"𝘽𝙧𝙚𝙣𝙜.. 𝙗𝙚𝙣𝙜.. 𝙗𝙚𝙣𝙜.. "
𝘼𝙙𝙪𝙝 𝙖𝙬𝙖𝙨... 𝙝𝙚𝙮𝙮𝙮... 𝙢𝙞𝙣𝙜𝙜𝙞𝙧.. 𝘼𝙡𝙖𝙢𝙖𝙠..
𝘽𝙧𝙪𝙠𝙠𝙠...
Thalia putri Dewantara gadis cantik, imut, berhidung mancung, bibir tipis dan mata hazel, harus mengalami kecelakaan tunggal menabrak gerbang, di hari pertamanya masuk sekolah.
Bagaimana kesialan dan kebarbaran Thalia di sekolah barunya, bisakah dia mendapat sahabat, atau kekasih, yuk di simak kisahnya.
karya Triza cancer.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon TriZa Cancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SENJATA MAKAN TUAN
Bel istirahat berbunyi nyaring, menandai akhir pelajaran yang membuat seluruh siswa seolah berebut kebebasan. Suara kursi diseret, langkah kaki tergesa, dan teriakan kecil saling sahut memenuhi ruang kelas.
Semua bergegas ada yang langsung ke kantin, ada yang ke taman, dan sebagian besar ke toilet untuk sekadar merapikan diri.
Cia dan Sasa langsung menghampiri meja Thalia dengan antusias.
“Lia, kita ke taman depan yuk!..Katanya hari ini ada yang jual es krim baru, rasa stroberi keju,” ujar Sasa sambil menarik lengan teman barunya itu.
“Hmm, kalian duluan aja, gue nyusul. Gue ke toilet dulu, nih tangan masih lengket clay.”
Cia dan Sasa mengangguk sambil berlalu, meninggalkan Thalia yang memasukkan alat tulis ke tas kecilnya. Ia berdiri, menepuk-nepuk rok seragamnya yang agak kotor kena serpihan tanah liat.
Tapi saat ia hendak melangkah ke luar kelas, matanya sekilas menangkap sesuatu Athar.
Cowok itu masih duduk di kursinya. Datar seperti biasa.
Kedua tangannya terlipat di dada, pandangan lurus ke arah papan tulis seolah masih memikirkan soal penting. Padahal semua sahabatnya Raka, Rafi, Doni, dan Dion sudah pergi duluan ke kantin.
Thalia sempat berhenti di ambang pintu.
Dalam hatinya muncul rasa aneh."Dia nggak lapar apa? Atau nunggu seseorang?"
Tapi dengan cepat Thalia menggeleng pelan, mencoba menepis pikirannya sendiri.
"Ah, mungkin dia cuma sok cool. Atau ya, lagi mikirin dunia bawahnya yang penuh rahasia itu, gumamnya dalam hati sambil berdecak pelan.
Ia melangkah meninggalkan kelas, suara sepatunya terdengar ritmis di koridor.
Namun yang tidak Thalia sadari, begitu bayangannya itu hilang di tikungan, Athar menoleh perlahan ke arah pintu ke arah yang sama tempat Thalia barusan melangkah pergi.
Cowok itu masih diam, tapi ada sesuatu di matanya yang bukan sekadar dingin. Entah rasa ingin tahu, entah rasa penasaran yang belum bisa ia jelaskan sendiri.
Raka yang baru balik lagi ke kelas karena lupa dompet melihat pemandangan itu, dan langsung bersuara,“Bos, lo kenapa bengong ngeliatin pintu kayak gitu?”
Athar cepat menepis, menunduk pura-pura merapikan buku. Athar hanya menggeleng tanpa menatap Raka.
“Yakin? Gue kira lo nungguin Thalia,” goda Raka sambil tertawa kecil.
Athar mendengus datar, menatapnya dengan ekspresi khasnya.
“Ngaco.”
Tapi Raka hanya terkekeh sambil mengambil dompetnya.“Ngaco-ngaco, tapi muka lo jelas, bos. Pasti ada sesuatu tuh.”
Athar tidak menjawab. Ia hanya melirik lagi ke arah pintu sekali saja, sebelum akhirnya berdiri dan melangkah keluar kelas dengan tangan di saku.
Di depan toilet siswa Sesil dan Leni yang hendak keluar toilet terpaksa berhenti, ketika melihat Thalia berjalan santai menuju arah yang sama.
Keduanya saling pandang dan senyum licik mengembang di wajah mereka.
“Kesempatan emas,” bisik Sesil.
“Iya, si mulut pedas itu bakal nyesel deh..,” sambung Leni dengan tawa tertahan.
Mereka cepat-cepat menyiapkan ember bekas pel berisi air kotor yang baunya menusuk, serta kain pel yang sudah hampir jadi fosil. Begitu Thalia masuk, rencananya, byurrr!...semuanya akan mendarat mulus di kepala si gadis absurd itu.
Namun mereka lupa satu hal Thalia bukan gadis biasa. Instingnya tajam seperti kucing yang kelamaan di medan perang. Saat baru melangkah tiga meter dari pintu toilet, Thalia tiba-tiba berhenti.
Matanya sempat melirik ke arah pintu dan senyum kecil tersungging di bibirnya.
“Hmm… insting gue bilang, ada hal buruk di balik pintu itu.”
Di saat bersamaan, Thalia melihat Bu Reni, guru BK, berjalan melintas menuju ruangannya.“Ah, timing-nya pas banget,” gumam Thalia sambil melangkah mendekat.
“Permisi, Bu,” sapanya sopan.
“Iya, Thalia? Ada apa?”
“Bu, saya tadi dengar ada murid yang dibully di toilet. Saya khawatir, mungkin bisa Ibu periksa dulu?” ucap Thalia penuh kepolosan.
Bu Reni langsung menatap serius.
“Benarkah?”
“Iya, Bu. Saya denger suara cekikikan, kayaknya ada yang gak beres,” balas Thalia menahan senyum.
Tanpa curiga sedikit pun, Bu Reni berjalan cepat ke arah toilet. Thalia menyingkir beberapa langkah, bersandar di dinding sambil bergumam,
“Insting gue gak pernah salah sih.”
Dan benar saja.
Begitu pintu toilet dibuka lebar…
BYURRR!!!....
Air pel yang bau menyiram kepala Bu Reni dari atas, disusul pluk! kain pel kotor mendarat di bahunya.
“AAAH! SESIL! LENI!!!KENAPA KALIAN SIRAM IBU...” suara Bu Reni menggema menggelegar.
Kedua pelaku spontan membeku. Ember jatuh ke lantai, wajah mereka pucat seperti kapur.
“B-bu… kami...”
“BU RENI!?” pekik Thalia pura-pura kaget sambil menahan tawa di balik tangan.
Bu Reni menatap keduanya dengan mata menyala. “Kalian ke ruang BK SEKARANG!”
Thalia berbalik sambil tersenyum puas. “Next time, pikir dua kali kalau mau ngerjain Thalia.”
Leni dan Sesil masih menatap Thalia dengan wajah sebal, rambut mereka masih basah karena air pel yang memercik dari lantai.
“Awas aja lo, Thalia!” geram Sesil sambil melangkah pergi mengikuti Bu Reni ke ruang BK.
Thalia hanya melipat tangan di dada dan tersenyum sinis. “Iya, iya… awas, jangan sampai kepleset,” sindirnya ringan.
Begitu mereka menghilang di tikungan, Thalia tertawa kecil lalu melangkah ke wastafel. Ia mencuci tangan, merapikan poni, lalu memastikan seragamnya tetap rapi.
“Senjata makan tuan deh tuh..” gumamnya sambil berkaca sebentar sebelum berjalan keluar menuju taman depan sekolah.
Udara siang terasa hangat, aroma bunga kamboja samar tercium. Di bangku taman, Cia dan Sasa sudah menunggunya sambil menggenggam es krim.
“Lia, ayo sini! Ada rasa baru, stroberi keju!” seru Cia.
Thalia langsung duduk di samping mereka, mengambil satu cup, dan menikmati sensasi manis asamnya. “Hmm… ini enak juga,” katanya sambil mengunyah topping.
Mereka bertiga mengobrol ringan tentang kelas, tugas, dan gosip kecil di sekolah. Tapi Cia tiba-tiba bertanya dengan nada menggoda,“Eh, Lia… kamu kan cantik, banyak cowok naksir sama kamu. Kira-kira ada gak cowok yang kamu suka?”
Thalia sempat terdiam. Pandangannya terarah pada langit yang cerah, lalu ia tersenyum tipis.“Mereka itu suka gue karena gue cantik… bukan karena kepribadian gue,” ucapnya datar.
Dalam hati, ia bergumam lirih, ‘Apalagi kalau mereka tahu siapa gue sebenarnya. Pasti kabur duluan.’
Untuk mengalihkan topik, Thalia menatap dua sahabatnya.“Kalo kalian sendiri? Ada yang kalian suka gak?”
Cia langsung protes pelan, “Jangan bahas gue!”
Namun Sasa sudah keburu nyengir. “Cia suka Raka!”
“SSSTT!”....Cia mencubit lengannya malu-malu.
Thalia tertawa kecil. “Terus lo, Sa?”
Sasa mengangkat bahu. “Aku sih suka Rafi. Tapi sadar diri aja, mereka kan anak OSIS, anak teladan, keluarga kaya. Kita mah apalah… remahan rengginang.”
Thalia menatap mereka berdua, senyumnya lembut kali ini.
“Kadang kita gak pernah tahu ke mana takdir bakal bawa kita, Sa, Cia."
Thalia menatap kedua temannya"Kadang kita lupa, yang membuat seseorang istimewa bukan seberapa banyak yang dia punya, tapi seberapa dalam dia mencintai, kalau aku mending nuntun sepedah dengan orang yang tulus, daripada naik mobil mewah dengan orang yang pura-pura"
Keduanya terdiam, lalu tertawa bersama melihat gaya Thalia yang tetap nyeleneh meski kalimatnya bijak.
Namun, tanpa mereka sadari, di balik pohon besar di taman itu, Athar sedang bersandar sambil membaca buku. Sejak tadi telinganya menangkap setiap kalimat yang Thalia ucapkan.
Ia menutup bukunya perlahan dan bergumam pelan, seolah hanya bicara pada dirinya sendiri,“...Apa mungkin lo takdir gue, Lia?”