Masuk ke situs gelap. Cassia Amore nekat menjajakan dirinya demi bisa membiayai pengobatan ibunya. Kenekatan itu membawa Amore bertemu dengan Joel Kenneth pengusaha ternama yang namanya cukup disegani tak hanya bagi sesama pengusaha, namun juga di dunia gelap!
“Apa kau tuli, Amore?” tanya Joel ketika sudah berhadapan langsung tepat dihadapan Cassia. Tangannya lalu meraih dagu Cassia, mengangkat wajah Cassia agar bersitatap langsung dengan matanya yang kini menyorot tajam.
“Bisu!” Joel mengalihkan pandangan sejenak. Lalu sesaat kembali menatap wajah Cassia. Maniknya semakin menyorot tajam, bahkan kini tanpa segan menghentakkan salah satu tungkainya tepat di atas telapak kaki Cassia.
“Akkhhh …. aduh!”  Cassia berteriak.
“Kau fikir aku membelimu hanya untuk diam, hmm? Jika aku bertanya kau wajib jawab. Apalagi sekarang seluruh ragamu adalah milikku, yang itu berarti kau harus menuruti semua perkataanku!” tekan Joel sangat arogan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fakrullah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER—29
Cassia termenung. Pandangannya kosong menembus dinding kaca transparan, memperhatikan lalu-lalang orang di kantin sebelah.
‘Wanita tadi… siapa, ya?’ pikirnya. ‘Pacarnya? Atau selingkuhannya?’
Ia menghela napas pelan. ‘Nggak. Wanita itu pasti pacarnya. Cantik, berkelas, dan kelihatannya hubungan mereka juga sudah serius.’
Namun bayangan saat Joel dan Irene berciuman terus berputar di kepalanya. Adegan itu seperti rekaman yang enggan berhenti. Terlebih lagi, status Irene yang sebenarnya—itulah yang paling mengusik pikirannya.
“Cassy!”
Seruan itu menyentak Cassia dari lamunannya. Ia terkejut, hampir saja menepis tangan Nania yang datang membawa dua cup kopi.
Nania mengerutkan dahi, bingung dengan reaksi sahabatnya. Namun tanpa banyak tanya, ia duduk di samping Cassia.
“Cassy, are you okay?” tanyanya pelan, menatap wajah Cassia yang tampak masih kosong.
Cassia mengangguk pelan. “Ya, aku oke,” ujarnya, meski wajahnya masih menyisakan gurat keterkejutan. Ia menerima cup kopi yang Nania berikan, lalu menunduk sejenak sebelum menarik napas panjang.
“Nggak. Kamu jelas sedang nggak oke.”
Nania menatap Cassia tajam. “Katakan, apa yang kamu pikirkan? Tadi aku lihat kamu melamun. Apa kamu stres dengan posisi barumu sebagai sekretaris Presdir J?”
Cassia menggeleng pelan. “Bukan.”
“Lalu apa?” Nania mencondongkan tubuh. “Jangan bilang ini ada hubungannya dengan Luke?”
Cassia tak menjawab, tapi ekspresinya cukup memberi petunjuk.
“Aah… ayolah, Cassia,” desah Nania dengan nada jengkel. “Sudahi saja hubunganmu dengan pria berengsek itu. Dari dulu aku sudah curiga dia punya hubungan diam-diam dengan Jasmine.”
Cassia menaikkan alisnya. Lagi-lagi, Nania menaruh curiga yang menurutnya tak berdasar pada Luke dan Jasmine.
Ia tahu, hubungan keduanya memang terlihat dekat. Tapi Cassia selalu meyakinkan diri, bahwa semua itu murni karena profesionalitas. Luke adalah wakil direktur pemasaran, sementara Jasmine sekretaris pribadinya.
Jadi, wajar bukan, kalau mereka sering terlihat bersama?
Nania memutar bola matanya, lalu menatap Cassia dengan sorot serius. “Cassy… buka matamu,” katanya tegas. “Hubungan mereka itu bukan seperti yang kamu kira. Itu lebih dari sekadar rekan kerja.”
Nada suaranya terdengar yakin, hampir seperti peringatan. Bukan tanpa alasan—Nania sudah beberapa kali memergoki Luke dan Jasmine bermesraan di tempat yang seharusnya tidak mereka lakukan. Dan menurutnya, hal itu jelas tidak ada hubungannya dengan profesionalitas kerja.
Cassia mengerutkan dahi. Ia kembali menganggap dugaan Nania terlalu berlebihan. Namun sebelum sempat menjawab, suara langkah mendekat memecah suasana.
Joel datang, menatap Cassia singkat sebelum berkata, “Cassia, ikut aku ke ruang penelitian makanan. Aku ingin kita lihat langsung hasil riset terakhir.”
Cassia segera berdiri, sementara Nania hanya menatap dengan tatapan penuh tanda tanya.
Joel berjalan lebih dulu, suaranya terdengar tegas. “Kita harus pastikan rasa rendang instan itu sudah otentik sebelum masuk tahap uji pasar.”
Cassia melangkah mengikuti Joel menyusuri koridor panjang menuju ruang penelitian. Suara sepatu mereka bergema di lantai marmer, menyisakan jeda hening yang terasa aneh di antara keduanya.
Sesekali, Cassia mencuri pandang ke arah punggung Joel yang tegap di depannya. Pria itu tampak tenang seperti biasa, namun sejak kejadian di lobi pagi tadi—saat Joel dan Irene terlihat berciuman—Cassia tak lagi bisa menatapnya tanpa ada sesuatu yang bergetar di dadanya.
Begitu mereka masuk ke ruang penelitian, aroma bumbu dan daging yang dimasak perlahan langsung memenuhi udara. Para staf menyapa sopan, sementara Joel menanggapi dengan anggukan singkat.
Cassia berusaha fokus pada papan data dan catatan hasil uji yang terpampang di dinding, tapi pikirannya terus melayang.
Joel kemudian mendekat ke meja uji. Ia mencicip sedikit saus dari sampel terakhir, lalu menatap Cassia. “Masih terlalu asin,” katanya tenang, tapi matanya sempat menahan tatapan Cassia beberapa detik lebih lama dari seharusnya.
Cassia menelan ludah. “Akan saya sampaikan ke tim, Tuan,” jawabnya datar, mencoba menjaga jarak profesional.
Namun detak jantungnya tak sepenuhnya bisa ia kendalikan.