Diambil dari cerita weton Jawa yang populer, dimana seseorang yang lahir di hari tersebut memiliki keistimewaan di luar nalar.
Penampilannya, sikapnya, serta daya tarik yang tidak dimiliki oleh weton-weton yang lain. Keberuntungan tidak selalu menghampirinya. Ujiannya tak main-main, orang tua dan cinta adalah sosok yang menguras hati dan airmata nya.
Tak cukup sampai di situ, banyaknya tekanan membuat hidupnya terasa mengambang, raganya di dunia, namun sebagian jiwanya seperti mengambang, berkelana entahlah kemana.
Makhluk ghaib tak jauh-jauh darinya, ada yang menyukai, ada juga yang membenci.
Semua itu tidak akan berhenti kecuali Wage sudah dewasa lahir batin, matang dalam segala hal. Dia akan menjadi sosok yang kuat, bahkan makhluk halus pun enggan melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nia datang, Sarinah pulang.
Sore itu, mendung pekat tampak di langit arah timur. Hujan sudah turun dari kejauhan, sesekali kilat menyambar seperti sebuah peringatan. Suara adzan berkumandang terdengar memecah ke khawatiran, Wulan sedang berkemas untuk pulang.
"Kalau hujan, bareng aku saja pulangnya. Ndak enak hujan-hujanan naik ojek." kata Yanti, Yanti sedang menggantikan teman kerja shift malam karena temannya itu sedang ada keperluan, mungkin pukul lima baru bisa pulang.
"Masih sempat kok Yan." jawab Wulan, dia pun keluar mencari ojek.
Belum sempat dia memanggil seseorang, sebuah sepeda motor kembali berhenti di depannya.
"Kamu sudah kerja Dek?" tanya Bara menyodorkan helm kepada Wulan.
"Ndak usah Mas, ini mau hujan." tolak Wulan, tanpa menjawab pertanyaan Bara.
"Justru mau hujan, ayo kita pulang." ajak Bara.
Ingat kemarin, Wulan ingin membatasi perasaannya yang mulai sulit di kendalikan jika bertatapan dengan Bara. Salah-salah bisa mengharap tanpa kepastian. Takut kecewa.
"Mas Bara duluan saja, Wulan sudah...." Wulan mencari alasan, tapi pikirannya seketika buntu harus berkata apa.
Bara meletakkan helm ke atas tank sepeda motornya, lalu menatap Wulan sejenak. "Sudah apa?" tanya Bara pelan.
Seketika wajah Wulan memerah, malu karena tatapan Bara begitu menguasai, dia pasti tahu Wulan sedang mencari alasan. Daripada semakin salah tingkah dan malu, lebih baik diam.
"Semalam aku ke rumah kamu Dek dan aku lihat kamu pergi. Aku tungguin sampai kamu pulang, dan sepertinya kamu ngantuk berat. Ya sudah, gak jadi."
Wulan menatap wajah Bara yang sedang memandangi dirinya. Dia mengingat-ingat semalam ada sepeda motor di seberang rumahnya mirip milik Bara.
"Aku takut ganggu, kamu lagi sakit, butuh istirahat." jelas Bara lagi, nadanya pelan mengimbangi aura ngambek di wajah Wulan.
"Dek Wulan!" sebuah panggilan mengejutkan Wulan, Usman muncul dengan wajah lusuhnya, berjalan tergopoh-gopoh ke arah Wulan berada. "Dek, Mas anterin ya?" ucapnya.
"Siapa Dek?" tanya Bara, melirik Wulan yang terlihat tegang.
Ngeri juga di kejar orang tanpa kesadaran seperti Usman, apalagi sampai diantar olehnya. Akhirnya Wulan memilih segera pulang, mengesampingkan rasa malu. Lebih baik pulang bersama Bara ketimbang harus menghadapi Usman. "Wulan ikut Mas Bara ya?"
Langsung naik begitu saja tanpa menunggu jawaban.
Bara langsung tancap gas sambil tersenyum tipis. Ada untungnya pria itu menghampiri Wulan sehingga drama ngambeknya berakhir.
"Terimakasih Mas Bara." ucap Wulan ketika sudah sampai.
Bara melepas helmnya dan ikut turun bersama Wulan.
"Lha, itu Wulan?" suara sang ibu terdengar dari dalam, dan menoleh lah seorang gadis berkerudung panjang macam ustadzah itu kearah Wulan.
"Mbak Nia? Bude?" Wulan terkejut ternyata yang bertamu adalah bude Sari dan anaknya, Nia. Semenjak Arif meninggal, semua keluarga ibunya itu tidak pernah datang ke rumah Wulan. Baru kali ini mereka muncul dan entah kabar apa yg mereka sampaikan. Atau mungkin, ada sesuatu yang mereka ingin ketahui?
"Wulan, kamu pulang sama siapa itu?" tanya bude Sari, jiwa keingintahuannya mulai meronta melihat Bara mengintili Wulan.
Wulan menoleh kebelakang, dia saja tidak tahu kalau Bara ikut turun. "Teman Bude." jawab Wulan.
Bara hanya menatap sekilas tanpa melempar senyum, lalu berbicara kepada Wulan. "Sebaiknya Mas pulang dulu."
"Iya, maaf ya Mas, sepertinya ada yang penting." kata Wulan.
Bara mengangguk. "Besok mau ajak kamu jalan-jalan. Apakah bisa?" tanya Bara, berbicara pelan.
Wulan menoleh ke dalam sejenak, melihat dua tamunya itu sangat ingin tahu apa yang sedang dibicarakan Wulan.
"Iya Mas, besok Wulan libur." jawab Wulan.
Barulah Bara tersenyum, itupun hanya ketika memandangi Wulan saja.
"Ndak masuk dulu?" tanya Ratih, perempuan paruh baya namun masih cantik itu keluar menyapa Bara.
"Tidak Bu, mau hujan soalnya. Saya permisi pulang." jawab Bara.
"Oh, terimakasih sudah mengantar Wulan." jawab Ratih. Di belakangnya ada Nia yang mengintip, menatap Bara dengan teliti, lebih tepatnya menikmati wajah cowok ganteng yang bikin penasaran.
"Mbak Nia, tumben datang?" tanya Wulan, mengajak ibunya segera masuk.
"Cuma mampir saja kok, baru pulang dari rumahnya Mbak Sar sama Bulek Ratih juga." jawab Nia.
"Ngapain? Bukannya Mbak Sar tinggal di rumah neneknya?" tanya Wulan, salim sejenak dengan bude Sari.
"Iya, semalam pulang bersama Pakde mu. Katanya mau di rawat disini, karena orangtuanya sudah meninggal." jawab Ratih, membawakan tiga gelas teh hangat.
"Oh, artinya sekarang Sarinah dan bude Yuni merawat pakde di sini. Syukurlah." jawab Wulan.
"Oh iya, yang tadi itu siapa? Pacar kamu to?" tanya bude Sari.
"Teman Bude, dulu waktu masih sekolah kita sudah berteman. Kebetulan sekarang dia kerja di dekat kota, pulangnya barengan." jawab Wulan.
"Kamu kerja di konter Naga milik orang cina itu kan?" tanya Nia.
"Iya Mbak, Alhamdulillah sudah 7 tahun." jawab Wulan.
"Tujuh tahun Lan? Udah kebeli apa aja kerja selama itu?" tanya Nia dengan suara keras.
"Nggak ada Mbak, cukup untuk kebutuhan Wulan saja. Tidak perlu meminta uang sama ibuk." jawabnya.
"Iya Nia, Wulan sering bantu Bulek." jawab Ratih, mengerti kalau Wulan sedang di sudutkan.
"Coba kalau sekolah seperti Nia dan Sarinah, kamu bisa mengajar di madrasah. Tidak bekerja di konter, seharian gajinya tidak seberapa." ucap Bude Sari.
"Ya...Itu rezekinya mbak Nia dan Mbak Sar, Wulan sudah sangat bersyukur mendapatkan pekerjaan ini." jawab Wulan.
"Wajarlah, tamat SMP. Bekerja di konter sudah merupakan suatu keberuntungan. Betul itu!" Bude Sari mengacungi jempol kepada Wulan.
Panas, Wulan sungguh panas berbicara dengan dua orang di hadapannya. Bude Sari memang paling pandai jika berbicara halus tapi menyinggung orang. Dan mbak Nia pun tidak ketinggalan, gadis itu terlihat pongah dengan statusnya sebagai guru agama, tapi kelakuannya seperti iblis, penuh dengan kesombongan.
"Kalau begitu kami pulang dulu, sudah sore." pamit bude, mungkin merasa gelisah karena lirikan Wulan yang tajam. Tiba-tiba kursi yang empuk berubah jadi tumpukan jerami yang kasar dan gatal. Sungguh-sungguh tidak nyaman.
"Silahkan, Bude." jawab Wulan dengan suara datar tanpa senyuman.
Melihat bude dan Nia buru-buru pulang, Ratih menatap wajah anaknya dengan heran. "Kamu kok begitu Wulan?"
Wulan menoleh ibunya, kilat amarah tampak jelas sehingga dada Ratih ikut berdebar terkejut.
"Bude dan mbak Nia itu hanya datang untuk menyombongkan diri, dan menghina kita." jawab Wulan, kemudian masuk ke dalam kamarnya begitu saja.
Jika dulu Wulan selalu lemah lembut kepada siapa saja, berbeda sekali sekarang dia gampang marah, dan itu langsung terlihat di wajahnya. Ratih khawatir akan perubahan Wulan itu.
Katanya, orang yang memiliki banyak pegangan memang bersikap demikian. Mudah marah, mudah baik. Wajahnya akan berubah sesuai suhu alam, kadang pucat, kadang cerah. kadang cantik, manis dan ayu. Kadang pula, berubah sangar dan menakutkan, tergantung lawan dan suasana hati. Jika hatinya tenang, maka aura kecantikannya akan terpancar kemana-mana, memanggil siapa saja bahkan yang bersembunyi bisa menoleh. Tapi jika suasana hatinya marah, maka semua orang akan melihat betapa menakutkan aura yang terpancar dari wajahnya.
Dan jika dia curiga, maka kecurigaannya akan membuat orang yang bersalah gemetar ketakutan.
g beda jauh watak nya jelek
ibu dan anak perangai nya buruk
kog Sarinah ngaku2
calon istrii arif
semoga bisa memberi pencerahan buat para readers.
pepeleng bagi orang jawa,jangan sembarangan menyebutkan weton atau hari lahir versi jawa kepada siapapun,jika tidak ingin terjadi hal hal diluar nalar dan perkiraan.
tetap eling lan waspada.
berserah pada Allah ta'alla.
tetap semangat dengan karya nya
hebat betul ini dukun