Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.
sanggupkah ia lepas dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanasta 13
Ia menggali semua.
Hingga akhirnya…
Satu jejak muncul.
Sebuah postingan dari 2 tahun lalu di forum warga dekat lokasi kecelakaan:
“Ada anak perempuan SMA yang katanya melihat sesuatu di malam hujan itu.
Dia terlihat shock dan menangis.
Tapi setelah polisi datang, dia tiba-tiba menghilang.”
Komentar di bawahnya:
“Siapa anak itu?”
“Nggak tau. Pake seragam SMA LIORA.”
SMA Liora.
Nama itu berulang.
James menahan napas.
Itu sekolah yang dekat dari lokasi kecelakaan.
James mengambil ponselnya, membuka map digital, mengetik:
SMA Liora — Daftar Alumni 2 Tahun Terakhir
Nama-nama muncul.
Puluhan nama.
James melihat satu-satu.
Hingga ia menemukan komentar di forum lain:
“Siswi SMA Liora pingsan dekat TKP kecelakaan, katanya lihat sesuatu yang mengerikan.”
Tapi polisi bilang dia ‘tidak melihat apa-apa’ lalu membiarkan dia pulang.”
Ada satu nama disebut samar:
“Rani”
atau
“Rina”
atau “Raina”?
Tidak jelas.
Tapi cukup untuk membuat James menegang.
“Jadi memang ada saksi lain,” katanya pelan.
Matanya mengeras.
“Ayah… kau tidak pernah bilang apa-apa tentang ini.”
Ia menutup laptop dan berdiri dengan tekad baru.
“Kalau ayah menutup semua data publik…”
James mengambil jaketnya,
“…aku akan mencari kebenaran dari orang-orang yang tidak bisa ia kontrol.”
Ia melangkah keluar dari ruang kerjanya.
Pintu tertutup keras.
“Tunggu aku, Hana.”
“Aku akan temukan kebenarannya.”
Pagi masih gelap ketika Soni duduk di ruang kerjanya, hanya ditemani lampu kecil di sudut meja.
Ia jarang terlihat gugup.
Tapi hari ini…
ada perubahan kecil pada wajahnya.
Dia memutar pena di jarinya, tatapannya fokus pada layar tablet.
Di layar itu terdapat rekaman log akses digital mansion.
Setiap lantai, setiap pintu, setiap sensor gerak.
Soni membaca satu catatan yang muncul semalam:
“ID: James Arther — akses lantai 3 (tidak berhasil).
Waktu: 00.59.”
Soni terdiam lama.
Lalu ia tersenyum kecil.
Senyum yang tidak pernah berarti hal baik bagi siapa pun.
“Jadi kau benar-benar naik ke lantai tiga…”
katanya pelan.
Ia menggeser layar.
Muncul rekaman lain:
Pencarian database internal kantor:
‘Laporan Kecelakaan Melina Arther’
‘TKP Eber Lane’
‘SMA Liora’
‘Saksi Lain’
Soni memicingkan mata.
“James…”
suara Soni turun menjadi dingin,
“…kau mulai menggali.”
Ia menekan tombol interkom.
“Panggilkan Lima dan Tujuh.”
Lima dan Tujuh—
dua orang yang Soni gunakan ketika ia merasa terancam.
Tak lama kemudian dua pria berpakaian hitam masuk dan berdiri tegap.
Soni tidak menatap mereka.
Ia masih menatap layar tablet.
“James sedang mencari sesuatu yang tidak boleh ia temukan,” katanya pelan.
Keduanya saling menatap, lalu kembali ke posisi semula.
“Aku tidak ingin dia mendekati data itu.
Atau orang-orang itu.”
Soni mematikan layar.
“Mulai hari ini, setiap langkahnya… kalian ikuti.”
“Tapi Tuan,” salah satu dari mereka bicara hati-hati,
“apakah kita perlu mencegahnya?”
Soni diam sejenak.
Lalu ia menatap mereka dengan tatapan yang membuat suhu ruangan turun beberapa derajat.
“Tidak.”
Senyumnya muncul.
“Biar dia menggali.”
Keduanya terkejut.
“Tapi pastikan…
dia selalu menggali ke arah yang salah.”
“Kami mengerti.”
“Dan satu hal lagi,” tambah Soni sambil mengancingkan lengan bajunya,
“kalau dia mendekati saksi itu…”
Soni berhenti, mencondongkan tubuh.
“…selesaikan sebelum dia berbicara.”
Keduanya mengangguk.
Soni mengibaskan tangannya, mempersilakan mereka pergi.
Saat pintu menutup, Soni berkata pelan:
“James… kau anakku, tapi kau terlalu keras kepala.
Dan keras kepala tidak bertahan lama di dunia ini.”
RUANGAN SONI — Saat itu juga
Soni berdiri, mengambil jasnya.
Sebelum keluar, ia berhenti sejenak dan menatap pintu Hana yang tertutup di ujung lorong lantai tiga.
"Aku mungkin harus mengencangkan pengawasan atas Hana juga,” gumamnya.
Ia meraih gagang pintu dan membukanya.
Di Dalam Ruangan Hana
Hana duduk di ujung sofa, memijat pelipisnya.
Matanya bengkak karena kurang tidur dan menangis terlalu lama.
Ia tidak tahu berapa lama ia tertidur—
tapi sesuatu membuatnya terbangun tiba-tiba, napasnya berat, jantung berdetak cepat tanpa alasan.
Seolah tubuhnya memberi peringatan sebelum pikirannya mengerti.
Tiba-tiba…
Jantungnya berdebar kencang.
Keras.
Tak beraturan.
Hana menekan dadanya.
“Ada apa ini… kenapa…”
Tiba-tiba sebuah kilasan terasa seperti moncong petir:
James.
Dalam benaknya, ia melihat sekilas wajah James—
bingung, marah, terluka…
Seakan pikirannya memanggilnya dari tempat jauh.
Hana terhuyung ke depan, panik.
“Tuan… dia…”
Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Namun di dalam dirinya muncul ketakutan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Seolah seseorang menarik napas tepat di belakangnya dan berkata:
“James dalam bahaya.”
Hana memegang meja agar tidak jatuh.
“Tidak… tidak… jangan sampai dia terluka…”
bisiknya.
Air matanya mengalir lagi.
Jantungnya semakin cepat.
Ia tidak bisa menjelaskan,
tidak bisa menganalisa,
tapi hatinya tahu:
Sesuatu buruk sedang bergerak ke arah James.
Entah di mana.
Entah dari siapa.
Namun Hana tahu kapan waktu terasa berubah—
ketika orang yang ia sayangi diam-diam…
sedang menuju bahaya yang tidak ia lihat.
“Jamesss…”
suara Hana pecah, lemah dan penuh ketakutan.
“Jangan… jangan pergi sendirian…”
“Jangan cari masa lalu itu sendiri…”
Air mata jatuh di lututnya.
“Karena musuhnya…
bukan hanya masa lalu…”
Hana terisak.
“…tapi ayahmu sendiri.”
Pintu Hana Mendadak Terbuka
Klik.
Hana langsung kaku.
Soni masuk dengan wajah tenang, namun matanya…
lebih gelap dari biasa.
Ia baru saja selesai memberi perintah mengenai James.
Ia menatap Hana lama.
“Hana.”
suara Soni pelan namun tajam.
“Kau menangis lagi.”
Hana cepat menyeka air mata.
“Ti-tidak, Tuan… saya hanya… saya merasa—”
“Kau merasa apa?”
Soni mengangkat dagu.
Hana menunduk.
“Saya merasa ada hal buruk…”
“Buruh?”
Soni tersenyum tipis.
“Kau bermimpi lagi?”
“Tidak… saya… saya merasa James…”
Hana berhenti sebelum kalimatnya tumpah.
Soni mendekat satu langkah.
“Hana,” katanya datar.
“Kau tidak perlu memikirkan James.”
Hana menggigit bibir.
Soni menatapnya lebih dalam, menilai setiap gerakan tubuhnya.
“Aku sudah mengurus semuanya,” ujarnya singkat.
“James tidak akan menemukan apa pun.”
Hana menegang hebat.
Soni menambahkan dengan senyum kecil:
“Dan kalaupun dia mencari…”
Ia mencondongkan tubuh, suaranya hampir seperti bisikan:
“…dia tidak akan sempat menemukan apa pun.”
Hana langsung pucat.
Terlalu pucat.
Soni memperhatikan reaksi itu.
Dan untuk pertama kalinya…
sorot matanya berubah.
Ada kecurigaan baru yang muncul.
Ia memiringkan kepala.
“Hana…”
suaranya merendah,
“…kenapa kau terlihat lebih ketakutan daripada biasanya?”
Hana menunduk.
Namun tubuhnya tidak bisa berbohong.
Jari-jarinya gemetar keras.
Soni melihat itu.
Dan ia TERSENYUM.
“Ah,” katanya pelan,
“jadi kau takut James akan terluka?”
Hana membeku total.
Soni mendekat, menyeruput ketakutan Hana seperti aroma wangi mahal.
“Hana…”
bisiknya halus tapi mengancam,
“…apakah kau masih punya hati untuk dia?”
Hana tidak bisa bicara.
Lidahnya membeku.
Soni tertawa kecil.
Tawa yang membuat ruangan terasa lebih sempit.
“Sayang sekali…”
ujar Soni sambil berbalik menuju pintu,
“…sekarang aku harus memastikan dia tidak melangkah terlalu jauh.”
Ia membuka pintu.
Namun sebelum keluar, ia berkata tanpa menoleh:
“Dan kau…”
suara Soni tajam.
“…jangan menangis.”
Pintu menutup.
Hana langsung jatuh berlutut, menangis pecah.
Karena tanpa Soni sadari…
Soni baru saja mengungkapkan satu hal penting:
James sedang berada di jalan yang bisa menghabisinya.
Dan Hana tidak bisa melakukan apa pun.
By : Eva
17-11-2025