Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENCARIAN
Malam merayap turun perlahan di langit Pemalang. Kabut tipis menggantung di udara Desa Gumalar, mengelilingi rumah-rumah kayu sederhana seperti selimut lembut yang muram. Namun tidak ada yang lebih muram daripada hati Arif Dirgantara malam itu.
Ia duduk di kursi depan sebuah losmen kecil yang disewanya. Cahaya kuning temaram lampu gantung memantulkan bayangan di wajahnya yang letih. Di tangan kanannya, ia memegang foto Retno muda—foto yang mulai pudar, namun tetap menampilkan senyum yang dulu membuatnya merasa dunia tidak lagi sepi.
Senyum yang telah hilang 20 tahun.
Dan kini ia mengetahui kebenaran pahit dari masa lalu:
bahwa orang tuanya sendiri—Hartono dan Diah Ningrum—terlibat dalam kecelakaan yang membuat Retno hilang ingatan dan terdampar di desa terpencil ini sebagai Sari.
Namun rasa marah yang memuncak itu kini berubah menjadi penyesalan, dan lebih dari itu: rasa bersalah yang menghantam tulang rusuknya hingga sesak.
Ia harus menemukan Retno.
Dan ia harus menemukan anak mereka—Lanang Damar Panuluh.
Sekarang, yang tersisa hanyalah jejak samar-samar,
Siang itu Arif berkendara ke Semarang menuju kantor pusat Yayasan Kinasih—yayasan yang ia dirikan bertahun-tahun lalu untuk mengenang Retno.
Ia langsung masuk ke ruang admin.
“Nama penerima beasiswa: Lanang Damar Panuluh. Tolong tampilkan semua datanya.”
Suaranya tegas, namun bergetar.
Petugas membuka database yayasan.
Beberapa detik kemudian, ia mengerutkan kening.
“Pak… data penerima beasiswa atas nama itu ada. Tapi statusnya—”
Ia berhenti.
Arif mendekat.
Status: Non-aktif sementara
Alasan: Pindah universitas
Tujuan: Tidak tercatat / belum diperbarui
Arif mengerutkan dahi. “Tidak tercatat?”
Petugas mengangguk gelisah.
“Kami menerima laporan lisan bahwa mahasiswa tersebut pindah ke luar negeri, tapi belum ada dokumen resmi. Sistem belum mencatat universitas barunya, Pak.”
Arif menelan ludah.
“Jadi… kalian tidak tahu dia pindah ke universitas mana?”
“Belum, Pak.”
“Tidak ada catatan negara tujuan, jurusan, program transfer… apa pun?”
“T-tidak ada, Pak. Mohon maaf.”
Arif tidak menyerah.
Ia melanjutkan ke Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta — kampus tempat Lanang kuliah sebelumnya.
Di ruang akademik, staf fakultas hanya bisa memberikan jawaban yang sama:
“Mahasiswa atas nama Lanang Damar Panuluh mengajukan cuti karena alasan keluarga.
Setelah itu… tidak ada info lanjutan. Data kepindahan belum lengkap.
Kami tidak tahu ia pindah ke universitas mana.”
Arif memegang kepalanya.
Ini mustahil.
Di era digital seperti ini, mahasiswa pindah ke luar negeri tanpa data yang jelas?
“Apakah mungkin berkasnya… tersendat?”
Staf menjawab pelan, “Bisa jadi. Apalagi jika pemindahan dilakukan mendadak, saat kondisi keluarga terdesak.”
Arif kini duduk sendiri, ditemani secangkir kopi dingin yang tidak ia sentuh sejak satu jam lalu.
Pikirannya berkecamuk:
Retno dibawa ke luar negeri karena sakit.
Lanang mengurus itu sendirian.
Dan semua jejak administratifnya tidak lengkap.
Seolah-olah mereka menghilang dari dunia.
Arif memejamkan mata, menahan guncangan emosi.
Kalau Retno dioperasi… berarti kondisinya parah.
Anaknya pasti kesulitan.
Dan ia—ayah kandung Lanang—tidak ada di sana.
Tidak pernah ada di hidup mereka.
Ia meremas foto Retno.
“Aku akan menemukan kalian. Meskipun seluruh dunia menolak memberiku petunjuk.”
Sari berbaring dengan tenang di ranjang rumah sakit. Kepalanya masih dibalut perban ringan, namun monitor menunjukkan detak jantung stabil.
Lanang duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat.
Di luar ruangan, Pak Aldo baru selesai menyelesaikan panggilan telepon panjang dengan pihak universitas dan jaringan koleganya.
“Administrasi kepindahanmu masih berproses, Nang,” ucapnya ketika masuk.
Lanang hanya mengangguk pelan.
Pikirannya masih terkunci pada ibunya.
Saat itu, ponsel Lanang bergetar.
Rengganis mengirim video call.
Wajah gadis berhijab itu tampak jelas, matanya berkaca-kaca melihat kondisi sahabatnya.
“Lanang… Kamu pasti capek banget… tapi kamu kuat, ya?”
Suaranya bergetar.
Lanang menunduk. “Ibu belum sadar, Nis…”
Rengganis menggigit bibirnya, menahan tangis yang hampir pecah.
“Aku ikut doain dari sini… kalau aku bisa, aku mau banget nyusul ke Amerika…”
Lanang tersenyum kecil.
Senyum yang sudah lama tidak muncul.
“Aku senang kamu video call. Rasanya nggak sendirian.”
Rengganis memegang dada, seakan menahan sesuatu.
“Aku selalu di sini, Nang… aku selalu…”
Koneksi terputus, namun kehangatan itu masih tersisa.
Kembali ke Indonesia — Arif
Pukul dua dini hari.
Arif berdiri di balkon losmen, menatap gelapnya lembah Gumalar.
Ia baru saja menelpon pihak imigrasi untuk mencoba mencari data perjalanan internasional atas nama Lanang Damar Panuluh atau Sari Retnowati.
Jawabannya:
“Maaf Pak, data tidak dapat dibuka oleh pihak umum.”
“Dan… ada indikasi kedua nama tersebut menggunakan jalur rujukan medis khusus.”
Artinya…
Tidak akan mudah menemukan mereka.
Arif menunduk, menahan rasa putus asa.
Tapi dalam kesunyian malam itu, ia berbisik:
“Retno… Lanang… tunggu aku.”
Walau samudra luas memisahkan,
walau jejak administratif terhapus,
walau dunia seolah menutup semua pintu—
Ia tidak akan menyerah.
Tidak lagi.
Bukan setelah kehilangan selama dua puluh tahun..
menarik