NovelToon NovelToon
Maya Dan Cangkulnya

Maya Dan Cangkulnya

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Mengubah Takdir / Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) / Romansa pedesaan
Popularitas:131
Nilai: 5
Nama Author: R.Fahlefi

Sebuah karya yang menceritakan perjuangan ibu muda.
Namanya Maya, istri cantik yang anti mainstream

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.Fahlefi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Maya, Sari dan Gilang

Matahari mulai berwarna jingga ketika suara perdebatan terdengar dari dalam rumah sederhana namun masih berdiri kokoh.

Maya, seorang istri yang baru saja memasuki usia 25 tahun baru saja ditampar oleh suaminya sendiri.

"Dasar istri tidak tahu bersyukur."

Umpatan itu membuat Maya meneteskan air mata. Ia meraba pipinya yang panas akibat tamparan yang sekaligus menampar hatinya.

"Bang, aku bukannya tidak bersyukur. Tapi.. uang belanja segini tidak cukup membeli kebutuhan."

"Tidak cukup apanya? Hah? Kamu saja yang tidak bisa mengatur duit!"

'Brakk'

Suara pintu terbanting. Gilang pergi dari rumah seperti biasa saat ia dan istrinya bertengkar.

Maya hanya bisa pasrah dengan sikap Gilang. Setiap hari masalahnya hanya itu-itu saja. Maya sebenarnya tidak mau menuntut Gilang banyak hal. Tapi apa boleh buat, semua kebutuhan membuatnya harus menuntut Gilang setiap hari.

Maya menatap uang 20 ribu yang ada di atas meja dapur. Uang yang baru saja diberikan oleh Gilang. Padahal, Maya harus segera mengisi ulang gas, membeli beras, membeli cabe dan minyak goreng.

"Bu.."

Suara lirih dari pintu dapur membuat Maya buru-buru menutupi wajahnya yang memerah agar tidak terlihat.

"Sari? Udah pulang main nak?"

Sari, anak perempuan mereka yang sudah berumur 8 tahun itu mengangguk. Wajahnya cantik, kulitnya putih. Ia mewarisi itu semua dari ibunya. Tapi mungkin setelah mendengar pertengkaran orang tuanya wajahnya berlipat, matanya berkaca-kaca.

Maya mencondongkan kedua tangannya. Sari langsung berlari memeluk ibunya.

"Bu, kok ayah jahat sama ibu? Salah ibu apa?"

Pertanyaan polos itu menggetarkan hati Maya.

"Ayahmu nggak jahat nak, cuma hari ini lagi banyak masalah diluar." Ucap Maya sambil mengelus pucuk kepala putri semata wayangnya itu. Ia tidak boleh membuat Sari membenci ayahnya, ia juga tetap menjaga nama baik Gilang di depan orang-orang.

Di dapur Maya mulai menanak nasi dan melupakan kejadian barusan. Itu adalah beras terakhir mereka. Selesai menanak, Maya pun bergegas untuk pergi ke ladang kecil mereka di pinggir desa. Disana mudah-mudahan ia mendapatkan tanaman yang bisa dijadikan lauk untuk malam ini.

Maya meniti jalan setapak yang licin sambil memapah Sari yang melangkah pelan. Sesampainya disana, Maya pun mulai memilah-milah rerumputan yang sudah meninggi, diantara pasti ada sayuran yang tidak sengaja tumbuh atau apa saja untuk menemani nasi makam malam mereka.

Sari ikut membantu ibunya mencari makanan. Hari yang sudah mulai gelap membuat pandangan mereka terbatas. Dan untungkah, Maya menemukan pucuk daun ubi beberapa ranting. Ia tersenyum.

"Nak, ayo.. ibu sudah dapat." Kata Maya mengangkat ranting-ranting pucuk ubi kayu yang baru ia panen.

"Horee... Akhirnya dapat juga." Sumringah Sari.

Mereka pun bergegas pulang ke rumah sebelum malam tiba.

Untunglah Sari tidak banyak menuntut ibunya. Ia seperti permata kecil dalam diri Maya. Sari makan dengan lahap, tidak berkomentar sedikitpun tentang menu makanan mereka.

Mereka makan dan duduk di ruang tengah dengan lampu gantung redup. Cahaya bulan dari luar masuk melalui pintu yang setengah terbuka. Dan dari pintu terbuka itu muncul kembali Gilang. Maya tahu, suaminya itu pasti baru datang dari warung kopi. Bercanda ria bersama teman-temannya, hidup seolah tanpa beban sedikitpun.

Maya tidak menyambutnya, Sari juga tidak menatapnya. Gilang datang hanya seperti rutinitas tanpa makna. Ia juga tidak ikut makan. Apalagi melihat menu mereka seperti menu makanan kambing saja.

"Bilangnya nggak punya uang, tapi masih bisa makan." Desis Gilang sambil berjalan menuju kamar.

Maya meremas jemarinya. Tidak, ia tidak akan menjawab perkataan suaminya itu. Karena ia tahu jika menjawab hanya akan menimbulkan pertengkaran lagi.

Seperti itulah kehidupan rumah tangga mereka. Kehidupan awal pernikahan hanya manis di awal saja. Gilang tidak seperti janji-janjinya dulu. Ia menampakkan tabiat buruknya tak lama setelah menikah. Harta, mas kawin sudah dijual. Uang gaji Gilang juga ludes entah kemana. Ludes dengan alasan-alasan yang tidak pernah jelas. Padahal, dengan pekerjaannya sebagai pegawai negeri sipil seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Tapi itulah pilihan hidup Maya. Ia lah yang memaksa kedua orang tuanya agar merestuinya menikah dengan kekasih yang sudah menjalin hubungan dengannya selama 2 tahun itu. Nasi sudah menjadi bubur, mau tak mau bubur itu harus ia telan. Kembali kepada orang tua hanya akan membuat malu.

Setelah Sari tidur, Maya pun kembali mengajak Gilang untuk berbicara baik-baik. Tidak ada pilihan lain baginya. Kebutuhan yang mendesak, keperluan sekolah Sari yang harus di bayarkan harus menemui solusinya.

"Bang." Ucap Maya pelan.

"Hmm." Gilang bergumam, matanya masih tertutup dan badannya membelakangi Maya.

"Air listrik kita sudah menunggak, uang sekolah Sari juga harus di bayar." Maya menghela nafas sebentar. Menunggu respon dari Gilang.

Tidak ada jawaban dari Gilang. Maya menatap punggung suaminya itu dari belakang. Sebenarnya, Maya masih berharap adanya perubahan dari sikap Gilang. Karena bagaimanapun, Gilang adalah ayah dari putri mereka. Dan Gilang juga adalah laki-laki yang telah dipilihnya.

Melihat tidak ada respon, Maya menghirup udara dalam-dalam. Seringkali percakapan seperti ini membuat mereka ribut dan bertengkar. Maya harus hati-hati dalam memilih setiap kata yang keluar dari mulutnya.

"Besok, uang sekolah...."

Belum sempat Maya meneruskan ucapannya, Gilang membalik badan dengan kasar dan menatap Maya dengan mata gusar.

"Aku ngantuk May! Ini sudah malam. Lagipula kau ini kerjanya cuma ngeluh, ngeluh tiap hari! Emang kau pikir jaman sekarang nyari duit itu gampang?"

Maya menahan sesak di dadanya. Sudah ia duga akan seperti ini jadinya.

"Tapi bang, kalau begini terus, kami mau makan apa? Sari juga tidak bisa sekolah. Lagipula..."

Maya menunduk, menahan air matanya yang hendak tumpah.

Gilang mendengus, "Lagipula apa? Jangan kau pikir aku tidak memikirkan itu semua!"

"Lagipula.. Kemana perginya semua uang yang abang dapat?"

"Itu lagi.. itu lagi! Udahlah, kau tahu sendiri kalau ibu dan Mirna lagi butuh uang. Kalau bukan aku, siapa lagi yang membantu mereka."

"Aku tahu bang, aku nggak masalah jika abang membantu mereka. Tapi, abang juga harus ingat kalau kami disini juga butuh biaya."

"Cukup May, aku nggak mau bertengkar denganmu. Aku capek."

"Aku juga capek bang, kalau begini terus.. aku.."

Bruk!

Gilang meninju dinding kamar.

Maya tersentak, bibirnya kelu. Ujung-ujungnya selalu seperti ini. Tidak pernah ada titik terang yang membuat mereka bisa menemukan solusi yang baik.

Tiba-tiba suara panggilan telpon berdering dari handphone Gilang.

Nama yang muncul disana adalah Mirna. Adik perempuan Gilang yang seorang janda beranak 1. Suaminya meninggalkannya karena wanita lain.

Gilang mengangkat telpon itu sambil berjalan keluar dari kamar.

Maya yang tahu kalau telpon itu dari Mirna mengikuti Gilang. Ia menguping pembicaraan itu dari balik pintu.

Seperti yang sudah diduga oleh Maya, tidak lain inti pembicaraan yang didengar oleh Maya tidak jauh adalah tentang uang. Gilang mentransfer uang senilai 1 juta dengan mudahnya.

"Aku transfer 1 juta dulu Mir. Nanti kalau abang gajian akan abang tambah."

Begitulah suara Gilang yang didengar oleh Maya.

Hati Maya sesak. Gilang begitu mudah memberikan adiknya itu uang. Padahal, dirinya dan anak mereka tadi malam hanya makan pucuk ubi rebus dan nasi. Uang segitu harusnya sangat cukup untuk membeli kebutuhan mereka dengan layak, juga untuk membayar uang sekolah Sari yang menunggak.

Air mata Maya menetes, perih sekali rasanya menerima kenyataan bahwa suaminya begitu peduli kepada keluarganya, padahal ada keluarga kecilnya sendiri yang masih sangat membutuhkan uang.

Tidak tahan, Maya membuka pintu kamar dengan kasar. Matanya berkaca menatap suaminya yang terkejut.

"Maya?"

"Abang transfer uang sama Mirna?" Tanya Maya dengan suara bergetar.

Gilang mendengus, "Aku sudah berjanji padanya, lagipula mereka sekarang tanggung jawabku."

"Abang minggu ini cuma kasih kami uang 100 ribu, kenapa sama Mirna abang sanggup memberikan 1 juta? Ingat bang, kami ini masih butuh biaya. Anakmu spp nya menunggak, tiap hari kami makan seadanya. Listrik juga belum dibayar, belum lagi membeli beras besok."

Air mata Maya menetes semakin deras. Bagaimana tidak teriris hatinya jika suaminya lebih mementingkan adiknya?

"Cukup May, aku pusing melihat kau merengek terus."

"Siapa yang gak merengek kalau begini? Aku di rumah juga capek, mengurus Sari, mengurus rumah, mencari lauk di ladang setiap hari. Aku juga manusia bang, butuh biaya untuk hidup. Kami bukan benda mati yang bisa dibiarkan begitu saja!"

"Kau sudah berani melawanku?"

"Kalau abang pikir aku melawan, itu semua gara-gara abang! Coba abang jawab, kapan terakhir abang ngasih aku duit satu juta untuk belanja bulanan? Tidak pernah lagi semenjak Sari lahir! Bahkan kebutuhannya saat bayi itu banyak ditanggung oleh Bang Reza!"

Plak!

Sebuah tamparan melayang di pipi Maya.

Air mata Maya tumpah, ia meraba pipinya yang memanas dan sakit. Tapi tatapan Maya kali ini berubah menjadi tatapan penuh amarah, bukan lagi tatapan sedih.

"Tampar lagi bang! Tampar sampai kau puas! Kalau memang abang nggak butuh kami lagi, ceraikan aku!"

Perasaan Maya yang sesak membuatnya tidak bisa lagi menahan gejolak. Maya tahu meminta cerai bukanlah hal yang baik dilakukan oleh seorang istri. Tapi, apakah lebih baik mempertahankan rumah tangga seperti ini?

"Kurang ajar! Kau pikir kau bisa hidup sendiri tanpaku hah? Kau kira kau sudah hebat?"

Gilang merapatkan gerahamnya, dadanya naik turun. Sebuah tantangan dari Maya itu membuatnya hendak melayangkan tamparan sekali lagi.

"Ibu..."

Suara Sari membuat Gilang menghentikan tangannya di udara.

Maya mengusap air matanya. Ia pun membalik badan dan meninggalkan Gilang.

Namun sebelum benar-benar meninggalkan Gilang Maya berbisik lirih, "Kalau abang tetap begini, besok aku akan bekerja!"

Tanpa menunggu jawaban, Maya masuk ke dalam kamar dan memeluk Sari dengan hati yang diperas.

Gilang mengusap rambutnya dengan kasar. Ia tidak menyusul Maya masuk. Ia keluar dari rumah, menyalakan motor dan pergi. Entah apa yang ada di pikiran Gilang. Ia menelantarkan istri dan anaknya, tidak memberi nafkah yang cukup namun enggan untuk bercerai. Mungkin Gilang masih memiliki rasa malu, takut di cap sebagai suami yang gagal, atau mejaga muka di hadapan keluarga Maya.

Dan besok, Maya akan mencoba untuk mulai mencari pekerjaan. Apa saja.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!