Cinta seharusnya menyembuhkan, bukan mengurung. Namun bagi seorang bos mafia ini, cinta berarti memiliki sepenuhnya— tanpa ruang untuk lari, tanpa jeda untuk bernapas.
Dalam genggaman bos mafia yang berkuasa, obsesi berubah menjadi candu, dan cinta menjadi kutukan yang manis.
Ketika dunia gelap bersinggungan dengan rasa yang tak semestinya, batas antara cinta dan penjara pun mengabur.
Ia menginginkan segalanya— termasuk hati yang bukan miliknya. Dan bagi pria sepertinya, kehilangan bukan pilihan. Hanya ada dua kemungkinan dalam prinsip hidupnya yaitu menjadi miliknya atau mati.
_Obsesi Bos Mafia_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 : Berita Kehamilan dan Kedatangan Aarav
“Mana cokelat yang aku minta tadi?” Suara manja Hulya kembali terdengar lirih, Marchel menatap istrinya dengan mata yang masih basah.
“Kapan kamu minta cokelat?” tanya Marchel bingung.
“Tadi pas aku telfon kamu.” Marchel melonggarkan pelukannya lalu menatap intens Hulya dengan tatapan bingung.
“Bukannya di telfon kamu bilang mau minyak urut sama obat saja ya?”
Hulya mendengus kesal lalu menggigit bahu Marchel sampai suaminya meringis kesakitan.
“Sakit Hulya, aw.”
Marchel sedikit menjauh dari istrinya dan mengusap bahu itu perlahan.
“Kamu itu bagaimana, aku tadi minta cokelat juga, kamu tidak mendengarnya berarti,” dengus Hulya kesal.
“Aku belum tuli sayang, aku hanya dengar kamu minta minyak dan obat. Tidak ada kamu minta dibelikan cokelat.” Marchel tetap kekeh kalau Hulya tidak meminta cokelat di telepon tadi.
“Ya bagaimana kamu mau dengar, aku bilang pas telfonnya udah mati,” jawab Hulya dengan santai, membuat Marchel menganga lalu tertawa.
“Ya jelas aku tidak dengar,” tawanya renyah.
“Itu salah kamu, kenapa tidak dengarkan aku sampai selesai bicara dulu.”
“Oke oke aku salah, kamu mau cokelat sekarang?”
“Iya sekarang.”
“Aku cari keluar dulu.”
“Sekalian sama cemilan terus minuman dingin ya.”
“Oke sayang, aku pergi dulu ya.” Marchel mencium lembut kening istrinya lalu pergi mencari supermarket yang buka 24 jam.
...***...
Beberapa menit kemudian, Marchel kembali ke ruang rawat istrinya dan melihat Hulya sudah tidur dengan wajahnya yang masih pucat. Marchel membangunkan Hulya tapi istrinya terlihat mengantuk berat sehingga dia memutuskan untuk tidur di samping istrinya itu.
Untungnya semua cemilan yang dia beli tidak akan basi jika dimakan keesokan harinya.
Ranjang kelas VVIP tersebut memang cukup besar dan muat untuk dua orang dewasa. Marchel memeluk Hulya lalu membenamkan wajahnya di ceruk leher Hulya, tak butuh waktu lama, akhirnya dia pun terlelap.
...***...
Keesokan harinya, hasil pemeriksaan Hulya keluar. Marchel sedang berada di ruangan dokter yang menangani Hulya— memberikan hasil pemeriksaan itu dengan wajah cerah dan senyum ramah.
“Selamat Mr. Grayson, istri anda tengah hamil dua minggu, kondisinya baik dan kandungannya juga baik. Usahakan untuk tidak membuatnya stres dan perbanyak istirahat, karena hamil muda, sangat rentan stres dan perubahan hormon juga sering kali terjadi,” tutur dokter itu pada Marchel.
Marchel bahagia sekali mendengar kabar kehamilan istrinya, dia melihat hasil lab dengan wajah cerah serta senyum mengambang.
“Terima kasih, Dokter.”
Marchel meninggalkan ruangan dokter itu, berjalan santai menuju ruangan Hulya— hatinya sangat bahagia dan juga sedih bersamaan.
“Berarti semalam aku hampir membuat Hulya keguguran. Bodoh sekali kau Marchel.” Ia merutuki dirinya sendiri, mengingat saat dia mendorong Hulya dari tangga, istrinya itu tengah hamil dan untung saja kandungan Hulya tidak bermasalah.
Marchel memasuki ruangan itu sambil membawa hasil lab serta makanan untuk istrinya. Dia melihat Hulya tengah asyik menonton televisi. Dengan ramah, Hulya tersenyum dan senang melihat Marchel membawa makanan di tangannya.
Marchel mengecup kening Hulya dan memberikan makanan yang dia beli tadi pada sang istri.
“Biar aku suapkan, tunggu sebentar,” kata Marchel lalu menaruh beberapa makanan lagi di atas meja, kemudian menyuapi Hulya dan juga dirinya sendiri karena dia juga belum makan.
“Kapan dokter membolehkan aku pulang? Aku tidak betah di sini,” keluh Hulya.
“Dua hari lagi, sabar ya, aku juga ada berita buat kamu.” Hulya mengerutkan keningnya, melihat wajah Marchel yang tiba-tiba berubah menjadi serius.
“Berita apa?”
“Jika nanti aku membagi cinta dan kasih sayang dengan orang lain bagaimana?” Hulya langsung saja menggigit bahu Marchel dengan kuat sehingga Marchel sedikit berteriak.
“Ih gigimu itu Hulya, tajam semua, gila, sakit bahuku,” ringis Marchel sembari terus mengusap pelan bahunya.
“Siapa selingkuhan kamu?” tanya Hulya dengan nada sinis serta tatapan tajam ia layangkan.
“Jangan marah ya.”
“Ya jelas aku bakalan marah, gimana sih, kalau memang kamu mau berbagi cinta, kenapa kamu nikahi aku? Tidak ada cerita kamu berbagi. Aku akan bunuh selingkuhan kamu itu.” Marchel tertawa melihat kecemburuan istrinya, dia senang karena Hulya cemburu, berarti sudah ada rasa cinta di hati Hulya padanya.
“Wah, istriku sudah bisa main ancam, mau aku ajari membunuh tidak?” ledek Marchel.
“Kalau cuma membunuh selingkuhan kamu, aku bisa! Tidak perlu pelatihan khusus,” sengit Hulya yang membuat Marchel semakin tertawa.
Marchel membawa Hulya dalam pelukannya dan mengusap lembut perut yang masih datar itu.
“Aku akan berbagi cinta dengan anak kita nanti, maafkan aku. Semalam aku hampir membunuh kalian berdua, aku minta maaf, sayang.” Marchel kembali menangis tanpa suara, dia bisa merasakan betapa sakit Hulya semalam karena dirinya, ditambah lagi dengan kehadiran calon anak mereka.
“Hah?” Hulya masih belum mencerna omongan Marchel.
“Kamu hamil, baru dua minggu.” Hulya begitu senang hingga matanya berbinar menatap Marchel.
“Aku akan jadi ibu? Pintar juga aku bikin baby ya,” celetuk Hulya dengan ceria, Marchel melihat keceriaan itu ikut tersenyum lalu mengusap kepala Hulya dan mencium perut istrinya.
“Karena bantuanku juga, kalau kamu sendiri yang bikin tidak akan jadi dia,” balas Marchel yang membuat Hulya tertawa renyah. Marchel semakin jatuh cinta pada istrinya itu, ditambah lagi sekarang sudah ada benihnya dalam rahim Hulya.
...***...
Karena kerinduan yang semakin menjadi di hatinya pada Hulya, Aarav memberanikan diri untuk menemui mantan kekasihnya itu dan dia sampai di New York semalam.
Aarav memasuki mansion Marchel dengan santai, semua penjaga mempersilakan masuk karena Aarav merupakan adik kandung Marchel dan hubungan mereka cukup buruk selama ini.
Marchel baru saja menemani Hulya tidur— sepulang dari rumah sakit. Hulya dianjurkan banyak istirahat. Marchel mendengar teriakan Aarav di lantai bawah, dia perlahan beranjak dari kasur lalu keluar kamar, tak lupa dia mengunci pintu kamar agar Hulya tidak keluar dan bertemu Aarav.
“HULYA! HULYA!” teriak Aarav yang membuat Marchel emosi, dia menyusul Aarav lalu menghantamkan tinju ke wajah adiknya itu.
“Kau itu punya sopan santun tidak hah? Kau masuk dan teriak-teriak di rumahku seperti orang tidak beradab,” hardik Marchel sambil menggenggam kerah baju Aarav.
Aarav tak tinggal diam, dia membalas pukulan Marchel sehingga baku hantam terjadi di antara mereka. Louis selaku orang kepercayaan Marchel kebetulan ada di sana, ia melerai kedua saudara itu agar tidak terjadi hal lebih parah lagi.
Marchel dan Aarav sama-sama dikuasai emosi. Tak ada dari mereka yang mau mengalah satu sama lain.
“Kalian bisa bicara baik-baik, jangan seperti ini, jika nanti Hulya melihat kalian seperti ini, dia akan terbebani,” lerai Louis yang berdiri di antara mereka, baik Marchel mau pun Aarav tak mau ditenangkan, Marchel masih akan maju tapi ditahan oleh Louis.
“Tenanglah, Bos. Istri anda masih dalam tahap pemulihan, jangan buat dia stres dengan keributan ini,” saran Louis yang membuat Marchel dan Aarav lebih tenang, apalagi Marchel, dia tidak ingin istrinya sakit lagi.
...🪞Bersambung🪞...