Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.
Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.
Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Dilemparnya tas itu ke atas kasur, mendarat dengan suara gedebuk yang menggema ke seluruh kamar. Quin bahkan tidak peduli apakah isinya berantakan atau ada buku yang tertekuk. Dia hanya ingin semuanya hilang. Orang-orang. Tatapan-tatapan. Pertanyaan-pertanyaan. Bahkan Nisa.
Sejak tadi siang, ia menghindari siapa pun yang berpotensi menanyakan kabarnya. Termasuk sahabatnya sendiri. Begitu pintu kamarnya tertutup, Quin mengunci dan mematikan lampu utama, membiarkan hanya lampu meja yang redup. Hape berbunyi berkali-kali, getarannya membuat permukaan meja kayu bergetar kecil, namun Quin mengabaikan semuanya.
Di luar kamar, suara langkah kecil terdengar menaiki tangga. Nisa dan Shanaz berdiri di depan pintu rumah Quin, wajah mereka diliputi kekhawatiran. Teh Santi, yang membuka pintu dengan celemek masih menempel di pinggangnya, menatap mereka bingung sebelum mendengarkan alasan kedatangan mereka.
“Teh… boleh ketemu Quin?” Nisa bertanya, suaranya gelisah.
“Dia ada di kamar. Tunggu ya, Santi panggilkan dulu,” jawab Teh Santi sebelum naik ke lantai dua.
Ia mengetuk pintu kamar Quin pelan. “Neng Quin? Ada Temennya, Nisa sama Shanaz mau ketemu.”
Dari balik pintu, suara Quin terdengar lemah. “Nggak...”
“Nggak kenapa, Neng?” sahut Teh Santi bingung karena suara Quin yang lemah.
Quin memejamkan mata, menarik napas panjang. Hatinya terasa berat, seolah dunia menambah beban baru di atas pundaknya setiap menit. “Bilang aja aku nggak mau ketemu,” ucapnya lirih.
“Teh Santi bilang udah tidur aja ya?”
“Tolong bilangin aja aku nggak mau ketemu…”
Jawaban itu cukup bagi Teh Santi. Ia kembali ke bawah dan menyampaikan pesan Quin.
Nisa dan Shanaz saling pandang.
“Kayaknya… Quin lagi PMS kali, jadi agak aneh gini,” bisik Shanaz ke Nisa.
“Emang iya? Teh, dia lagi dapet nggak sih?” tanya Nisa setengah serius.
Teh Santi mengangkat tangan, tanda tidak tahu.
Nisa akhirnya mencoba menelepon Quin. Hape Quin yang tergeletak di samping bantal bergetar lagi, tapi Quin sudah memejamkan mata dan membiarkan dirinya tenggelam dalam rasa lelah. Ia tidak menangis, padahal perasaan di dadanya seperti benang kusut yang tidak tahu ujungnya di mana.
Shanaz meletakkan tangannya di bahu Nisa. “Udah, Nis. Kayaknya dia butuh waktu sendiri.”
Nisa menahan napas sejenak, lalu mengangguk. “Iya… kita pergi aja.”
Mereka melangkah meninggalkan rumah itu. Setelah cukup jauh dari sana, Nisa akhirnya membuka obrolan yang sejak tadi menggelayut di kepalanya. “Komentar netizen makin parah, San.”
"Yang karena Quin dikira menang gara-gara ordal?"
"Lo liat aja sendiri..."
Shanaz melihat hapenya dan membaca komentar netizen:
Bisa\-bisanya promoin puisi temennya, caper banget.
Itu pacarnya bukan sih? Keliatannya deket sama Arka, tapi kok ternyata punya pacar.
Setingan ya? Biar YAMI naik lagi?
“Netizen tuh… kalau nggak tau apa-apa, paling jago bikin teori,” gumam Shanaz.
Sementara itu, di kamar yang lampunya setengah redup, Arka mencoba menelepon Quin. Sekali. Dua kali. Lalu mengirim pesan panjang—mengajak latihan bareng, menanyakan pilihan lagu Quin untuk live besok, bahkan menambahkan emotikon senyum tipis seolah ingin mencairkan suasana.
Quin menatap layar itu sebentar. Lalu mematikannya.
Di antara notifikasi yang menghilang, ia tak sempat melihat pesan dari Nisa yang memberi kabar bahwa mereka hendak ke rumah Dima untuk menanyakan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
---
Tidak jauh dari perempatan, Nisa dan Shanaz justru melihat sosok Dima berjalan sambil merogoh kantong celananya, wajahnya terlihat sama kusutnya dengan Quin.
“Dim!” panggil Shanaz.
Dima menoleh.
“Kita mau ke rumah kamu,” kata Nisa tanpa basa-basi.
"Ngapain?" Tanya Dima heran.
“Kamu sama Quin ada apa sih?”
Dima menaikkan alisnya, kaget dan sedikit tersinggung. “Mana gue tau. Tanya aja sama orangnya. Mungkin lagi latihan sama Arka? ”
Nada suaranya terdengar pahit, tapi Dima buru-buru memalingkan wajah. Ia kemudian pamit dan melanjutkan langkah ke rumah. Nisa dan Shanaz akhirnya memutuskan untuk tidak ikut cambur lebih jauh.
Sesampainya di rumah, Dima tertegun melihat Lala, kakaknya, sudah pulang.
“Dim! Kakak baru denger puisimu menang! Minggu depan kamu diundang ke acara pemberian hadiah, lho! Bangga banget!” seru Lala.
Tapi Dima hanya melepaskan tasnya dan masuk ke kamar tanpa sepatah kata pun.
Lala menatap punggung adiknya yang merosot lelah. Ada sesuatu yang salah, dan ia tahu itu.
Dima merebahkan diri di kasur tanpa melepas seragam. Atap kamar terlihat buram dari sudut matanya. Ia ingin menghubungi Quin. Ingin berterima kasih karena segala hal kecil yang selalu Quin lakukan untuknya. Ingin minta maaf karena sikapnya yang belakangan tidak bisa dijelaskan.
Ia hanya… tidak mengerti diri sendiri.
Dan ketika mendengar bahwa bahkan Nisa dan Shanaz pun tidak dibalas oleh Quin, ia mengurungkan semuanya.
---
Di rumah Quin, suara ketukan lembut terdengar di pintu kamarnya.
“Quin?” suara mamanya. “Teh Santi bilang kamu belum makan?”
“Nggak laper,” jawab Quin pendek.
“Nanti sakit, Nak. Ayo makan,”
“Iya.”
Meski terasa sangat berat, Quin akhirnya membuka pintu dan turun perlahan ke ruang makan. Ia duduk berhadapan dengan mamanya, menatap semangkuk sup ayam yang masih mengepul.
Mamanya bercerita tentang kafe baru milik temannya yang akan segera dibuka—tentang interiornya, menu kopi yang katanya unik, dan bagaimana semua berjalan agak lambat tapi pasti. Quin hanya mengangguk kecil, sesekali mengunyah.
Setelah makan selesai, mamanya mengambil napas panjang.
“Tadi teman Mama nanya-nanya tentang YAMI. Katanya penasaran banget sama proses kamu sama Yura kemarin. Mama bilang, mama aja belum tau apa-apa, kamu belum cerita gara-gara capek.”
Quin jadi teringat latihan bersama Yura Yunita minggu lalu. Yura memuji pilihan lagunya. “Ada ya gen z yang suka lagu-lagu jadul. Yang pilihin ini siapa? Kamu apa orang tua kamu?"
Quin tidak menjawabnya. Dia malah jadi teringat dengan Dima.
Mamanya lalu bertanya santai, “Live besok kamu mau bawain lagu apa?”
Pertanyaan itu seperti pisau kecil.
Quin membeku. Ia teringat pada Dima—orang yang biasanya memilihkan lagu untuknya, yang selalu tahu mana yang pas dengan suara dan suasana hatinya. Yang biasanya menjadi tempatnya meminta pendapat.
Sekarang… ia tidak tahu harus memilih lagu apa. Tidak tahu harus cerita pada siapa.
“Ma… Quin bingung,” ujarnya pelan. “Mama… saranin dong, lagu apa?”
Mamanya tersenyum tenang. “Nyanyiin Ari Lasso mungkin? Atau Kahitna? Lagu-lagunya enak semua.”
Dan entah kenapa, saran sederhana itu membuat pertahanan Quin runtuh.
Matanya memanas—akhirnya air itu tumpah juga setelah seharian ia tidak mampu menangis.
“Eh, Quin? Kenapa, Nak?” mama langsung mendekat. “Kamu kenapa? Ada apa?”
Quin menutup wajah dengan kedua tangannya. “Ma… Quin nggak mau lanjutin YAMI…”
Kalimat itu keluar patah-patah, penuh sesak dan ketakutan.
Mamanya terdiam. Suara jam dinding terdengar begitu jelas di ruangan yang tiba-tiba sunyi.
Lalu tangan Mama menyentuh pundak Quin, lembut dan hangat.
“Kalau kamu capek… kalau kamu sedih… kita hadapi bareng-bareng, ya?”
Dia tahu bahwa Mamanya bicara dengan tulus, tapi Quin tetap merasa sendiri.
.
Bersambung.
queen Bima
mantep sih