Ketika Violetta Quinn, saudari kembar yang lembut dan penurut, ditemukan tak sadarkan diri akibat percobaan bunuh diri, Victoria Thompson tak bisa menerima kenyataan itu begitu saja. Tidak ada yang tahu alasan di balik keputusasaan Violetta, hanya satu kenangan samar dari sang ibu: malam sebelum tragedi, Violetta pulang kerja sambil menangis dan berkata bahwa ia 'Tidak sanggup lagi'.
Didorong rasa bersalah dan amarah, Victoria memutuskan untuk menyamar menggantikan Violetta di tempat kerjanya. Namun pencarian kebenaran itu justru membawanya ke dalam dunia gelap yang selama ini Victoria pimpin sendiri; Black Viper. Jaringan mafia yang terkenal kejam.
Di sanalah Victoria berhadapan dengan Julius Lemington, pemilik perusahaan yang ternyata klien tetap sindikat Victoria. Tapi ketika Julius mulai mencurigai identitas Victoria, permainan berbahaya pun dimulai.
Victoria masuk dalam obsesi Julius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29. MELUNAK
Rumah itu masih lengang ketika Sean pulang. Udara malam menempel di kulitnya seperti bayangan kelam yang belum sempat ia buang. Bau asap rokok, kertas laporan, dan ruang interogasi yang berjam-jam ia tempati seolah masih melekat di tubuhnya. Tatapannya kosong, rahangnya mengeras, dan langkahnya berat ketika ia menutup pintu apartemen dengan sedikit hentakan.
Hari itu kacau.
Lemington kacau.
Semuanya kacau.
Sean baru saja keluar dari interogasi panjang tentang penembakan, perdagangan manusia, dan kematian Gerald Lemington. Pria itu memang bajingan tua, tapi tetap saja, berita kematiannya mengguncang keluarga besar itu, memicu kekacauan yang merembet ke mana-mana.
Dan Sean, sebagai salah satu orang yang pernah terlibat konflik internal mereka, ikut terseret.
Ia ingin istirahat.
Ia ingin diam.
Ia ingin menyentuh sesuatu atau seseorang yang bisa membuat pikirannya berhenti berputar.
Victoria.
Gadis itu sedang duduk di ranjang ketika ia masuk ke kamar. Lampu kamar hanya menyala setengah, menyisakan cahaya keemasan yang jatuh lembut di wajah pucat Victoria. Rambutnya tergerai di bahu, matanya menoleh pelan ketika mendengar pintu terbuka.
"Sean?" panggil gadis itu pelan.
Suara Victoria pelan, lembut, rapuh, seharusnya bisa meredakan emosi Sean. Tapi malam itu, emosi dalam dirinya terlalu padat, terlalu berat, seperti bara api yang menunggu ledakan kecil untuk menyala besar.
Sean tidak menjawab. Ia hanya berjalan mendekat, langkahnya mantap dan penuh energi gelap.
Victoria menegakkan tubuhnya. "Kau sudah pulang? Bagaimana dengan-"
Belum sempat ia selesai, Sean sudah menarik pinggang Victoria dan membenamkan bibirnya pada bibir gadis itu. Ciuman itu kasar, terburu-buru, seolah Sean mencoba menenggelamkan semua frustrasi dalam tubuhnya pada sentuhan itu.
Victoria terbelalak. Sentuhan itu jauh dari lembut. Bukan seperti Sean yang beberapa hari ini tenang atau Sean yang kadang muncul ketika emosinya stabil.
"Sean ... tunggu," gumam Victoria, mencoba menjauh.
Tapi Sean mengabaikan. Tangannya menahan belakang leher Victoria, bibirnya bergerak agresif, napasnya memburu. Ia hanya ingin merasa memiliki sesuatu. Mengendalikan sesuatu. Setidaknya satu hal dalam hidupnya harus tetap ada di genggamannya. Yang harus bisa ia kendalikan sesuka hati; Victoria.
Namun Victoria menolak. Ia mendorong dada Sean. Terkejut karena pria ini terlalu kuat mencengkeram Victoria."Berhenti ... Sean, jangan-"
Dorongan kecil itu membuat Sean membeku sesaat. Detik berikutnya ia mundur satu langkah, wajahnya mengeras.
"Kau menolakku?" suara Seam rendah, dingin.
"Bukan begitu," Victoria mencoba menjelaskan, tapi suara Sean memotongnya.
"Setelah hari gila seperti ini? Setelah semua kekacauan Lemington? Kau menolakku, Victoria?!" Nada suaranya tajam, emosinya meluap tanpa filter. "Hanya itu yang kupinta malam ini. Sedikit kehadiranmu. Sedikit ... sesuatu."
Victoria menggigit bibir, tubuhnya menegang. Sean semakin marah melihat ekspresi itu, seolah gadis itu takut padanya.
Sial, aku tanpa sadar membuatnya marah, batin Victoria.
"Kenapa?" tanya Sean, matanya menyala. "Kau jijik padaku sekarang?"
"Sean, bukan itu ...eghh ... sakit," erang Victoria tiba-tiba. Tubuhnya membungkuk sedikit sambil memegangi perut bagian bawah. Wajahnya memucat seketika.
Sean berhenti. Benar-benar berhenti.
Seolah seseorang memutus kabel emosinya dan menghentikan seluruh amarahnya dalam satu hentakan.
"Victoria?" suaranya berubah drastis, penuh kekhawatiran yang sangat dikenalnya. "Kau kenapa?"
Gadis itu menunduk, napasnya memburu, tangannya menekan perut bagian bawah. "Sakit ... perutku .. ah."
Dan saat Sean melangkah mendekat, ia melihatnya.
Noda merah gelap di seprai. Noda merah yang tidak seharusnya ada.
Sean terdiam satu detik.
Dua detik.
Pikirannya memroses cepat.
Lalu wajahnya berubah.
"Victoria ... kau ...." Ia menelan ludah. "Kau datang bulan?"
Gadis itu tidak menjawab, tapi tubuhnya menggigil kecil. Sakit itu begitu jelas terlihat.
Dalam sekejap kemarahan Sean padam. Semua panas dan gelap di wajahnya berubah menjadi alarm penuh kecemasan. Karena ia tahu. Ia ingat. Tidak ada seorang pun yang lebih ia kenal siklusnya selain Victoria.
Sean ingat Victoria remaja yang tergeletak di lantai kamar mandi sambil menangis karena nyeri datang bulan terlalu kuat.
Sean ingat ketika gadis itu pernah pingsan di tangannya. Ia ingat bagaimana ia pernah menyimpan tampon di kotak obatnya hanya untuk berjaga-jaga.
Dan sekarang ... rasa bersalah menampar pria itu keras.
"Victoria," bisiknya, lebih lembut dari sebelumnya. "Kau seharusnya bilang dari tadi."
"Aku .... aku baru terasa tadi, Sean, sakit," ringis Victoria, yang tidak berakting kali ini.
Tanpa menunggu lagi, Sean meraih tubuh Victoria, mengangkatnya dengan hati-hati seolah gadis itu terbuat dari kaca.
"Aku bantu. Pegang leherku," perintah Sean.
Victoria melingkarkan tangan lemah di lehernya. Sean membawanya ke kamar mandi, menurunkannya perlahan di dudukan toilet.
"Sebentar, aku ambil sesuatu," ucap Sean.
Ia membuka lemari kecil di sudut kamar mandi, kotak obat yang sudah ia isi sejak beberapa waktu lalu. Tangan besarnya dengan cepat mengambil tampon, celana dalam bersih, dan celana longgar untuk Victoria ganti.
Kebiasaan lama. Kebiasaan yang Sean pikir tidak akan pernah ia lakukan lagi. Tapi ternyata ... refleksnya masih ada.
"Ini," kata Sean sambil menaruh perlengkapan itu di pangkuan Victoria. "Ganti. Aku tunggu di luar."
Sean memalingkan wajah dan keluar tanpa suara, menutup pintu, memberikan gadis itu privasi penuh.
Di luar, Sean berdiri bersandar di dinding. Mengembuskan napas. Menekan wajahnya. Merendam diri dalam rasa bersalah.
"Sial," gumam Sean lirih. "Aku hampir ... kalau saja dia tidak-"
Sean meninju dinding pelan, menahan emosi lain yang menyeruak, bukan amarah, tapi penyesalan.
Beberapa menit kemudian, pintu terbuka. Victoria keluar dalam keadaan sudah ganti, wajahnya pucat seperti kertas. Tubuhnya sedikit goyah.
Sean langsung mendekat dan memegang lengan sang gadis.
"Duduk," kata Sean lembut. "Ayo."
Pria itu membimbing Victoria kembali ke ranjang, membantu gadis itu berbaring. Lalu ia mengambilkan segelas air, membuka sebotol painkillers, dan memberikan dua tablet pada Victoria.
"Minum ini," suruh Sean pelan.
Victoria mengangguk dan meminumnya.
Setelahnya, ia menarik napas panjang.
Dalam hati, Victoria bersyukur. Syukur yang begitu besar atas kebetulan ini.
Jika aku tidak datang bulan, Sean pasti akan menjamahku, batin Victoria lega.
Victoria menutup mata. Tuhan masih menolongnya hari ini.
Sean duduk di tepi ranjang, kedua tangannya bertaut, kepalanya menunduk.
"Aku ... minta maaf." Suaranya serak. "Aku harusnya tidak seperti tadi."
Victoria tidak menjawab. Ia hanya menatap Sean dengan mata setengah terbuka, kelelahan menekan kelopak matanya.
"Istirahat," ujar Sean akhirnya, berdiri pelan dan merapikan selimut menutupi tubuh Victoria. "Aku ada di sini."
Victoria mengangguk lemah.
Namun sebelum Victoria benar-benar terlelap ... sesuatu terdengar.
BRAAAK!
Suara keras dari lantai bawah.
Suara furnitur jatuh.
Suara seseorang berteriak singkat lalu mendadak terdiam.
Victoria memutar tubuh, terkejut. "Sean?"
Sean meraih pistol di meja samping, wajahnya berubah gelap.
"Tunggu di sini," perintah Sean.
Pria itu turun dengan langkah cepat. Setiap detiknya tegang seperti tali yang ditarik terlalu kuat.
Begitu ia sampai di lantai bawah, matanya membelalak, rahangnya mengeras.
Julius berdiri di ruang tamu.
Dengan tatapan angkuh dan penuh amarah.
Dan para penjaga Sean tergeletak tak berdaya di lantai.
Sean membeku sejenak. Lalu murka, karena tahu apa tujuan Julius ke sini, walau ia masih bertanya-tanya bagaimana Julius busa menemukan tempat ini?
happy ending 👏👍
terimakasih thor, sukses dgn karya-karyanya di novel 💪
S
E
H
A
T
SELALUUU YAAAA💪💪💪💪❤️☕️
Hanya kamu yang tau thoorrr...
q suka....q suka...q suka
tarik siiiiiiisssss💃💃💃💃
Violetta Henry
wkwkwk
bener² kejutan yang amat sangat besaaarr...
kusangka hanya PION dr SEAN...nyata oh ternyata...daebaaaakkkk👏👏👏👏👏👏👏
kebuuut sampai 400 episode thooorrr...
bagis banget alur cerita ini...☕️☕️☕️
lanjutin Thor semangat 💪 trimakasih salam 🙏
eh, ngomong² gmn tuh dgn Sean skrg
Sean dah dipenjara, semoga aja gak bikin ulah lagi, tapi kayaknya gak bisa diem deh Sean