Rika Nurbaya adalah seorang guru honorer yang mendapat perlakuan tak mengenakan dari rekan sesama guru di sekolahnya. Ditengah huru-hara yang memuncak dengan rekan sesama guru yang tak suka dengan kehadirannya, Rika juga harus menghadapi kenyataan bahwa suaminya, Ramdhan memilih wanita lain yang jauh lebih muda darinya. Hati Rika hancur, pernikahannya yang sudah berjalan selama 4 tahun hancur begitu saja ditambah sikap ibu mertuanya yang selalu menghinanya. Rika pun pergi akan tetapi ia akan membuktikan bahwa Ramdhan telah salah meninggalkannya dan memilih wanita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saya Minta Maaf
Kabar mengenai Bu Rosba yang terserang stroke dan terbaring lumpuh di rumah sakit sampai ke telinga Rika melalui pesan singkat dari Pak Rahmat. Kepala Sekolah SMA Negeri 2 itu mengirimkan pesan yang singkat dan penuh kesedihan, menceritakan kondisi Rosba dan memohon doa.
Rika membaca pesan itu saat sedang menikmati secangkir teh di ruang guru SMA Bina Cendekia. Ia terdiam. Meskipun Rosba adalah sumber penderitaannya dan fitnah yang nyaris menghancurkan kariernya, Rika tidak merasakan kegembiraan atau kepuasan. Yang ia rasakan adalah iba dan kesadaran akan kerapuhan manusia.
“Setiap orang punya pertarungannya sendiri, dan terkadang, pertarungan itu menghancurkan mereka sendiri,” bisik Rika pada dirinya sendiri.
Keesokan harinya, sepulang mengajar, Rika memutuskan untuk menjenguk. Ia mampir ke sebuah toko buah, memilih beberapa buah segar, anggur, dan pear—buah-buahan yang mudah dicerna oleh pasien. Rika datang bukan sebagai pemenang, melainkan sebagai seorang yang telah berdamai dengan masa lalunya.
Rika tiba di rumah sakit, menanyakan kamar rawat Bu Rosba, dan berjalan menyusuri koridor yang berbau antiseptik. Ia mengetuk pintu kamar dengan pelan.
"Masuk,” sahut sebuah suara pria yang tenang.
Rika melangkah masuk. Kamar itu sunyi. Di ranjang, Bu Rosba terbaring kaku, separuh tubuhnya tertutup selimut. Di sampingnya, Pak Zakaria duduk dengan setia, sedang membacakan doa dari sebuah buku kecil.
Pak Zakaria mendongak. Ia mengenali Rika dan segera berdiri, wajahnya menunjukkan rasa malu dan terkejut.
“Rika? Astaghfirullah, Nak. Kamu datang?” tanya Pak Zakaria.
“Iya, Pak. Saya Rika. Saya dengar kabar Bu Rosba sakit. Ini, ada sedikit buah untuk Bu Rosba,” Rika meletakkan bingkisan buah di meja.
Bu Rosba, yang sedari tadi hanya menatap langit-langit, kini memalingkan matanya. Ia melihat Rika, si janda yang ia hina, si guru honorer yang ia depak, berdiri di kamarnya dengan wajah iba dan bingkisan buah dari sekolah elit.
Rosba mencoba berteriak, mencoba mengatakan ‘Pergi! Aku tidak butuh belas kasihanmu!’ Namun, ia hanya bisa mengeluarkan erangan rendah yang tercekat di tenggorokan. Matanya, yang masih bisa bergerak, menatap Rika dengan nyala kebencian yang terang, menuduh, dan penuh penolakan.
Pak Zakaria menyadari ketegangan itu. Ia menghampiri Rika, wajahnya dipenuhi rasa bersalah yang mendalam.
****
“Nak Rika, terima kasih banyak sudah sudi datang. Di tengah semua yang sudah Istri saya lakukan pada kamu, kamu masih punya hati yang lapang,” ujar Pak Zakaria, nadanya pilu.
Pak Zakaria meraih tangan Rika dan menjabatnya erat. “Atas nama Rosba, dan atas nama saya sendiri, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, Nak. Maafkan semua fitnah, semua intrik, semua kebencian yang pernah dia berikan pada kamu. Saya tahu, dia sudah keterlaluan.”
Rika merasakan ketulusan di tangan Pak Zakaria. Ia membalas genggaman itu.
"Tidak apa-apa, Pak Zakaria. Saya datang ke sini bukan untuk menagih janji atau menuntut permintaan maaf,” kata Rika, suaranya lembut. “Saya datang karena Bu Rosba adalah guru saya, senior saya, dan rekan kerja saya. Saya datang karena saya peduli.”
Rika kemudian melangkah mendekati ranjang, berdiri di sisi kanan Rosba yang lumpuh. Ia menatap Rosba, yang matanya kini dipenuhi air mata amarah yang terperangkap.
“Bu Rosba,” Rika berbisik, nadanya penuh ketenangan. “Saya tahu Ibu sedang marah, dan Ibu pasti merasa ini tidak adil.”
Rosba mencoba menggeleng, namun hanya gerakan kecil yang terjadi. Matanya memancarkan teriakan: Ini sandiwara! Kau datang untuk melihatku hancur!
“Tapi, Bu,” Rika melanjutkan, menunduk sedikit agar Rosba bisa melihatnya dengan jelas. “Saya mau Ibu tahu. Saya sudah memaafkan Ibu. Saya sudah memaafkan Ibu sejak lama. Sejak hari di mana saya mendapatkan penghargaan Guru Teladan, dan hari di mana saya diterima di SMA Bina Cendekia.”
“Semua yang Ibu lakukan pada saya, semua fitnah itu, justru menjadi cambuk yang mendorong saya ke tempat yang lebih baik. Tanpa Ibu, mungkin saya akan selamanya menjadi guru honorer yang nyaman di zona nyamannya.”
“Saya sudah tidak punya dendam, Bu. Saya sudah tidak marah. Saya hanya bersyukur, dan saya mendoakan Ibu segera pulih. Pulih, bukan hanya fisiknya, tapi juga hatinya.”
****
Rika meraih tangan kiri Rosba yang masih bisa digerakkan, menggenggamnya hangat. Rosba merasakan kehangatan yang jujur itu, namun hatinya menolak. Ia tidak mau pengampunan itu. Pengampunan Rika terasa seperti belas kasihan, dan belas kasihan Rika terasa seperti penghinaan yang paling menyakitkan.
'Aku tidak butuh doamu! Aku tidak butuh pengampunanmu! Semua ini karena kamu! Kau yang menyebabkan aku lumpuh! Kau sedang bersandiwara! Kau ingin terlihat suci di depan suamiku!' Rosba berteriak dalam hati, air matanya kini mengalir deras, namun wajahnya tetap kaku.
Pak Zakaria, melihat air mata istrinya, merasa terharu. Ia yakin istrinya menyesal.
“Alhamdulillah, Bu,” kata Pak Zakaria, mengusap bahu istrinya. “Lihat, Rika sudah memaafkan. Kamu harus belajar melepaskan semua beban itu.”
Rika tersenyum pada Pak Zakaria. Ia tahu, Rosba tidak menyesal dan tidak memaafkan. Tapi Rika telah melakukan bagiannya: ia telah membebaskan dirinya sendiri dari beban kebencian.
“Saya harus segera kembali, Pak Zakaria. Jaga Bu Rosba baik-baik. Kalau ada apa-apa, tolong kabari saya,” ujar Rika.
Rika menatap Rosba sekali lagi. “Saya pamit, Bu. Semoga lekas sembuh. Saya akan terus mendoakan Ibu.”
Rika berbalik dan berjalan keluar, meninggalkan keharuan palsu dan dendam yang nyata.
Begitu pintu tertutup, Rosba merasakan amarahnya meledak. Ia mencoba menggerakkan tangannya, mencoba meremas selimut, namun ia tidak bisa. Ia terperangkap, dan kebencian Rika yang tulus telah menjadi belenggu yang mengikatnya. Ia bersumpah dalam hati, bahwa ia akan membalas sandiwara Rika ini. Namun, ia hanya bisa menatap langit-langit, lumpuh, bisu, dan penuh dendam yang tersisa. Kunjungan Rika adalah kemenangan terakhir Rika yang paling mutlak.
****
Rika baru saja keluar dari kamar rawat Bu Rosba, meninggalkan suasana tegang dan dendam yang terperangkap. Ia berjalan menyusuri koridor rumah sakit, membawa perasaan lega karena telah menuntaskan kewajiban moralnya, terlepas dari reaksi Bu Rosba yang dingin. Ia berjalan menuju lift, berniat segera pulang ke rumah.
Saat Rika melewati ruang tunggu dekat lobby, ia berpapasan dengan seorang wanita yang mengenakan masker medis dan membawa sebuket kecil bunga lili. Rika mengenali mata itu, meskipun separuh wajahnya tertutup.
"Miss Rini?” sapa Rika, suaranya terkejut.
Miss Rini, yang juga hendak menjenguk Rosba, seketika berhenti. Ia terperanjat melihat Rika. Rasa malu dan bersalah langsung membanjiri wajahnya yang sebagian tertutup masker. Ia buru-buru menunduk, mencoba menghindari tatapan Rika.
“Rika…” bisik Miss Rini, suaranya sangat pelan, hampir tak terdengar.
Rika melangkah mendekat, matanya menunjukkan pengertian. Ia ingat, Miss Rini adalah pengikut setia Rosba, seringkali terlibat dalam gosip dan intrik, namun ia tidak pernah sekejam Rosba. Miss Rini lebih didorong oleh rasa takut dan keinginan untuk diterima oleh kelompok senior.
“Anda mau menjenguk Bu Rosba?” tanya Rika, menunjuk bunga lili di tangan Rini.
Miss Rini mengangguk pelan, masih enggan menatap Rika. “Iya. Saya… saya baru sempat datang.”
Rika menyadari betapa canggungnya situasi ini. Ia memutuskan untuk mengambil inisiatif. Ia memegang lengan Miss Rini dengan lembut, mengajaknya menjauh dari keramaian dan menuju kursi di sudut koridor yang lebih sepi.
“Duduklah sebentar, Miss Rini,” ajak Rika.
Miss Rini duduk dengan hati-hati. Ia membuka maskernya, memperlihatkan wajahnya yang terlihat lelah dan dipenuhi rasa bersalah.
“Rika, saya… saya minta maaf,” ujar Miss Rini, kalimat itu akhirnya keluar. Suaranya bergetar.