Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 26.
“Astagfirullahaladzim...” gumam Tiyem pelan, hampir seperti bisikan pada dirinya sendiri. Ia menyeka keringat dingin di pelipis, lalu membasuh wajah dengan kedua telapak tangannya yang dingin. Berusaha menenangkan diri.
Suara langkah kaki yang semula terdengar dari lorong mendadak mereda... lalu menghilang.
“Mbok, jangan bahas itu lagi. Aku sudah dipesan Nyi Kodasih... jangan menyebut-nyebut Kakang nya Arjo,” gumam Tiyem, nyaris tak terdengar.
“Iya, Yem... kita cepatkan saja kerjaan ini,” sahut Mbok Piyah, sambil merapikan bumbu halus yang baru saja selesai ditumbuk.
Dapur itu kembali hening. Dua perempuan itu melanjutkan tugas mereka, menyiapkan makan malam bagi para pegawai loji yang bertugas jaga malam. Bau rempah menggantung di udara, namun tidak mengalahkan rasa cemas yang mulai merayap di dada.
Tiba-tiba...
Langkah kaki itu terdengar lagi. Lebih pelan... namun jelas mendekat.
Jantung mereka kembali berpacu. Tiyem menggenggam erat sudut kain kebayanya.
“Ya Allah, Mbok... ada apa lagi ini? Aku takut Nyi Kodasih marah lagi,” bisik Tiyem. Tangannya kembali dingin, bukan karena udara malam yang lembap.
“Sabar, Yem... Kalau Nyi marah, kamu minta ampun. Tapi aku khawatir...” suara Mbok Piyah terputus. Ia melirik ke arah Tiyem yang kini wajahnya sudah sepucat kertas.
Langkah kaki itu berhenti tepat di depan dapur.
Tok tok tok...
Ketukan pelan di pintu membuat keduanya terlonjak. Bukan suara keras, tapi cukup untuk membuat malam terasa semakin menyesakkan. Ketukan seperti itu... biasanya dilakukan oleh pelayan loji.
Tiyem berdiri pelan, hendak melangkah ke arah pintu.
Namun tangan Mbok Piyah segera meraih lengannya. Menggenggam erat.
“Jangan, Nduk… tunggu di sini.”
Tok-tok-tok...
“Kowe tetap di pojok, aku yang bukakan,” bisik Mbok Piyah. Suaranya bergetar.
Dengan langkah perlahan dan hati-hati, ia mendekati pintu. Tangan kirinya menyentuh daun pintu, sementara yang kanan menggenggam ujung kain jariknya.
Daun pintu dibuka sedikit...
Mbok Piyah terperanjat. Di ambang pintu berdiri Sanah, wajahnya tegang, matanya liar mencari.
“Mbok...” suaranya serak, nyaris panik.
“Ada apa, Nah? Kok bikin kaget aja,” ucap Mbok Piyah, cepat menarik lengan Sanah masuk ke dalam dan menutup pintu rapat-rapat.
Sanah terengah. Napasnya belum teratur.
“Mbok... Kang Pardi baru saja menemui aku. Dia mendengar pembicaraan para jaga malam di teras loji.”
Mbok Piyah dan Tiyem menunggu, tak berani menyela.
“Katanya... tentara Jepang bakal lebih kejam dari Belanda. Terutama sama perempuan muda, Mbok…”
Tiyem menahan napas. Wajahnya makin tegang.
Sanah melanjutkan cepat, “Kang Pardi bilang... dia mau cepet-cepet nikahi aku.”
Mbok Piyah menarik napas panjang, lalu mengangguk.
“Aku juga dengar dari Pak Karto. Memang begitu kabarnya. Ya syukur kalau Pardi cepat nikahimu, Nah.”
“Iya Mbok... Tapi aku sama Kang Pardi takut ngomong ke Nyi Kodasih. Tolong, Mbok... yang omomg ke Nyi ya, mintakan izin ...”
Mbok Piyah memandang Sanah dalam-dalam. Sejenak, hanya suara jangkrik terdengar dari luar jendela dapur.
“Besok... kalau suasana hati Nyi Kodasih baik, aku ijinkan. Tapi kamu hati-hati, Nah.”
Sanah mengangguk cepat, lalu berkata pelan:
“Mungkin... Kang Pardi juga mau ajak aku keluar dari loji ini. Katanya kerja saja di kebun kopi. Badan capek, gaji kecil, tinggal di gubuk orang tua juga tak apa... asal hati tenang.”
Mbok Piyah terdiam lama. Ia menatap dua gadis muda di hadapannya, keduanya masih belia, terlalu muda untuk paham dunia yang berubah terlalu cepat.
Malam itu, di dapur loji temaram oleh lampu minyak. Ketiga perempuan terdiam dalam kecemasan dan harapan. Di luar, bayang-bayang kekuasaan yang baru sedang merambat pelan... sedangkan di dalam loji suasana semakin mencekam. Tak ada yang tahu, seberapa jauh mereka harus bertahan.
Di luar, suara burung hantu terdengar sendu. Dan dari kejauhan, samar-samar, lolongan anjing menggema.
Tanda bahwa malam ini bukan malam biasa.
✨✨✨
Sementara itu Nyi Kodasih, berjalan mondar mandir di dalam kamarnya. Hati dan pikirannya begitu kacau. Masalah Tiyem belum juga selesai. Kini telinganya sudah mendengar desas desus kekejaman tentara Jepang pada perempuan muda.
Namun sesaat ekspresi wajah Kodasih sedikit tenang..
“Arwah Tuan Menir pasti akan selalu menjaga aku dan loji ini.” Gumam Nyi Kodasih lalu menoleh menatap foto Tuan Menir yang tergantung di dinding di atas altar. Asap kemenyan di dalam anglo terus mengepul dari arah altar kecil itu.
“Dokumen dokumen resmi yang dibawa oleh Nyonya Wihelmina saja bisa hangus terbakar.. pasti bukan hal sulit untuk menghalau tentara Jepang yang akan merebut loji ini.” Ucap Kodasih lagi.
Kodasih melangkah perlahan menuju ke altar. Lalu duduk bersimpuh di depan altar itu. Tangan nya menabur lagi kemenyan ke dalam anglo...
Asap semakin mengepul dan aroma pekat kemenyan keluar dari anglo kecil itu..
“Tuan, jangan biarkan hatiku dan hati para pegawai loji diliputi oleh rasa gelisah dan kekawatiran akan datangnya tentara Jepang... tolong kami Tuan Menir...”
Kodasih menunduk, kedua tangan menyatu di dadanya...
Tiba tiba angin berhembus dari arah foto Tuan Menir..
Angin itu berembus pelan, namun cukup untuk membuat nyala lampu minyak di altar kecil bergoyang. Asap kemenyan membubung, melingkar lingkar ke udara, lalu lenyap ditelan bayang bayang di langit langit kamar.
Nyi Kodasih mengangkat kepala. Sorot matanya berubah.
“Ini tandanya...” bisiknya. Ia menoleh ke arah jendela, yang kacanya tertutup tirai putih tipis, “Tuan mendengar doaku.”
Namun sebelum ia sempat berdiri, terdengar ketukan di pintu kamarnya.
Tok... tok... tok.
Tidak tergesa. Tapi juga tidak bisa diabaikan.
Wajah Nyi Kodasih mengeras. Ia berdiri perlahan, lalu melangkah ke pintu dengan anggun, walau ada ketegangan yang samar di setiap geraknya.
Saat pintu dibuka, tampak Pak Karto berdiri dengan seorang laki-laki. Seragam Belanda yang lusuh masih melekat di tubuhnya, meski warnanya sudah mulai memudar. Pelipisnya basah oleh keringat, dan matanya tajam, waspada.
“Maaf Nyi, Darman ingin bicara empat mata dengan Nyi..” ucap Pak Karto dengan santun.
Nyi Kodasih mengangguk dan menyuruh Pak Karto meninggalkan mereka.
“Nyi...” sapa lelaki itu, mengangguk singkat. “Maaf mengganggu malam malam begini. Saya Darman. Baru kembali dari pos jaga selatan.”
Nyi Kodasih memandangnya lekat lekat. Ia mengenal Darman salah satu pegawai orang pribumi yang diberi pelatihan militer oleh Belanda. Pria itu sering disebut sebagai 'tangan kanan' loji. Namun sejak Belanda resmi menyerah dan tentara Jepang mendarat di pesisir, wajah wajah seperti Darman mulai jarang terlihat di loji.
“Masuklah,” ucap Nyi Kodasih tenang. “Apa yang membawamu kembali ke loji malam malam begini?”
Darman masuk, menutup pintu perlahan di belakangnya. Ia berbicara cepat, nyaris tanpa jeda.
“Pasukan Jepang sudah mulai menyebar ke desa desa. Mereka mendekati loji dari arah timur. Saya kira mereka akan cepat sampai ke sini .”
“Lalu?”
“Loji ini... mereka tandai.” Darman menatap langsung ke mata Nyi Kodasih. “Karena ini milik kolonial Belanda dan pernah dipakai menyimpan arsip dan senjata.”
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba