sangat menarik.
Goresan_Pena421: sama-sama kka.
total 2 replies
Goresan_Pena421
☺️ kak kalau mau desain Visualnya juga bisa kak, buat pakai aplikasi Bing jadi nanti Kaka kasih pomprt atau kata perintah yang mau Kaka hasilkan untuk visualnya, atau pakai Ai seperti gpt, Gemini, Cici, atau meta ai wa juga bisa, kalau Kaka mau mencoba desain Visualnya. ini cuma berbagi Saja kak bukan menggurui. semangat menulis kak. 💪
Goresan_Pena421: ☺️ sukses selalu karyanya KA
total 2 replies
Goresan_Pena421
☺️ Bravo Thor, semangat menulisnya.
untuk desain Visualnya bagus membuat para pembaca bisa masuk ke alurnya.

Salam literasi.
Goresan_Pena421
wah keren si udh bisa wisuda di umur semuda itu....
sambil baca sambil mikir berarti lulus SMAnya umur 17th.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!