📌 Pembuka (Disclaimer)
Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mendapatkan Hatinya
Malam pun tiba, membungkus Gedung Militaryum di Jakarta Pusat dengan kegelapan yang pekat, hanya diterangi lampu jalan yang samar dan suara lalu lintas yang mulai mereda. Rom berdiri di parkiran belakang, tas olahraganya di bahu, tubuhnya masih lelah setelah hari penuh pelatihan simulator heli. Ia lirik arloji di pergelangannya—jarumnya menunjuk pukul 20:15, seperti saksi bisu bahwa hari ini terlalu panjang, tapi janji tadi sore dengan Elesa membuatnya gelisah. "Sial, apa dia beneran nunggu? Atau cuma main-main?" gumamnya dalam hati, tangan meraih kunci motor sportnya.
Tiba-tiba, dari arah belakang, seseorang tepuk punggung Rom pelan—sentuhan ringan tapi familiar, bikin ia tersentak. Rom menoleh cepat, mata melebar kaget. Ternyata Elesa, berdiri di situ dengan senyum manja, rambutnya tertutup jilbab rapi, tas kecil di tangan seperti siap jalan-jalan. "Gimana? Jadi ga keluar? Jangan lupa, kamu janji tempat spesial loh?" katanya, suara genit tapi tegas, mata berbinar di bawah cahaya lampu parkir.
Rom meringis, gelengkan kepala pelan sambil garuk tengkuk—grogi campur kaget. "Emang kamu beneran mau? Ku kira kamu cuma bercanda tadi sore?"
Elesa cipratin mata, tangannya naik ke pinggul seperti lagi protes lucu. "Ihhh, kan kamu yang ajak kak! Kamu juga yang janji mau bayarin. Masak ga jadi? Aku udah berharap loh!"
Rom tertawa kecil, bahunya merosot lega. "Okelah, ayo. Maunya di mana? Makan apa? Minum apa?"
Elesa angkat bahu pelan, senyumnya melebar—tatapannya hangat, seperti lagi ajak main rahasia. "Terserah, terserah kamu. Aku ngikut kamu aja... minum kayak kemarin?"
Rom gelengkan kepala cepat, mata menyipit bercanda. "Jangan lah. Nanti kalo kamu teler, aku yang repot. Masalahnya bukan telernya yang repot, nanti aku dituduh yang enggak-enggak lagi yang ada!"
Elesa terkekeh, tangannya nepuk lengan Rom pelan—sentuhan yang bikin Rom tersentak tipis. "Halah alesan. Memang nyatanya kamu suka aneh-aneh. Udah gausah dipikir, orang udah jelas aku gak akan percaya kamu. Aku bakal tetep curiga kalo deket sama orang kayak kamu...!!!!"
Rom pura-pura takut, tangan naik ke dada seperti lagi lindungi diri. "Tuh kan, aku ngerasa di ancam nih. Takut...!!!!"
Elesa terkekeh lebih lepas, suaranya ringan seperti angin malam. "Hihh, manja kayak cewek omongan kamu kak... Gausah repot lah. Cepet ayo, aku nanti kalo udah mabuk berhenti. Kamu yang habisin deh, biar kamu ga bisa macem-macem."
Rom angguk tegas, senyum miring. "Deal! Ayok ke tempat kemarin kan?" Mereka berjalan bareng ke parkiran, langkah selaras seperti pasangan lama. "Pake mobilmu kan, Ell?"
Elesa gelengkan kepala, mata berbinar excited. "Pake motor mu aja kak. Kan keren, aku belum pernah dibonceng pake motor sport."
Rom ragu sebentar, lirik motornya yang hitam mengkilap. "Mobilmu aja. Ga enak kalo dilihat temen-temen, takut pada mikir kita jadian."
Elesa kasih kunci mobilnya ke Rom, senyum harap-harap cemas. "Emang kenapa kak kalo temen ngira kita jadian?"
Rom ambil kunci, wajahnya memerah tipis di bawah cahaya lampu. "Takutnya aku baper, padahal bukan... maksud aku, belum jadian."
Elesa terkikik, masuk ke kursi penumpang dengan gerakan lincah. "Hihi, cepet kak. Aku nunggu!"
Rom duduk di kursi pengemudi, nyalakan mesin—suara mobil meraung pelan, seperti awal petualangan. Ia lirik arloji lagi: 20:25, waktu yang pas buat malam panjang. Mereka berangkat, keluar gerbang Militaryum ke jalan raya yang ramai.
Di gerbang, nunggu antrean keramaian jalan, Elesa lirik Rom manja. "Jangan tempat kemarin ya. Tapi kamu yang pilih tempat."
Rom angguk, tangan di setir tegang tapi excited. "Big Star Platinum, kita ke sana aja. Misal kau mabuk berat, ga pulang gapapa kalo ruang VIP." Ia tekan pedal gas pelan, mobil meluncur ke lalu lintas malam.
Elesa mata melebar, suara penuh penasaran. "Ruang pribadi ya? Trus kita di sana sampe besok? Aku mau di apain?"
Rom tertawa kecil, lirik sekilas ke Elesa—wajahnya cantik di cahaya dashboard. "Kalo kamu teler gimana? Daripada kamu ku bawa pulang lagi kan?"
Elesa angguk pelan, tangannya menyentuh lengan Rom lagi—sentuhan hangat yang bikin detak arloji terasa lebih cepat. "Iya juga. Tapi janji ya, kak—jaga batas. Kita minum santai aja, ngobrol lagi soal heli mu. Aku penasaran, gimana rasanya terbang malam-malam?"
Rom senyum, mata ke jalan depan. "Santai banget, Ell. Kayak arloji ini—detaknya stabil, tapi kadang bikin deg-degan. Sama kayak sekarang, bareng kamu." Mobil terus maju, ke pinggiran Jakarta, menuju Big Star Platinum—sebuah club malam mewah di kawasan elit, dengan lampu neon biru yang menyambut dari kejauhan. Udara di mobil tebal oleh keakraban yang makin dalam, percakapan mengalir dari cerita konyol Juliar tadi sore ke rencana besok pagi. Elesa cerita soal instruksi strategi yang bikin dia galak, Rom balas dengan frustrasi komando udara yang bikin dia belajar cepat. "Kamu hebat, Ell—selalu tepat waktu, kayak arloji ku ini," kata Rom, tangannya geser ke tangan Elesa sekilas.
Elesa kikih, pegang tangan itu lebih lama. "Dan kamu, kak—penuh kejutan. Malam ini spesial banget." Mobil parkir di depan club, musik samar terdengar dari dalam, dan mereka turun bareng—tangan Elesa di lengan Rom, seperti awal malam yang penuh kemungkinan, dengan arloji yang berdetak sebagai saksi bisu.
Big Star Platinum berdiri megah di pinggiran Jakarta, gedung tinggi dengan lampu neon biru yang berkedip seperti denyut nadi malam, menyambut pengunjung dengan aroma parfum campur alkohol yang pekat. Rom langsung menuju resepsionis di lobi depan—meja kayu hitam mengkilap yang sekaligus jadi kasir, di belakangnya bartender muda dengan senyum bisnis. "Ruang privat, untuk dua orang. Yang atas kalau bisa," kata Rom pelan, tangannya merogoh dompet sambil lirik Elesa yang nunggu di belakang, wajahnya sudah memerah karena excited dan mungkin sedikit gugup.
Petugas resepsionis ketik cepat di komputer, alisnya berkerut. "Maaf, Pak. Ruang 40 ke atas penuh malam ini—party besar di rooftop. Yang tersisa ruang 31 di lantai 3. Privat, lengkap dengan matras dan kursi, minibar pribadi. 2 juta untuk semalam, termasuk minum dasar."
Rom menghela napas pelan, lirik arloji di pergelangannya—jarumnya berdetak pelan, seperti ejekan halus atas rencana yang nggak sempurna. Ia ingat janji "tempat spesial", tapi ruang 31 harus cukup. "Oke, deal." Ia bayar cash, ambil kunci elektronik—bentuk kartu silver dengan nomor 31 terukir. Elesa deketin, tangannya pegang lengan Rom pelan, senyumnya hangat. "Ga apa, kak. Yang penting berdua," bisiknya, napasnya sudah berbau mint dari permen tadi.
Mereka naik lift ke lantai 3, koridor redup dengan karpet tebal yang meredam langkah. Ruang 31 di ujung, pintu kayu gelap dengan lampu kecil di atasnya. Elesa kunci pintu dari dalam setelah masuk—klik pelan yang bikin ruangan terasa lebih intim. Udara di dalam gerah, AC belum nyala penuh, campur aroma vanila dari lilin elektrik di meja. Minibar penuh botol-botol menggoda: vodka, wine, mixer—dan mereka langsung mulai, gelas demi gelas, obrolan mengalir dari cerita konyol Juliar tadi sore ke rahasia kecil Elesa soal mimpi jadi instruktur penuh.
Mabuk malam ini benar-benar berat, lebih dari kemarin—vodka campur soda bikin kepala Elesa berputar, wajahnya memerah seperti apel matang, tawa semakin lepas. "Gerah banget nih," gumamnya, tangannya naik ke kerudung—lepas pelan, rambut hitam panjangnya terurai seperti air terjun malam, bau shampoo bercampur keringat tipis. Rom tersentak, mata melebar sekilas—cantiknya Elesa tanpa kerudung seperti rahasia yang baru terbuka, tapi ia cepat alihkan pandang ke arloji, jarumnya berdetak seperti peringatan. Elesa tegas langsung, suaranya tegas meski goyah mabuk: "Rom... jangan ambil kesempatan ya. Lebih dari lihat aku tanpa kerudung ini—janji. Kita jaga batas, seperti tadi sore bilang."
Rom angguk cepat, tangannya angkat seperti sumpah. "Janji, Ell. Aku di sini cuma buat jagain kamu. Ga lebih." Hatinya berdegup kencang, tapi ia pegang kata-kata itu—arloji di tangannya terasa lebih berat, saksi bisu janji malam ini.
Elesa rebahan di matras tebal di pojok ruangan—lembut seperti kasur hotel, selimut tipis di atasnya. Ia tutup mata pelan, napasnya mulai pelan, mabuk bikin tubuhnya lemas. Rom atur tiga kursi empuk yang ada—pepetkan jadi semacam tempat tidur darurat, bantal dari jaketnya sendiri. Ia duduk di situ, punggung bersandar dinding, mata lirik Elesa yang sudah mulai terlelap—rambutnya menjuntai, wajah damai tapi masih memerah. "Tidur nyenyak ya," gumam Rom pelan, tangannya meraba arloji lagi, jarum berdetak seperti lagu pengantar tidur. Malam masih panjang, tapi janji itu pegangan—meski godaan mengintip di kegelapan ruang 31.
Big Star Platinum berdiri megah di pinggiran Jakarta, gedung tinggi dengan lampu neon biru yang berkedip seperti denyut nadi malam, menyambut pengunjung dengan aroma parfum campur alkohol yang pekat. Rom langsung menuju resepsionis di lobi depan—meja kayu hitam mengkilap yang sekaligus jadi kasir, di belakangnya bartender muda dengan senyum bisnis. "Ruang privat, untuk dua orang. Yang atas kalau bisa," kata Rom pelan, tangannya merogoh dompet sambil lirik Elesa yang nunggu di belakang, wajahnya sudah memerah karena excited dan mungkin sedikit gugup.
Petugas resepsionis ketik cepat di komputer, alisnya berkerut. "Maaf, Pak. Ruang 40 ke atas penuh malam ini—party besar di rooftop. Yang tersisa ruang 31 di lantai 3. Privat, lengkap dengan matras dan kursi, minibar pribadi. 2 juta untuk semalam, termasuk minum dasar."
Rom menghela napas pelan, lirik arloji di pergelangannya—jarumnya berdetak pelan, seperti ejekan halus atas rencana yang nggak sempurna. Ia ingat janji "tempat spesial", tapi ruang 31 harus cukup. "Oke, deal." Ia bayar cash, ambil kunci elektronik—bentuk kartu silver dengan nomor 31 terukir. Elesa deketin, tangannya pegang lengan Rom pelan, senyumnya hangat. "Ga apa, kak. Yang penting berdua," bisiknya, napasnya sudah berbau mint dari permen tadi.
Mereka naik lift ke lantai 3, koridor redup dengan karpet tebal yang meredam langkah. Ruang 31 di ujung, pintu kayu gelap dengan lampu kecil di atasnya. Elesa kunci pintu dari dalam setelah masuk—klik pelan yang bikin ruangan terasa lebih intim. Udara di dalam gerah, AC belum nyala penuh, campur aroma vanila dari lilin elektrik di meja. Minibar penuh botol-botol menggoda: vodka, wine, mixer—dan mereka langsung mulai, gelas demi gelas, obrolan mengalir dari cerita konyol Juliar tadi sore ke rahasia kecil Elesa soal mimpi jadi instruktur penuh.
Mabuk malam ini benar-benar berat, lebih dari kemarin—vodka campur soda bikin kepala Elesa berputar, wajahnya memerah seperti apel matang, tawa semakin lepas. "Gerah banget nih," gumamnya, tangannya naik ke kerudung—lepas pelan, rambut hitam panjangnya terurai seperti air terjun malam, bau shampoo bercampur keringat tipis. Rom tersentak, mata melebar sekilas—cantiknya Elesa tanpa kerudung seperti rahasia yang baru terbuka, tapi ia cepat alihkan pandang ke arloji, jarumnya berdetak seperti peringatan. Elesa tegas langsung, suaranya tegas meski goyah mabuk: "Rom... jangan ambil kesempatan ya. Lebih dari lihat aku tanpa kerudung ini—janji. Kita jaga batas, seperti tadi sore bilang."
Rom angguk cepat, tangannya angkat seperti sumpah. "Janji, Ell. Aku di sini cuma buat jagain kamu. Ga lebih." Hatinya berdegup kencang, tapi ia pegang kata-kata itu—arloji di tangannya terasa lebih berat, saksi bisu janji malam ini.
Elesa rebahan di matras tebal di pojok ruangan—lembut seperti kasur hotel, selimut tipis di atasnya. Ia tutup mata pelan, napasnya mulai pelan, mabuk bikin tubuhnya lemas. Rom atur tiga kursi empuk yang ada—pepetkan jadi semacam tempat tidur darurat, bantal dari jaketnya sendiri. Ia duduk di situ, punggung bersandar dinding, mata lirik Elesa yang sudah mulai terlelap—rambutnya menjuntai, wajah damai tapi masih memerah. "Tidur nyenyak ya," gumam Rom pelan, tangannya meraba arloji lagi, jarum berdetak seperti lagu pengantar tidur. Malam masih panjang, tapi janji itu pegangan—meski godaan mengintip di kegelapan ruang 31.