Luna Maharani.
Nama yang sudah lama tidak ia dengar. Nama yang dulu sempat jadi alasan pertengkaran pertama mereka sebelum menikah. Mantan kekasih Bayu semasa kuliah — perempuan yang dulu katanya sudah “benar-benar dilupakan”.
Tangan Annisa gemetar. Ia tidak berniat membaca, tapi matanya terlalu cepat menangkap potongan pesan itu sebelum layar padam.
“Terima kasih udah sempat mampir kemarin. Rasanya seperti dulu lagi.”
Waktu berhenti. Suara jam dinding terasa begitu keras di telinganya.
“Mampir…?” gumamnya. Ia menatap pintu yang baru saja ditutup Bayu beberapa menit lalu. Napasnya menjadi pendek.
Ia ingin marah. Tapi lebih dari itu, ia merasa hampa. Seolah seluruh tenaganya tersedot habis hanya karena satu nama.
Luna.
Ia tahu nama itu tidak akan pernah benar-benar hilang dari hidup Bayu, tapi ia tidak menyangka akan kembali secepat ini.
Dan yang paling menyakitkan—Bayu tidak pernah bercerita.
Akankah Anisa sanggup bertahan dengan suami yang belum usai dengan masa lalu nya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Call Me Nunna_Re, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29
Siang itu, Ratna datang ke apartemen putranya dengan hati girang. Ia membawa rantang makanan, berharap bisa makan bersama menantunya, Anisa, yang sudah lama tidak ia temui sejak hari pernikahan mereka.
"Semoga Saja Nisa suka masakan buatan ku " guman Ratna.
Namun alangkah terkejutnya Ratna saat pintu apartemen dibuka oleh seorang perempuan berpakaian ketat, beraroma parfum menyengat, Luna.
Ratna tertegun sejenak.
Matanya menyipit, napasnya tertahan.
“Kamu… Luna?” ucap Ratna perlahan, nadanya dingin tapi tajam.
“Kenapa kamu yang buka pintu ini? Mana Anisa?!”
Luna hanya menyandarkan tubuh di ambang pintu, menyilangkan tangan dengan wajah sinis.
“Oh, jadi tante nggak dikasih tahu, ya?”
“Anisa udah pergi, tan. Udah nggak betah tinggal bareng Mas Bima. Lagian, yang pantas di sini tuh aku, bukan dia. Ngapain juga gadis panti asuhan itu tante restui buat jadi istri mas Bima. Gak pantas banget.”
Kata-kata itu diucapkan Luna dengan santai, tapi menusuk seperti pisau ke dada Ratna.
“Apa maksud kamu?!” Ratna meninggikan suara, langkahnya maju ke dalam apartemen. “Anisa itu istri sah Bima! Kamu perempuan yang nggak tahu malu! Pasti kamu yang udah bikin Nisa pergi."
Luna tersenyum miring, menatap Ratna dari ujung kepala sampai kaki.
“Istri sah? Sah di mana, Tan? Di atas kertas aja. Nyatanya, dia nggak bisa bikin Mas Bima bahagia. Aku yang selalu nemenin Mas Bima, aku yang selalu di sini. Jadi… berhenti bela dia.”
Ratna membulatkan mata, tubuhnya bergetar karena marah.
“Kamu perempuan tidak tahu diri! Kamu pikir saya akan restui kalau kamu sama anak saya? Tidak akan pernah! Kamu itu gadis liar, Luna!”
"Liar?, haha.... Liar-Liar gini anak tante tergila-gila loh sama saya. Apa karena saya Liar di ranjang ya makanya dia...."
Plak...
Tangan Ratna melayang, menampar pipi Luna keras hingga kepala Luna terputar ke samping. Suara tamparan itu menggema di lorong Apartemen yang sunyi.
Namun bukannya sadar diri, Luna justru tertawa pelan, sinis dan menantang.
“Berani banget, ya tante nampar saya? Cuma karena udah tua bukan berarti bisa seenaknya. Jangan sok suci deh!”
Dalam sekejap Luna mendorong tubuh Ratna dengan kasar. Ratna yang tidak siap kehilangan keseimbangan dan jatuh menghantam lantai. Pinggangnya langsung terasa nyeri luar biasa.
“Aduh…!” Ratna meringis, tangannya memegang pinggang sambil berusaha bangkit,"Pinggang ku.." ringis Ratna.
Tapi Luna hanya berdiri, menatapnya dari atas dengan pandangan meremehkan.
“Tuh, kan Jatoh, tante sih ngeyel. Aku nggak sengaja ya tan, tante jatuh sendiri. Makanya tante harusnya hati-hati kalau jalan. Oh iya..Apartemen ini sekarang bukan cuma punya Mas Bima doang. Aku juga ada di sini. Bahkan waktu menantu kesayangan tante ada disini juga, saya jadiin babu.”
"Apa kamu bilang?, keterlaluan kamu. Inilah kenapa saya gak pernah suka sama kamu. Kamu tidak pantas menjadi menantu saya sampai kapan pun."
Ratna menatap Luna dengan mata yang berair, bukan karena sakit semata, tapi karena rasa kecewa dan malu yang teramat dalam.
Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya dan menekan nomor suaminya.
"M-Mas, jemput aku sekarang juga… di apartemen Bima. Aku nggak kuat lihat perempuan itu di sini, Dia dorong aku. Pinggang aku sakit mas.” suara Ratna parau, penuh amarah dan tangis yang tertahan.
Beberapa menit kemudian, Amar, ayah Bima, datang dengan wajah tegang. Ia langsung menghampiri istrinya yang sedang duduk di lantai dengan tubuh sedikit gemetar.
“Sayang! Ya Tuhan, kamu kenapa?!”
Ratna hanya menunjuk ke arah Luna yang berdiri santai di ambang pintu, menatap mereka dengan tatapan menantang.
“Perempuan itu, Mas… dia dorong aku. Dia tinggal di sini… dan bilang Anisa udah pergi!”
Amar menatap Luna dengan sorot mata yang dingin dan penuh amarah.
“Kamu yang dorong istri saya?”
Luna tersenyum miring.
“Nggak sengaja, Om. Lagian, tante yang mulai duluan, tante yang duluan hina dan nampar saya.”
“Kurang ajar kamu! Dimana rasa hormat kamu. Beraninya kamu menyakiti istri saya." bentak Amar keras, membuat Luna sempat tersentak.
"Dia ternyata tinggal di sini masih lama timah sudah menikah dengan Anisa, bahkan perempuan liar ini menjadikan menantu kita sebagai bakunya. Aku yakin pasti dia juga yang udah membuat menantu kita pergi dari sini."
"Bima benar-benar sudah keterlaluan, jadi ya sudah mempermainkan pernikahan dan menipu kita."
Namun bukannya menyesal, Luna justru memutar bola matanya dan menatap mereka sinis.
“Ya udah deh, terserah mau bilang apa. Tapi yang jelas, Mas Bima cuma sayang sama aku Bukan sama Anisa.”
Ratna menatap Luna dengan mata berkaca-kaca, suaranya bergetar saat berkata,
“Tiga tahun kamu pacaran sama Bima, kami nggak pernah setuju. Dan setelah melihat kelakuan kamu hari ini, Saya tahu… Ternyata keputusan kami benar.”
Amar segera membantu Ratna berdiri dan membawanya pergi. Tapi sebelum keluar, Ratna menatap Luna untuk terakhir kalinya dengan mata yang penuh luka dan amarah.
“Kamu boleh menang hari ini, Luna… tapi ingat, Tuhan nggak pernah tidur. Suatu hari kamu akan merasakan apa yang Anisa rasakan.”
Pintu apartemen menutup keras di belakang mereka, meninggalkan Luna yang masih berdiri dengan wajah penuh kesombongan. Ia tersenyum tipis, menatap ke arah pintu.
“Silakan aja ngomong apa pun, tan. Aku tetep yang paling dicintai sama Mas Bima.”
"sebaiknya kamu bersiap untuk pergi dari Apartemen ini, karena asal kamu tahu Apartemen ini atas nama istri saya dan itu artinya Apartemen ini adalah milik saya belum ada hak milik atas nama Bima. dan mulai hari ini apartemen ini akan saya ambil kembali dari Bima penyebab dengan semua fasilitasnya. Saya ingin lihat saudara Bima tidak memiliki apa-apa apakah perempuan seperti kamu masih bertahan di sisinya atau justru malah meninggalkannya."
"A-Apa maksud om?."wajah Luna memucat.
"Sepertinya Bima tidak memberitahu kamu bahwa semua aset masih ada nama saya dan istri dan satupun belum ada yang atas nama Bima. dengan melihat kelakuan Bima yang seperti ini kami lebih baik memberikan semua harta kami ke yayasan daripada ke orang yang jelas jelas sudah menipu orang tuanya, dan mempermainkan pernikahan hanya demi perempuan seperti kamu. Dan asal kamu tahu saya tahu dari mana asal usul kamu, ibu kamu hanyalah seorang jalang dan mungkin dia sendiri tidak tahu siapa ayah kamu sebenarnya.
"A-apa?." ucap Luna terkejut dan tidak percaya.
Amar dan Ratna meninggalkan Luna yang masih berdiri mematung.
Namun jauh di dalam hatinya, entah kenapa ada sedikit rasa takut karena untuk pertama kalinya, ia melihat kebencian nyata di mata kedua orang tua Bima.
minta balikan habis ini yahhh lagu lama