Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.
Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26
Malam itu terasa lebih dingin daripada biasanya, padahal AC kamar dimatikan. Raisa duduk di lantai dengan punggung menempel ke sisi ranjang, menatap layar ponselnya yang redup. Pesan dari Bu Ratna masih ada di sana, seperti mantra buruk yang tak bisa ia hapus: “Kalau kamu pergi dengan benar, Ibu janji tak akan ganggu dia lagi.”
Kalimat itu menggantung di kepalanya, mengendap, menekan dadanya sampai ia sulit bernapas.
Kalau kamu pergi dengan benar.
Apa maksudnya “dengan benar”? Meninggalkan Ardan tanpa pamit? Pergi begitu saja seperti orang pengecut? Atau bertatap muka, mengucapkan selamat tinggal sambil menghancurkan hati mereka berdua?
Raisa mengusap wajahnya yang basah. Tangisannya sejak tadi seperti tidak ada hentinya, tapi air mata itu tidak benar-benar membuat lega. Yang ada hanya rasa hampa—kosong, seperti dirinya tak lagi utuh.
Paginya, Raisa bangun dengan mata bengkak dan kepala berat. Ia mendengar suara pintu apartemen dibuka. Ardan pulang. Lelaki itu masuk dengan langkah lelah, jas kerjanya kusut, dasinya longgar. “Sayang…” panggilnya pelan, suaranya serak.
Raisa buru-buru menyeka air mata, mencoba tersenyum meski bibirnya kaku. “Kamu udah sarapan? Aku bisa bikinin kalau mau.”
Ardan mendekat, mengusap kepala istrinya. “Enggak usah. Kamu istirahat aja. Aku tahu kamu capek.”
Kalimat itu membuat Raisa ingin pecah di tempat. Dia selalu begini. Bahkan saat dunianya runtuh, dia masih mikirin aku. Kenapa aku nggak bisa jadi istri yang cukup untuk dia?
Ardan duduk di tepi ranjang. “Maaf aku pulang telat terus. Banyak yang harus aku beresin di kantor. Tapi kita baik-baik aja, kan?” Tatapan matanya dalam, mencari jawaban. Seakan ia tahu ada sesuatu yang salah, tapi tak bisa menebaknya.
Raisa terdiam. Kata-kata Bu Ratna muncul lagi di kepalanya: Kalau kamu benar-benar sayang, lepaskan dia.
Dia ingin berkata iya, kita baik-baik aja. Tapi bibirnya seperti terkunci.
Akhirnya ia hanya mengangguk kecil. “Baik-baik aja, Dan,” bohongnya lirih.
Ardan tersenyum lega, meski lelah masih membayang di matanya. “Bagus.” Ia berdiri, melepas jasnya, lalu menuju kamar mandi. “Nanti malam kita makan di luar, ya. Aku kangen kamu.”
Kangen. Kata itu menghantam Raisa seperti batu. Dia tahu setelah ini mungkin tidak akan ada “makan malam bersama” lagi.
Siangnya, Raisa duduk di meja makan dengan secangkir teh dingin yang tak disentuh. Ponselnya tergeletak di meja, notifikasi pesan dari Bu Ratna belum ia buka. Tapi ia tahu, kalau ia mau mengakhiri semuanya, ia harus membalas.
Tangannya gemetar saat mengetik:
Bu, saya akan pergi. Tapi beri saya waktu. Saya nggak mau dia tahu ini dari orang lain.
Balasannya datang cepat:
Ibu tunggu. Pastikan kamu melakukannya tanpa drama. Demi kebaikan Ardan.
Tanpa drama. Raisa tertawa miris. Tanpa drama? Pergi meninggalkan suami yang aku cintai tanpa drama? Itu mustahil.
Sore itu ia mulai membereskan barang-barangnya. Tidak banyak—hanya beberapa pakaian, dokumen penting, dan buku-buku yang dulu mereka beli bersama. Setiap kali ia memasukkan sesuatu ke dalam koper, kenangan menyeruak. Malam pertama mereka di apartemen ini. Ardan yang mengejutkannya dengan buket bunga di hari ulang tahunnya. Pertengkaran-pertengkaran kecil yang selalu berakhir dengan pelukan.
Koper itu rasanya lebih berat dari sekadar pakaian. Itu adalah beban semua keputusan yang ia ambil.
Di meja rias, ia menulis surat. Tangannya gemetar, huruf-hurufnya berantakan.
Ardan, maaf kalau aku lemah. Maaf kalau aku nggak bisa jadi istri yang kamu butuhkan. Aku pergi bukan karena aku nggak sayang, tapi karena aku terlalu sayang sama kamu. Aku ingin kamu bebas dari beban yang aku bawa ke hidupmu. Tolong jangan cari aku.
Air matanya menodai kertas itu, membuat tintanya melebur. Tapi ia tak mengganti kertasnya. Biarlah Ardan melihat betapa hancurnya dirinya saat menulis itu.
Malamnya, Ardan pulang lebih cepat dari biasanya. “Rai, ayo siap-siap. Aku udah reservasi restoran favorit kamu.” Suaranya terdengar ceria, seperti mencoba menebus hari-hari yang ia lewatkan.
Raisa berdiri di ambang kamar, menatapnya lama. Lelaki itu berdiri di ruang tamu dengan kemeja hitam rapi, rambutnya sedikit berantakan, tapi senyumnya hangat—senyum yang selalu berhasil membuat dunia Raisa terasa aman.
“Dan…” suaranya pecah. “Kalau… kalau suatu hari aku nggak ada di sini, kamu… kamu bakal baik-baik aja, kan?”
Ardan mengernyit. “Maksud kamu apa?”
Raisa buru-buru menggeleng, memaksa senyum. “Enggak, cuma… kepikiran aja.”
Ardan mendekat, memeluknya dari belakang. “Aku nggak bisa bayangin hidup tanpa kamu, Rai. Kamu rumah buat aku.”
Kata-kata itu membuat jantung Raisa seperti diremas. Ia hampir membatalkan keputusannya saat itu juga. Bagaimana kalau kepergianku justru menghancurkannya?
Tapi suara Bu Ratna kembali menghantamnya: Kalau benar sayang, lepaskan dia.
Malam itu, mereka makan malam bersama seperti biasa. Mereka tertawa, bercerita, bahkan berdebat kecil soal makanan yang dipesan. Seolah tidak ada apa-apa. Tapi di dalam hati Raisa, ia sudah mengucapkan selamat tinggal.
Dan ketika Ardan tertidur, Raisa berdiri di ambang pintu kamar, menatap wajah lelaki itu yang damai dalam tidurnya. Ia ingin mengukir momen ini selamanya di ingatannya. Lalu ia mengambil koper yang sudah ia siapkan, meninggalkan surat di meja, dan melangkah keluar.
Setiap langkah di koridor apartemen terasa seperti pisau yang menebas kakinya. Saat pintu lift tertutup, air matanya jatuh tanpa bisa dihentikan.
Untuk pertama kalinya sejak menikah, Raisa pergi—bukan sekadar keluar rumah, tapi pergi dari hidup Ardan.
Dan ia tidak tahu apakah ia cukup kuat untuk benar-benar tidak kembali.