NovelToon NovelToon
JEDA

JEDA

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / CEO / Romansa
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Wiji

Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.

Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

35

Beberapa hari terakhir terasa berbeda. Tidak ada suara lift, tidak ada dering notifikasi dari tetangga apartemen yang dulu sering lewat di depan pintu. Yang terdengar kini hanya ayam dari kejauhan, deru motor sesekali lewat, dan suara anak kecil yang berlarian di ujung gang.

Kayla berdiri di teras rumah barunya, rumah minimalis dengan pagar besi hitam dan taman mungil di depan. Udara terasa lebih segar, tapi juga sedikit asing. Ia belum terbiasa menyapa tetangga yang lewat sambil membawa sayur atau menyapu halaman. Bukan karena sombong, tapi karena rasanya… sudah lama sekali ia tidak perlu membuka diri pada dunia luar.

Rumah ini tenang, tapi terlalu tenang. Kayla menatap sekeliling ruang tamu yang masih setengah tertata. Kardus-kardus sebagian sudah dibuka, beberapa perabot masih terbungkus plastik.

Davin sempat datang dua hari lalu membantu memasang rak dan memindahkan pot bunga ke halaman belakang. Setelah itu, ia lebih sering hanya mengirim pesan singkat, memastikan Kayla makan tepat waktu atau sekadar menanyakan apakah rumahnya sudah nyaman.

Kayla duduk di lantai, menyandarkan punggung pada dinding, memperhatikan cahaya matahari yang jatuh di lantai keramik. Ada rasa lega, tapi juga aneh, seperti seseorang yang akhirnya keluar dari ruangan gelap, hanya untuk sadar bahwa cahaya pun bisa menyilaukan.

Ia menarik napas dalam-dalam dan tersenyum tipis.

"Bukan pilihan yang buruk ternyata tinggal di sini. Ya, meskipun terasa sangat asing dan sendiri."

Kayla melirik jam di dinding, sudah hampir pukul tujuh. Ia berdiri, merapikan rambut yang agak kusut, lalu menuju dapur untuk membuat teh hangat. Asap tipis naik dari cangkir, memenuhi ruang dengan aroma hangat yang menenangkan.

Sambil menunggu air panasnya sedikit mendingin, ponselnya bergetar di atas meja. Satu pesan masuk.

[Jangan lupa sarapan, ya. Kerja jangan terlalu keras.]

Kayla terpaku beberapa detik. Pesan itu sederhana, tapi terasa… berbeda. Ia membaca ulang, seolah memastikan tak salah lihat.

Davin bukan tipe yang ringan tangan dalam hal perhatian. Dulu, kalaupun ia menanyakan kabar, selalu dengan nada datar, seperti kewajiban sosial. Tapi sekarang, ada sesuatu di antara huruf-huruf itu.

Ia menatap permukaan teh yang bergoyang pelan.

"Kenapa kamu bisa tahu kalimat sesederhana ini bisa bikin aku berhenti berpikir sebentar, Davin?" gumamnya lirih.

Ia mengetik balasan singkat.

[Iya, makasih. Kamu juga, jangan lupa sarapan.]

Tapi sebelum menekan kirim, ia menatap layar cukup lama… lalu menghapusnya perlahan. Mungkin tidak perlu. Biarlah perhatian kecil itu tetap menggantung di udara, tanpa balasan.

Kayla meneguk tehnya, menaruh cangkir di wastafel, lalu mengambil tas kerja. Hari ini ia akan berangkat sedikit lebih awal. Masih ada jalan baru yang harus diingat, dan lingkungan yang harus dipelajari.

Udara pagi terasa segar saat ia menutup pagar. Suara burung di pepohonan, ibu-ibu yang menjemur pakaian, anak kecil memanggil ibunya dari kejauhan, semua terasa asing, tapi tidak menakutkan.

Kayla berjalan perlahan ke jalan raya. Udara pagi menyapa kulitnya, dingin tapi tidak menusuk. Beberapa warung sudah buka, aroma gorengan dan nasi uduk bercampur dengan wangi tanah yang lembap. Suasana yang dulu mungkin tak pernah ia perhatikan kini terasa hidup di matanya.

Ia berhenti di bawah pohon besar di tepi jalan, membuka aplikasi ojek online. Sementara menunggu, matanya menangkap seorang ibu muda sedang menyiapkan dagangan, dan dua anak sekolah yang berlarian sambil tertawa. Ada kehidupan di sana. Ramai, sederhana, nyata. Untuk sesaat, dadanya terasa hangat.

Sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya.

[Driver sudah dekat, 2 menit lagi sampai.]

Ia tersenyum tipis, lalu menyelipkan ponsel ke tas. Namun sebelum ia sempat melangkah, pandangannya sempat tertuju pada satu mobil yang melintas pelan di ujung jalan.

Kayla mengernyit, mencoba memastikan, tapi mobil itu sudah keburu berbelok di tikungan. Ia menggeleng pelan.

"Ah, mungkin cuma mirip," gumamnya.

Ojeknya tiba, dan ia pun naik. Dalam perjalanan menuju kantor, angin pagi menampar lembut wajahnya. Jalan-jalan yang asing, bangunan yang belum dikenalnya, semua seperti menyambut seseorang yang siap memulai bab baru.

Kayla memejamkan mata sejenak, membiarkan pikirannya kosong.

Entah untuk pertama kalinya, atau justru untuk kesekian kali, ia sadar…

mungkin, tenang itu bukan berarti berhenti, tapi akhirnya berani melangkah lagi.

***

Nathan menarik napas panjang di depan pintu unit 08-07. Tangannya sudah beberapa kali terulur untuk mengetuk, tapi selalu ragu.

Entah dorongan apa yang membawanya ke sini hari ini. Mungkin rasa bersalah yang tak bisa lagi ia tahan, atau hanya harapan kecil bahwa Kayla belum benar-benar pergi.

Beberapa minggu terakhir ia sengaja menjauh. Ia butuh waktu menenangkan diri, mencerna semuanya. Ia pikir, memberi ruang pada Kayla dan dirinya sendiri adalah bentuk paling dewasa dari menyesal. Tidak dengan datang dan memohon, tapi dengan berdiam, berharap waktu bisa memperbaiki yang ia rusak.

Namun pagi ini, keyakinan itu hancur begitu saja.Karena di depan matanya, pintu itu seakan tak lagi sama.

Tidak ada keset abu-abu bertulisan home sweet home. Tidak ada aroma sabun wangi khas Kayla yang dulu selalu menyambut setiap ia datang.

Nathan berdiri cukup lama di depan pintu itu. Tatapannya kosong, tangannya menggantung di udara. Rasanya aneh, semua begitu familiar tapi juga asing di saat bersamaan. Ia tahu tak seharusnya berharap, tapi sesuatu di dadanya memaksa untuk mencoba sekali lagi.

Ia mengangkat tangan perlahan.

Satu kali ketukan.

Hening.

Ia menunggu beberapa detik, lalu mengetuk sekali lagi, sedikit lebih keras.

Masih tak ada jawaban.

Sebelum ia sempat berbalik, suara kunci berputar terdengar dari dalam.

Pintu terbuka sedikit, memperlihatkan wajah seorang perempuan muda, rambutnya dikuncir, memakai daster biru muda. Jelas bukan Kayla.

"Iya, cari siapa ya, Mas?" tanyanya sopan.

Nathan kehilangan kata. Matanya refleks menatap ke dalam, memastikan ia tak salah lihat. Isi apartemen itu berubah total.

"Oh, maaf… saya cuma mau ketemu Kayla. Dulu dia tinggal di sini," ucapnya pelan.

Perempuan itu mengerutkan dahi. "Oh, Mbak Kayla? Pemilik apartemen ini? Dia udah pindah, dan kebetulan saya beli unitnya."

Nathan terdiam, pandangannya jatuh ke lantai.

"Pindah?" ulangnya lirih.

"Iya. Mas ini siapanya, ya? Soalnya saya nggak kenal dekat, tapi kalau penting, mungkin saya bisa bantu hubungi Mbak Kayla. Saya masih punya nomornya waktu urusan jual-beli."

Nathan sempat ragu, lalu menjawab tenang, "Ah… boleh saya minta nomornya aja?"

Perempuan itu menatapnya beberapa detik, tampak menimbang. Nathan cepat menambahkan, "Saya orang terdekat Kayla. Hubungan kami… lebih dari teman."

Kalimat itu meluncur tanpa rencana, tapi cukup untuk membuat perempuan itu melunak. Ia mengangguk pelan.

"Sebentar, ya, Mas."

Tak lama, ia kembali dengan selembar kertas kecil yang dilipat rapi. "Ini nomornya. Dulu waktu beli apartemen, saya sempat simpan kalau-kalau ada urusan administrasi."

Nathan menerimanya dengan kedua tangan, menahan senyum sopan. "Terima kasih, ya. Maaf sudah mengganggu waktunya."

"Ah, nggak apa-apa, Mas."

"Mbak tahu dia pindah ke mana?"

"Nggak, sih. Dia nggak bilang apa-apa."

Nathan mengangguk, "Baik. Terima kasih banyak."

Ia berbalik, melangkah pelan di lorong apartemen yang kini terasa asing. Begitu pintu lift terbuka, ia masuk tanpa sadar. Kertas kecil itu masih tergenggam erat di tangannya.

Tulisan tangan perempuan tadi sedikit miring, tapi deretan angka di sana begitu familiar, terlalu familiar.

Ia menghela napas.

"Ini… nomor Kayla yang lama," gumamnya nyaris tak terdengar.

Nathan menatap kertas itu cukup lama sebelum akhirnya meremasnya perlahan. Udara di sekitarnya terasa lebih dingin dari seharusnya. Mungkin karena ia baru sadar, penyesalan tak akan bisa menyusul seseorang yang sudah berani pergi lebih dulu.

Lift berbunyi pelan ketika sampai di lantai dasar. Nathan melangkah keluar, menembus udara pagi yang lembap.

Dan entah kenapa, di tengah rasa hampa itu, ia tahu satu hal pasti. Ia belum siap berhenti mencari Kayla.

1
Paradina
Lanjut kakak, seru setiap bab
no name: Terima kasih, kak. tiap hari up kok, meskipun cuma 1. hehe.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!