Nadira tak pernah menyangka bekerja di perusahaan besar justru mempertemukannya kembali dengan lelaki yang pernah menjadi suaminya tujuh tahun lalu.
Ardan, kini seorang CEO dingin yang disegani. Pernikahan muda mereka dulu kandas karena kesalahpahaman, dan perpisahan itu menyisakan luka yang dalam. Kini, takdir mempertemukan keduanya sebagai Bos dan Sekretaris. Dengan dinginnya sikap Ardan, mampukah kembali menyatukan hati mereka.
Ataukah cinta lama itu benar-benar harus terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 26.
Ardan masih mencoba menyangkal, namun serpihan fakta justru menyatu membentuk kebenaran yang kejam.
“Tidak mungkin…” desisnya lirih, tapi matanya sudah merah menyala. “Mama tak mungkin sejauh itu.”
Claudia tersenyum getir di sela tangisannya. “Percaya atau tidak, itu urusanmu! Aku hanya menyampaikan apa yang kudengar sendiri dari mulut ibumu. Kau pikir… aku berani berbohong dalam keadaan seperti ini?”
Ardan mendekat, menatap Claudia dengan dingin yang membekukan. “Kalau kau bohong… aku akan memastikan kau tak sempat menarik napas terakhir dengan tenang.”
Claudia menggigil, sorot matanya goyah tapi kalimat berikutnya meluncur juga. “Aku tahu Ibumu membawanya ke Bali, tapi aku tidak tahu di mana… aku yakin Nadira ada di sana. Kau bisa periksa sendiri.”
Tangan Ardan mencengkeram sandaran kursi, wajahnya mendekat hingga Claudia bisa merasakan dinginnya napas pria itu.
“Kali ini, aku berharap kau berkata jujur. Kalau tidak…” ia menegakkan tubuh, suaranya serupa vonis. “Kau akan segera lenyap!“
Pria itu bangkit dari duduknya, lalu menatap orang-orang yang menculik Claudia. "Kalian! Jangan lepaskan dia sebelum ada perintah dariku!“
Ardan berbalik, melangkah keluar ruangan dengan rahang terkunci. Asistennya yang menunggu di luar langsung menunduk ketika tatapan tajam majikannya menyambar.
“Pergi sekarang juga ke Bali.”
“B-baik, Tuan!”
Langkah Ardan cepat, penuh bara. Namun di balik kemarahan, ada luka yang lebih besar yaitu kekecewaan pada ibunya sendiri.
Saat menaiki mobil menuju bandara, tangannya gemetar ketika menggenggam ponsel. Nomor Nadira tetap tidak aktif. Matanya terpejam, suaranya pecah nyaris seperti doa.
“Bertahanlah Dira, tunggu aku. Kali ini, aku tak akan membiarkan siapa pun memisahkan kita lagi... bahkan ibuku sendiri!”
Tak berapa lama Ardan duduk di kursi pesawat, jasnya terlepas dan dasinya longgar. Kedua sikunya bertumpu di lutut, tangannya meremas rambut sendiri.
Asistennya duduk di seberang, tak berani bersuara. Ia tahu, Bos mudanya itu sedang berperang dengan dirinya sendiri.
Pesawat berguncang ringan saat memasuki langit Bali. Ardan menatap keluar jendela, mata tajamnya memantulkan kilau lampu kota. Degup jantungnya berpacu, bukan hanya oleh amarah, tetapi juga oleh rasa takut... dia takut terlambat.
Akhirnya dia sampai dan segera naik mobil yang sudah disediakan.
“Cari semua resort mewah milik jaringan kenalan Mama, fokus di area Uluwatu dan Nusa Dua.”
Sopir hanya mengangguk, langsung menyalakan mesin.
Ardan menatap lurus ke depan, sorot matanya tajam.
.
.
.
Resort di Uluwatu, malam hari…
Ketukan pintu kamar Nyonya Rarasati terdengar pelan, tiga kali ketukan.
Nyonya Rarasati bangkit dari kursinya, ia segera membukanya dan tidak terkejut sama sekali. "Wow, akhirnya datang juga.“
Sosok Ardan berdiri di ambang. Wajahnya muram, rahangnya mengeras dengan mata tajam menusuk.
Ardan melangkah masuk, aura dingin menyelimuti ruangan seakan udara tiba-tiba menipis.
“Dimana istriku, Mah?!" suaranya begitu dingin.
Nyonya Rarasati menahan napas sejenak. “Ardan, dengarkan dulu penjelasan Mama__”
“Penjelasan?” Suara Ardan membelah ruangan, pintu ditutupnya dengan hentakan keras hingga kaca jendela bergetar hebat. “Apa alasan Mama menculik istriku sendiri selain ingin menyakiti dia?!”
Nada suaranya seperti cambuk begitu tajam. Namun alih-alih gentar, Nyonya Rarasati justru tersenyum tipis seolah menikmati amarah putranya.
“Mama! Kenapa Mama tersenyum?!” Ardan melangkah maju, matanya berkilat penuh ancaman. “Nadira baik-baik saja, kan? Kalau Mama menyentuhnya sedikit saja, aku bersumpah aku akan__”
“Diam!” potong Nyonya Rarasati lantang, suaranya dingin. “Kau ini berisik sekali! Seperti orang yang rela mati hanya demi perempuan itu. Padahal, bukankah tujuh tahun terakhir ini kau sendiri yang bilang kau membencinya? Kau tak mau mencarinya, bahkan pernah berkata bahwa jika ia muncul di depanmu sekalipun… dia hanyalah masa lalu yang tak pantas kau pedulikan. Dan sekarang? Hanya karena dia kembali, kau berani melawan ibumu sendiri!”
Ardan terengah, dadanya naik-turun menahan emosi. “Cinta mati? Ya! Aku memang cinta mati padanya. Kalau sesuatu terjadi pada Nadira, aku akan ikut mati bersamanya. Aku tak peduli hukuman apa yang menantiku darinya... asal jangan sentuh dia! Jangan pisahkan aku darinya lagi!”
Mata Nyonya Rarasati menyipit, namun dalam hatinya bergemuruh. Ia kaget menyaksikan air mata menggenang di sudut mata putranya.
“Ardan… kau menangis?” Ia hampir tergelak, meski suaranya terdengar getir. “Percuma saja! Nadira sudah Mama kirim ke luar negeri, kau tak akan bisa menemuinya lagi!”
Brukk!
Ardan jatuh berlutut, tubuhnya seolah kehilangan tenaga. Ia bersujud, memeluk kedua kaki ibunya dengan putus asa.
“Mama, aku mohon… Jangan lakukan ini pada kami. Tujuh tahun sudah cukup! Bukan hanya Nadira yang tersiksa, aku pun sama. Hatiku mati rasa selama ini, bahkan aku tak pernah bisa mencintai Claudia. Semua paksaan Mama tak ada artinya, karena aku lebih baik mati daripada harus bersama wanita yang tak kucintai!”
Senyum samar tersungging di bibir Nyonya Rarasati, “Benarkah? Kau bilang tak mencintai Claudia, tapi bukankah kau pernah tidur dengannya? Jangan munafik!”
Ardan mendongak cepat, matanya berkaca-kaca namun penuh keyakinan. “Aku bersumpah, Mama! Aku tak pernah menyentuh Claudia. Meskipun ia berkali-kali mencoba menggoda, aku tak pernah terpancing. Tidak sekalipun!”
“Dan ketika kau mabuk? Kau yakin tak pernah hilang kendali?” tanya ibunya penuh selidik, matanya menajam.
Ardan menjawab dengan nada tegas. “Aku yakin! Setiap kali keluar bersamanya, aku tidak pernah membiarkan diriku mabuk sepenuhnya. Aku selalu menjaga kontrol, aku tidak ingin membuat kesalahan.“
“Dira… semua sudah kau dengar dengan telingamu sendiri. Masihkah hatimu ragu untuk mempercayai putra Mama?” Nyonya Rarasati ikut bernafas lega, ia percaya pada putranya.
“Mas..."
Ardan menoleh cepat, dari sudut ruangan Nadira muncul. Wajahnya bergetar menahan air mata, ia telah mendengar segalanya sejak awal.
“Dira…” Ardan berdiri tergesa, langkahnya lebar lalu meraih tubuh istrinya dalam dekapan penuh kerinduan.
Nyonya Rarasati memandang keduanya, bibirnya melengkung sinis. “Ck! Nikmati saja kebersamaan kalian, mama akan pergi mencari berondong di luar.” Ia mengedipkan mata, hanya bergurau. Sebab, sejak ditinggal mendiang suaminya dia masih tetap setia menjadi single parents.
Sepeninggal ibunya, Ardan perlahan melonggarkan pelukan. Ia tidak benar-benar melepaskan, hanya memberi sedikit ruang agar matanya bisa bertemu dengan mata sang istri.
"Aku bodoh, Nadira. Tujuh tahun aku membiarkan Claudia memperdayai ku, bahkan aku meragukan mu...” Ardan menunduk, suaranya bergetar menahan sesal.
Nadira tersenyum tipis meski matanya basah. “Mas memang bodoh. Tapi… aku tetap mencintaimu.”
“Kamu memaafkan ku?” tanya Ardan begitu lirih, seolah takut mendengar jawaban istrinya.
Nadira mengangguk pelan, air mata jatuh membasahi pipinya.
“Tapi luka yang kau tanggung, semua penderitaanmu… aku juga salah satu penyebabnya. Aku yang seharusnya melindungimu, malah membiarkanmu hancur sendirian.”
Nadira menggeleng tegas, meski air matanya kian deras. “Mas... sejak kita dipertemukan kembali, aku memilih bertahan dengan semua sikap dingin mu padaku. Karena aku percaya, suatu hari Mas akan melihat kebenarannya. Kini Mas sudah tahu siapa Claudia sebenarnya. Hanya saja… beberapa waktu ini, hatiku masih belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan bahwa selama tujuh tahun itu Mas bersama wanita lain.”
Ardan mengangkat wajahnya, menatap lekat ke dalam mata istrinya. Dalam sorot itu, ia melihat luka, cinta sekaligus kekuatan yang membuatnya semakin kagum. Betapa wanita di depannya ini tak pernah berhenti mencintai, meski dihancurkan berulang kali.
Dengan pelan, Ardan kembali meraih tubuh Nadira ke dalam pelukannya. Ia menenggelamkan wajah di bahu istrinya, lalu tangisnya pecah. “Maafkan aku… Dira. Tapi aku bersumpah, aku tak pernah menyentuh Claudia. Hanya kamu wanita satu-satunya, yakinlah... aku masih milikmu seutuhnya.“
“Aku sudah memaafkan Mas sejak lama,” bisik Nadira sambil mengelvuss punggung suaminya. “Aku juga percaya sumpahmu, yang terpenting sekarang… kita jangan saling melepaskan lagi.“
Ardan mengencangkan pelukannya, kali ini ia berjanji tak akan pernah membiarkan Nadira berjalan sendirian dalam badai hidup mereka.
Sementara itu di area resort, Nyonya Rarasati melangkah dengan angkuh. Namun, tanpa sengaja ia bertabrakan dengan seseorang.
“Hey! Jalan itu pakai mata, dong!” serunya ketus.
Pria bertubuh tegap yang bertabrakan dengan Nyonya Rarasati itu pun menoleh. Pandangannya tajam, dan sesaat... ia tertegun.
Nyonya Rarasati mengerjap, jantungnya berdegup tak karuan. Meski rambut pria itu sudah memutih keperakan, wajahnya tetap tak asing. “Damar…”
Damar... mantan kekasih Nyonya Rarasati sebelum ia menikah.
Seorang bawahan tiba-tiba mendekat, membungkuk hormat. “Bos, kamar istri Anda di resort ini sudah kami temukan.”
Tanpa menoleh lagi pada Nyonya Rarasati, pria itu melangkah pergi. Punggungnya bahkan terlihat begitu dingin dan berwibawa.
Nyonya Rarasati terdiam, ia tercengang. Bibirnya kemudian mencebik kesal. “Cih! Apa dia lupa siapa aku atau berpura-pura? Padahal aku 1000 persen yakin... aku ini, mantan terindahnya.”
*
*
*
Masih seru, gak kawan-kawan? 🤭
Aku suka cerita kakak 👍👍👍