NovelToon NovelToon
Harga Diri Seorang Istri

Harga Diri Seorang Istri

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Wanita Karir / Penyesalan Suami / Selingkuh / Romansa
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Bunda SB

Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.

Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.

Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.

Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.

Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Janji yang terlupakan

Sinar matahari siang itu menyengat kulit Indira saat ia berdiri di depan cermin panjang kamar tidurnya. Jemarinya merapikan lipatan dress biru langit yang ia kenakan, dress kesukaan Rangga yang sudah lama tersimpan rapi di lemari. Sebuah senyum pahit mengembang di bibirnya. Bukan senyum kebahagiaan, melainkan senyum seorang wanita yang sedang memberikan kesempatan terakhir.

Kesempatan terakhir untuk suami yang berkhianat.

Indira menatap pantulan wajahnya di cermin. Mata yang dulu berbinar kini terlihat lelah, meski ia sudah berusaha menutupinya dengan riasan tipis. Tiga tahun pernikahan, dan inilah yang ia dapatkan, pengkhianatan yang dikemas rapi di balik senyuman dan janji-janji manis.

Indira menarik napas panjang. Hari ini adalah ujian terakhir. Jika Rangga benar-benar menepati janjinya, jika ia memilih Indira di atas segalanya, mungkin, hanya mungkin masih ada yang bisa diselamatkan dari reruntuhan pernikahan ini. Tapi jika tidak...

Jika tidak, Indira sudah siap dengan keputusannya.

"Dira!" suara Rangga memanggil dari lantai bawah. "Kamu sudah siap?"

Indira menatap pantulannya sekali lagi, memasang topeng wajah datar tanpa emosi. "Iya, tunggu sebentar!" sahutnya dengan nada yang terdengar terlalu tenang.

Ia menuruni tangga dengan langkah perlahan, setiap anak tangga terasa seperti menghitung mundur menuju akhir dari sesuatu yang sudah mati.

Rangga sudah menunggu di ruang tamu, mengenakan kemeja putih lengan panjang yang dipadukan dengan celana jeans biru tua. Rambutnya yang bergelombang ditata rapi ke belakang. Tampan, pikir Indira dengan ironi. Pengkhianat pun bisa terlihat sempurna.

"Kamu cantik," puji Rangga sambil tersenyum. Senyum yang dulu bisa membuat jantung Indira berdegup kencang. Kini hanya membuat perutnya mual.

"Terima kasih," balas Indira datar, tanpa senyuman. Tanpa kehangatan.

Rangga mengernyit sedikit, merasakan sesuatu yang berbeda. "Kamu... tidak apa-apa?"

"Baik," jawab Indira singkat. "Ayo berangkat."

Mereka berjalan menuju garasi dalam keheningan yang canggung. Tidak ada obrolan ringan, tidak ada tawa. Hanya suara langkah kaki mereka di lantai marmer yang menggema seperti detik jarum jam.

Rangga sesekali melirik Indira, mencoba membaca ekspresinya, tapi wajah istrinya bagai tembok beton, dingin dan tidak tertembus. Ia membukakan pintu mobil, tapi Indira tidak berterima kasih. Ia hanya berdiri di samping pintu, menunggu.

Rangga hampir masuk ke sisi pengemudi ketika...

Getaran ponsel memecah keheningan.

Indira tidak bergerak. Ia hanya menatap suaminya dengan pandangan kosong, seolah sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Seperti menonton film yang endingnya sudah bisa ditebak.

Rangga mengeluarkan ponselnya dari saku celana, menatap layar. Kerutan muncul di dahinya. Ia melirik Indira sekilas, ragu, bersalah, tapi kemudian menjawab juga.

"Halo?" Rangga menjawab sambil berbalik, suaranya rendah.

Indira berdiri diam, lengannya terlipat di dada. Wajahnya tidak menunjukkan emosi apapun, tapi matanya menatap tajam ke punggung suaminya. Menatap seperti hakim yang sedang mengamati terdakwa.

"Baik... ya, aku mengerti... sekarang? Tapi aku..." Rangga terdiam, mendengarkan. Bahunya menegang. "Oke, aku ke sana sekarang."

Panggilan berakhir. Rangga berbalik perlahan, dan tatapannya bertemu dengan tatapan dingin Indira.

"Dira, maaf..." Rangga memulai, suaranya terdengar seperti rekaman yang diputar ulang. "Ada urusan mendadak di kantor. Klien penting dari..."

"Kantor," potong Indira datar. Bukan pertanyaan. Pernyataan. Tuduhan.

"Iya, klien dari Singapura tiba-tiba datang dan mereka harus bertemu sekarang. Ini proyek besar, Dira. Aku tidak bisa..."

"Kamu janji," ucap Indira, masih dengan nada yang mengerikan tenangnya. "Kamu bilang hari ini waktunya hanya untuk aku."

Rangga menghela napas, mengusap wajahnya. "Aku tahu, tapi ini penting. Proyek ini nilainya miliaran. Kita bisa reschedule, kan? Besok atau..."

"Besok," ulang Indira, senyum dingin muncul di bibirnya. "Atau lusa. Atau minggu depan. Atau tidak sama sekali."

"Dira, jangan seperti itu. Kamu tahu pekerjaan ku..."

"Menghidupi kita?" Indira menyelesaikan kalimatnya, nada sarkastik pertama kali muncul. "Ya, aku tahu. Aku sudah dengar alasan itu ratusan kali, Rangga."

"Lalu kenapa kamu masih mempermasalahkannya?" Rangga mulai terdengar frustasi. "Aku bekerja keras untuk keluarga ini!"

"Keluarga ini?" Indira tertawa hambar. "Keluarga yang mana? Keluarga yang kamu abaikan setiap hari? Atau keluarga baru yang sedang kamu persiapkan?"

Hening.

Rangga membeku. Wajahnya memucat sesaat sebelum ia cepat-cepat mengontrol ekspresinya. "Apa maksudmu?"

"Tidak ada," jawab Indira tenang, tapi matanya berapi-api. "Pergi saja ke 'kantor'mu, Rangga. Jangan sampai klien pentingmu menunggu."

Rangga menatap istrinya, mencoba membaca apa yang ada di balik kata-kata itu. Tapi Indira sudah berbalik, memberikan punggungnya, simbol penolakan yang jelas.

"Sayang..."

"Pergi," ulang Indira tanpa menoleh. Suaranya terdengar lelah. "Aku sudah capek dengan percakapan ini."

Keheningan yang menyakitkan mengisi ruang di antara mereka. Rangga membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kata yang keluar. Akhirnya ia hanya mengangguk, meskipun Indira tidak melihatnya lalu berjalan menuju mobilnya.

Mesin menyala. Mobil hitam itu meluncur keluar dari halaman rumah tanpa pamit, tanpa kalimat manis, tanpa apapun.

Indira berdiri mematung, menatap mobil itu menjauh. Tidak ada air mata. Ia sudah terlalu banyak menangis sendirian. Yang tersisa hanya kekosongan dan kemarahan yang dingin.

Ini adalah jawabannya. Rangga memilih. Dan pilihannya bukan Indira.

"Dira?"

Suara familiar membuatnya menoleh. Sebuah mobil putih berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Rani, sahabatnya turun dengan wajah khawatir.

"Ran," sapa Indira datar.

Rani berjalan cepat mendekat, matanya yang tajam langsung membaca situasi. "Itu Rangga? Kok sepertinya buru-buru?"

"Dia membatalkan janji," jawab Indira singkat. "Lagi."

"Dira..." Rani menghela napas panjang. Ia menggenggam tangan sahabatnya. "Aku tahu kamu sudah berusaha. Aku tahu hari ini penting untukmu."

Indira tidak menjawab. Matanya masih menatap ujung jalan tempat mobil Rangga menghilang. Tapi kali ini, bukan kesedihan yang mengisi tatapannya. Ada sesuatu yang lain, tekad.

"Ran," ucap Indira tiba-tiba, suaranya berubah tegas. "Ayo kita ikuti dia."

Rani tersentak. "Apa?"

"Ikuti mobilnya. Sekarang." Indira sudah melangkah menuju mobil Rani.

"Dira, tunggu..." Rani mengikuti. "Kamu yakin? Maksudku, apakah kamu siap dengan apa yang mungkin kamu temukan?"

Indira berhenti, menoleh menatap sahabatnya. Matanya tidak menunjukkan keraguan. "Aku sudah cukup hidup dalam kebohongan, Ran. Aku tahu dia berselingkuh. Aku tahu dia mau menikahi wanita itu. Tapi aku tetap ingin melihat sendiri dengan mata kepalaku."

Rani menatap sahabatnya dalam diam. Ia melihat kekuatan di balik rasa sakit itu, kekuatan seorang wanita yang sudah memutuskan untuk berhenti menjadi korban.

"Oke," kata Rani akhirnya dengan tegas. "Ayo masuk. Kita akan cari tahu kemana bajingan itu pergi."

Keduanya masuk ke mobil. Rani memutar kunci kontak, mesin menderu pelan.

"Kamu masih lihat mobilnya?" tanya Rani.

"Belok kanan di ujung jalan," jawab Indira, suaranya tenang tapi matanya penuh determinasi. "Cepat, Ran. Aku harus tahu kemana sebenarnya dia pergi. Bukan ke kantor. Pasti bukan ke kantor."

Mobil putih itu meluncur keluar dari halaman, mengikuti rute yang sama dengan mobil Rangga. Indira duduk tegak di kursi penumpang, tangan terkepal di pangkuan.

Hari ini adalah kesempatan terakhir yang ia berikan. Dan Rangga sudah membuangnya.

Sekarang, waktunya Indira mengambil kendali. Waktunya ia melihat kebenaran dengan mata kepalanya sendiri.

1
rian Away
awokawok Rangga
Ariany Sudjana
itu hukum tabur tuai Rangga, terima saja konsekuensinya. Indira kamu sia-siakan demi batu kerikil
yuni ati
Menarik/Good/
Ma Em
Alhamdulillah Indira sdh bisa keluar dari rumahnya, Rani emang sahabat terbaik , pasti Rangga kaget pas buka kamar Indira sdh pergi .
Wulan Sari
ceritanya semakin kesini semakin menarik lho bacanya, seorang istri yg di selingkuhi suami,bacanya bikin greget banget semoga yg di aelingkuhi lepas dan cerita akhirnya happy end semangat 💪 Thor salam sukses selalu ya ❤️👍🙂🙏
Wulan Sari
suka deh salut mb Indira semangat 💪
Ma Em
Makanya Rangga jgn sok mau poligami yg akhirnya akan membawamu pada penyesalan , kamu berbuat sesuka hati membawa istri keduamu tinggal bersama Indira istri pertamamu dan mengusirnya dari kamarnya dan malah tinggal dikamar tamu kan kamu gila Rangga , emang Indira wanita hebat dimadu sama suami tdk menangis tdk mengeluh berani melawan berani bertindak 👍👍💪💪
Nany Susilowati
ini novel tahun berapakah kok masih pake SMS
Ariany Sudjana
Rangga bodoh, apa dengan mengunci Indira di kamar tamu, maka Indira akan berubah pikiran? justru akan membuat Indira semakin membenci Rangga
Ma Em
Semoga Indira berjodoh dgn Adrian setelah cerai dgn Rangga .
Ariany Sudjana
Indira harus bercerai dari Rangga, ngapain juga punya suami mokondo, dan juga kan Rangga sudah punya Ayunda. lebih baik Indira kejar kebahagiaan kamu sendiri, apalagi kamu perempuan yang mandiri. masih ada Adrian, yang lebih pantas jadi suami kamu, dan yang pasti lebih berkelas dan bertanggung jawab
Dew666
🥰🥰🥰
Mundri Astuti
mending kamu pisah dulu Dira sama si kutil, biar ga jadi masalah ntar klo sidang cerai
Wulan Sari: iya cerai saja buat apa RT yang sudah ada perselingkuhan sudah tidak kondusif di teruskan juga ga baik mana ada seorang wanita di selingkuhi mau bersama heee lanjut Thor semangat 💪
total 1 replies
Ariany Sudjana
Rani benar Indira, jangan terus terpuruk dengan masalah rumah tangga kamu. kamu perlu keluar dari rumah toxic itu, perlu waktu untuk menyenangkan diri kamu sendiri. kamu tunjukkan kamu perempuan yang tegar, kuat dan mandiri
Ma Em
Rangga lelaki yg banyak tingkah punya usaha baru melek saja sdh poligami , Indira saja sang istri pertama tdk pernah dikasih nafkah eh malah mendatangkan madu yg banyak maunya yg ingin menguasai segalanya , Ayunda kira nikah dgn Rangga bakal terjamin hidupnya ga taunya malah zonk
Ariany Sudjana
bagus Indira, kamu harus tegas sama itu pelakor. urusan rumah tangga dan cari pembantu bukan urusan kamu lagi, tapi urusan Ayunda, yang katanya ingin diakui jadi nyonya rumah 🤭🤣
Ma Em
Indira hebat kamu sdh benar kamu hrs berani melawan ketidak Adilan dan mundur itu lbh baik serta cari kebahagiaanmu sendiri Indira daripada hidupmu tersiksa 💪💪💪
Ariany Sudjana
bagus Indira, kamu harus tegas dan tetap berdiri tegak, di tengah keluarga yang mengagungkan nama baik, tapi tingkah laku keluarga itu yang menghancurkan nama baik itu sendiri. sudah Indira, tinggalkan saja Rangga, masih banyak pria mapan yang lebih bertanggung jawab di luar sana dan tidak sekedar menghakimi kamu
Ariany Sudjana
itulah hukum tabur tuai, Rangga sudah memilih Ayunda jadi istrinya, ya terima semua kelebihan dan kekurangannya, jangan mengeluh dan jangan berharap Indira akan berubah pendirian
Dew666
😍😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!