Namaku Syahnaz Fakhira az-Zahra, berusia delapan belas tahun.
Aku baru saja menyelesaikan pendidikan selama enam tahun di Pondok Pesantren Darfal — sebuah pondok perempuan di salah satu kota di Jawa yang dikenal dengan kedisiplinan dan kedalaman ilmunya.
Selama enam tahun di sana, aku belajar banyak hal; bukan hanya tentang ilmu agama, tetapi juga tentang kehidupan. Aku tumbuh menjadi seseorang yang berusaha menyeimbangkan antara iman dan ilmu, antara agama dan dunia.
Sejak dulu, impianku sederhana namun tinggi — melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo, menuntut ilmu di tanah para ulama. Namun, takdir berkata lain.
Di tahun kelulusanku, ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Dunia seolah runtuh dalam sekejap.
Aku sangat down, tertekan, dan rapuh.
Sejak kepergian ayah, keadaan ekonomi keluarga pun memburuk. Maka, aku memilih pulang ke rumah, menunda impian ke luar negeri, dan bertekad mencari pekerjaan agar bisa membiayai ibuku sekaligus untk kuliah. 
lanjut? 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sepupu yang sangat nyebelin!
Langit sore mulai berwarna jingga, lembut berpadu dengan biru laut yang berkilau diterpa cahaya matahari yang hampir tenggelam. Syahnaz masih duduk di tepi pantai, membiarkan angin laut menerpa wajahnya yang tampak tenang namun penuh beban pikiran.
“Darren,” panggilnya lirih, memecah kesunyian sore itu tanpa menoleh.
“Hmm?” sahut Darren, menatap Syahnaz yang masih menatap langit.
“Kasih aku solusi dong,” ujarnya sambil menopang dagu. “Aku pengin kerja, biar bisa lanjut sekolah sampai ke Kairo.”
Suara Syahnaz terdengar mantap, tapi sorot matanya menyimpan keraguan. “Ya... walaupun itu pasti sulit dengan keadaan sekarang. Setidaknya aku bisa kuliah di dalam negeri aja. Aku nggak mau ngerepotin Ummi. Ummi udah capek jualan kue, nganterin pesanan orang...”
Darren terdiam. Pandangannya jatuh pada Syahnaz, dan entah kenapa ada rasa pilu yang menyesak di dadanya.
“Syahnaz... kamu itu cerdas,” ucap Darren pelan. “Aku yakin kamu bakal gampang dapat kerja. Walaupun bukan di bidang kamu, tapi aku tahu kamu cepat belajar, bisa menyesuaikan diri di mana pun.”
Syahnaz hanya menggumam pelan, sebelum Darren tiba-tiba menepuk dahinya.
“Eh, aku baru inget! Kamu kan suka gambar? Desain baju, iya nggak?” ucapnya semangat.
Syahnaz tersenyum ragu. “Iya sih... insyaa Allaah bisa... dikit.”
“Bagus! Aku punya temen, ibunya itu desainer dan punya butik. Tapi...” Darren menggantung kalimatnya.
“Tapi kenapa?” tanya Syahnaz cepat.
Darren menghela napas panjang. “Tapi butiknya di Jakarta, Syah... jauh.” Ia mengambil kerikil kecil dan melemparkannya ke laut.
Syahnaz tersenyum tipis. “Nggak masalah, yang penting gajinya besar.”
Darren menoleh cepat. “Seriusan? Kamu mau ngerantau ke Jakarta cuma buat kerja di butik? Nggak usah, Syah... jangan.”
“Ya ampun, gimana sih kamu!” Syahnaz mendengus. “Aku butuh uang, Darren! Banyak!” serunya, separuh marah, separuh memohon.
“Tapi Jakarta itu... terlalu bebas,” ucap Darren khawatir. “Aku takut kamu kenapa-kenapa, Syah. Ngerantau sendirian di sana tuh serem.”
Syahnaz mendengus pelan, tapi matanya teduh. “Aku nggak akan kenapa-kenapa. Allaah selalu bersama hamba-Nya yang kesepian. Aku kesepian, berarti Allaah bersamaku. Jadi ngapain takut?”
Darren terdiam. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang menenangkannya, tapi juga membuat dadanya sesak.
“Ya udah, Darren! Tolong, bantu aku, ya?” ucap Syahnaz sambil mendorong bahu Darren pelan.
“Aduh, aduh... iya iya, tapi... nanti aja, setelah aku lulus SMA, ya?”
“Haah? Kelamaan, itu enam bulan lagi!” gerutu Syahnaz dengan wajah manyun.
Darren tertawa kecil. “Yaa gimana lagi. Kalo kamu ngerantau sekarang, kamu sendirian. Tapi kalau nunggu aku lulus, aku kuliah di Jakarta. Kita bisa bareng ke sana, kamu kerja sambil daftar beasiswa. Aman, kan?”
“Tetep aja kelamaan, Ren. Sayang waktunya, enam bulan itu mubazir kalo aku nggak ngapa-ngapain,” ucapnya malas.
“Ya udah, ceramah aja di majelis, kamu kan ustadzah,” ucap Darren santai.
“Darren! Nggak segampang itu. Masa aku tiba-tiba ceramah tanpa diundang? Aneh, tahu!”
Darren terkekeh. “Iya juga sih... Yaudah, yuk pulang. Udah mau Maghrib.”
“Darren! Aku mau kerja, Darren!” rengek Syahnaz masih duduk di pasir.
“Udah, ayo. Perempuan nggak baik duduk sendirian hampir senja gini,” ujar Darren sambil berjalan ke arah motor.
“Ihh Darren! Nyebelin banget sih kamu!” seru Syahnaz kesal, lalu menghentakkan kakinya dan berlari mendahului Darren.
“Ih, lambat banget kamu!” serunya sambil tertawa.
Darren terkekeh. “Awas jatuh, liat depan!”
Dan benar saja—
Brukk!
“Aduh! Darren!” rengek Syahnaz sambil meringis.
Darren menahan tawa sambil berlari ke arahnya. “Nah kan, udah gue bilang juga apa.”
“Sakit, Darren! Aduuuh!” jerit Syahnaz sambil meringis saat mencoba menggerakkan kakinya.
“Iya iya, sini... kakinya,” ucap Darren cepat sambil berjongkok di depannya, lalu melepas sepatu Syahnaz dengan hati-hati.
“Pelan-pelan dong!” protes Syahnaz dengan wajah menahan sakit.
“Iya, iya, tenang... hmm—keseleo ini. Waduh, nggak bisa jalan pulang deh kamu, Syahnaz,” ucap Darren sambil memijat perlahan pergelangan kaki Syahnaz yang masih berkaos kaki.
Syahnaz mendengus pelan. “Jangan gitu donk... gimana ini ya Allah,” ucapnya cemberut sambil menatap laut yang mulai gelap.
Darren terdiam sejenak, lalu berjongkok membelakangi Syahnaz. “Naik,” ucapnya pelan.
“Hah?” Syahnaz mengerutkan dahi. “Ngapain?”
“Naiklah, ke punggung gue. Gue gendong,” jawab Darren datar.
Syahnaz langsung gelagapan. “Hah? Enggak, nggak usah! Aku bisa sendiri kok!”
“Yakin?” Darren menoleh sedikit. “Kalau nggak mau, ya udah, gue pulang aja. Lu kan nggak bisa bawa motor pake kaki yang keseleo.” Ia berdiri seolah benar-benar mau pergi.
“Ehh Darren!!” panggil Syahnaz kesal. “Yaudah, yaudah... males banget aku kalo gini ahh! ” gumamnya, akhirnya menyerah.
“Ayo sini,” ucap Darren sambil kembali membungkuk di depannya.
“Tapi... motornya gimana?” tanya Syahnaz ragu.
“Motor gue tinggal aja, nanti temen gue jagain. Tuh, dia dateng.” Darren menunjuk ke arah seorang cowok yang berjalan mendekat. Ia lalu melemparkan kunci motornya.
“Hay bro!” sapa Darren. “Nitip motor dulu, ya?”
“Siap, boskuuuh!” sahut Reza sambil tertawa.
Syahnaz cuma melongo, heran campur malu.
“Udah, naik. Keburu adzan nanti,” ucap Darren dengan nada tegas namun lembut.
Syahnaz menelan ludah, lalu perlahan naik ke punggung Darren. “Aduh... berat nggak?” tanyanya pelan.
Darren terkekeh. “Yang berat tuh perasaan gue, bukan kamu.”
“Apaan sih! gaje” seru Syahnaz refleks, mukanya langsung merah.
Syahnaz masih di atas punggung Darren, memegangi bahunya erat-erat. “Pelan-pelan ya, Ren, nanti jatoh,” ucapnya dengan wajah tegang.
“Tenang aja, Syah. Gue kuat. Lu tuh enteng banget, sumpah,” jawab Darren santai sambil nyengir.
“Ih, mentang mentang kuat luu...ah! Jijik,” sahut Syahnaz sewot, tapi bibirnya menahan tawa.
Darren cuma terkekeh kecil, menurunkan Syahnaz perlahan di dekat motornya.
“Ayo, naik. Gue yang bawa, lo pegang yang kenceng biar nggak jatoh lagi,” ucap Darren menstarter motor milik Syahnaz.
Sepanjang jalan, Syahnaz terdiam. Angin sore berhembus pelan, menyibak ujung kerudungnya yang berwarna coklat tua. Langit jingga menambah suasana hangat, sementara Darren di depan hanya fokus ke jalan tapi tak bisa menahan senyum kecil tiap kali mendengar Syahnaz mendengus pelan.
“Ren,” panggil Syahnaz pelan.
“Hm?”
“Makasi ya… udah nolongin,” ucapnya singkat, sambil tersenyum memperlihatkan lesung pipinya yg manis.
Darren cuma menoleh sebentar, lalu nyengir. “Iyalah. Kalo bukan gue, siapa lagi yang sabar ngadepin bocah kayak lo?”
“Ih! Ngeselin banget,” sahut Syahnaz, tapi kali ini sambil tertawa kecil.
Tak lama, motor berhenti di depan rumah Syahnaz. Di teras, terlihat Ummi Ikrimah sudah berdiri dengan wajah cemas.
“MasyaAllah, Syahnaz! Kaki kamu kenapa?!” seru Ummi langsung menghampiri.
“Hehe, jatuh dikit, Mi. Nggak apa-apa kok,” ucap Syahnaz berusaha santai.
Darren ikut menurunkan tas kecil milik Syahnaz dari motor. “Maaf ya, Tante, tadi Syahnaz kesandung batu waktu di pinggir pantai. Udah Darren urus, cuma keseleo dikit aja kok,” jelasnya sopan.
Ummi Ikrimah menghela napas panjang. “Astaghfirullah, emang nya anak ini kalo jalan nggak liat liat. Untung kamu ada, Darren. Kalau nggak, entah gimana bocah ini.”
“Ah, Ummi lebay banget,” sela Syahnaz, cemberut kecil. “Tadi aku cuma—”
“Udah-udah, masuk sana. Nanti Ummi ambilin minyak urut,” potong Ummi sambil mengibaskan tangannya.
“Iya, Tante, Darren pamit dulu ya,ntar malem Darren kesini lagi....assalamu'alaikum” ucap Darren sambil tersenyum sopan.
“iya Darren. waalaaikum salam,” balas Ummi.
Begitu Darren berbalik, Syahnaz berbisik kesal, “Tuh kan, gara-gara kamu aku diceramahin lagi.”
Darren menoleh dan menyeringai. “Loh? Gue yang nolong malah disalahin?”
“Ih, dasar ngeselin banget sih kamu, Ren!” gerutu Syahnaz sambil menghentakkan kaki—dan langsung meringis kesakitan.
Darren tertawa lepas. “Tuh kan, sakit lagi. Yaudah, istirahat sana. Gue pulang dulu, bocah ceroboh!”
“Iya, iya… sana sana pulang,” ucap Syahnaz pelan, sambil terkekeh.
Darren melangkah ke arah rumahnya yang hanya berjarak beberapa meter. “Besok kalo mau jatoh, jatohnya deket gue aja biar aman!” teriaknya sebelum masuk ke halaman rumah.
Syahnaz mendengus keras. “Ihhh, dasar bocah ngeselin!” Tapi bibirnya justru membentuk senyum kecil, tanpa sadar.
Langit mulai gelap. Suara adzan Maghrib pun terdengar lembut dari kejauhan.
untuk desain Visualnya bagus membuat para pembaca bisa masuk ke alurnya.
Salam literasi.
sambil baca sambil mikir berarti lulus SMAnya umur 17th.