Bayu, seorang remaja yang sedang dalam proses pencarian jati diri. Emosinya yang masih labil, membuat ia mudah tersulut emosi dan juga mudah terhasut.
Suatu malam, Bayu pulang dalam keadaan mabuk. Sang ayah yang kecewa dan marah, tanpa sadar memukulinya.
Termakan hasutan tetangga, Bayu tega melaporkan ayahnya dengan tuduhan kekerasan anak. Hubungan ayah dan anak yang sebelumnya sudah goyah, menjadi semakin buruk. Namun, pertemuannya dengan seorang gadis sedikit membuka mata hatinya.
Sebuah rahasia besar terungkap ketika ibunya pulang kembali ke kampung halaman setelah dua tahun menjadi TKW di luar negeri.
Apa rahasia besar itu?
Mampukah rahasia itu menyatukan kembali hubungan ayah dan anak yang terlanjur renggang?
Ikuti kisah selengkapnya dalam 👇👇👇
MAAFKAN AKU, AYAH
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20. RAHASIA YANG TERBONGKAR
RAHASIA YANG TERBONGKAR
Hari itu, Pak Ahmad tidak pergi ke mana-mana. Langkahnya terasa berat untuk meninggalkan rumah, pikirannya dipenuhi kekhawatiran tentang kondisi Bayu. Bahkan tubuhnya seakan tak sanggup untuk bergerak, ia hanya duduk termenung di ruang tamu, menantikan kepulangan anaknya dari sekolah.
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Jarum jam seolah enggan bergerak, menambah kegelisahan Pak Ahmad. Ia sesekali melirik ke arah jendela, berharap melihat sosok Bayu yang sudah ia rindukan.
Akhirnya, penantian itu berakhir. Tepat pukul 11.00 siang, Bayu tiba di rumah. Mungkin karena hari itu adalah hari Jumat, sehingga Bayu pulang lebih cepat dari biasanya.
Bayu melangkah masuk ke dalam rumah dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Ia mengucapkan salam dengan riang, lalu menyalami ayahnya dengan hormat. Pak Ahmad membalas salam Bayu dengan senyum getir, berusaha menyembunyikan kekhawatiran yang sedang ia rasakan.
"Assalamualaikum, Ayah!" sapa Bayu, mencium tangan Pak Ahmad dengan sayang.
"Waalaikumsalam, Nak," jawab Pak Ahmad, mengusap rambut Bayu dengan lembut. "Sana ganti baju, setelah itu makan. Ayah sudah masak sayur sop dan ikan goreng kesukaanmu."
Bayu mengangguk dengan semangat. "Siap, Ayah!" serunya, lalu bergegas menuju kamarnya untuk berganti baju dan meletakkan tas sekolahnya.
Bayu berjalan sambil bersiul riang, tak menyadari perubahan pada raut wajah ayahnya. Ia begitu senang bisa pulang lebih cepat dan menikmati masakan kesukaan yang sudah lama tidak ia rasakan.
Beberapa saat kemudian, Bayu telah berada di meja makan. Ia melihat ayahnya sudah menunggu, menatapnya dengan senyum hangat. Bayu duduk di kursi dan mulai menyantap makanannya dengan lahap. Ia bahkan beberapa kali memuji hasil masakan ayahnya, membuat hati Pak Ahmad terasa sedikit terobati.
"Enak banget, Ayah! Masakan Ayah selalu yang terenak," ucap Bayu, dengan mulut penuh makanan.
Pak Ahmad tersenyum tipis, masih menahan diri untuk berbicara. Ia ingin menunggu sampai Bayu selesai makan, agar perut anaknya kenyang lebih dulu.
"Ayo, tambah lagi kalau kamu suka masakan Ayah. Kamu harus makan yang banyak. Badanmu terlihat kurus," ucap Pak Ahmad, berusaha bersikap seperti biasa.
"Ada Ayah di rumah, aku pasti akan banyak,” jawab Bayu, dengan semangat. "Tapi kenapa Ayah tidak makan? Ayah hanya menunggu aku saja?"
"Ayah sudah makan tadi," jawab Pak Ahmad, berbohong. "Ayah tidak bisa menahan lapar, jadi Ayah makan lebih dulu sebelum kamu datang dari sekolah," tambahnya, berusaha meyakinkan Bayu.
Tanpa Bayu tahu, sebenarnya Pak Ahmad bahkan tak sanggup menelan makanan sebutir pun. Perasaannya terlalu campur aduk, antara sedih, khawatir, dan takut.
Hingga kemudian, Bayu selesai makan dan berpamitan pada ayahnya untuk mandi karena harus segera ke masjid yang tak jauh dari rumah mereka. Sebentar lagi adzan pasti berkumandang, waktunya sholat Jumat.
"Ayah, aku mandi dulu, ya. Nanti tungguin kalau mau berangkat," ucap Bayu lalu berdiri dari kursinya.
Pak Ahmad mengangguk, menatap nanar punggung anaknya yang berjalan dengan tergesa-gesa menuju kamarnya. Ia merasa dadanya sesak, menahan air mata yang ingin tumpah.
Sampai di kamarnya, Bayu langsung mencari obat yang ia simpan di bawah kasur. Ia menggeser kasur dan meraba-raba bagian bawahnya, namun tidak menemukan apa yang ia cari.
"Di mana aku simpan obat tadi pagi?" gumam Bayu.
Bayu mulai mengangkat bagian kasur dari sisi lainnya, tapi tetap tak menemukan apa yang ia cari. Padahal dia harus segera meminum obat itu.
Begitu panik mencari, hingga tidak sadar bahwa sprei yang membungkus kasurnya sudah berubah warna karena pak Ahmad menggantinya dengan sprei baru.
Waktu terus berjalan, namun Bayu tak kunjung menemukan obat-obatannya. Kepanikan semakin melandanya, ia mulai merasa lemas dan putus asa. Tanpa ia sadar bahwa ayahnya telah berdiri di ambang pintu yang tak tertutup rapat. Memperhatikan setiap gerak-geriknya dengan tatapan sedih dan prihatin.
Pak Ahmad memang mengikuti langkah Bayu yang menuju kamarnya tadi. Dan melihat Bayu mengacak-acak kamarnya dengan frustasi, membuat dadanya terasa kian sesak.
"Apa ini yang kamu cari?" Pak Ahmad akhirnya bersuara. Ia sudah tak tahan melihat kegelisahan anaknya.
Suara pak Ahmad membuat Bayu terkejut dan menoleh ke arah sumber suara. Ia melihat ayahnya berdiri di ambang pintu dengan wajah pias. Di tangan Pak Ahmad, terangkat sebuah kantong plastik yang sangat ia hafal: kantong berisi obat-obatan yang selama ini ia sembunyikan.
Mata Bayu membulat, jantungnya berdegup kencang. Ia merasa seperti tertangkap basah melakukan kesalahan besar. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan, ia hanya bisa menatap ayahnya dengan tatapan kosong dan penuh ketakutan.
"Ayah..." gumam Bayu, dengan suara tercekat.
Pak Ahmad menatap Bayu dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kesedihan, kekhawatiran, dan juga sedikit kekecewaan di matanya.
Ia melangkah masuk ke dalam kamar Bayu dan mendekati anaknya. Ia menunjukkan kantong plastik berisi obat-obatan itu kepada Bayu.
"Obat apa ini, Bayu?" tanya Pak Ahmad, dengan suara pelan namun tegas. "Dan kenapa obat ini ada di bawah kasur mu?"
Bayu terdiam, tidak sanggup menjawab pertanyaan ayahnya. Ia merasa malu dan bersalah karena telah menyembunyikan penyakitnya dari ayahnya.
"Jawab Ayah, Bayu! Obat apa ini?" desak Pak Ahmad, dengan nada yang semakin cemas.
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Bayu. Ia tahu ia tidak bisa menyembunyikan kebenaran lebih lama lagi.
Dengan suara bergetar, Bayu akhirnya mengaku. "Itu... itu obatku, Ayah," ucap Bayu, dengan nada lirih. "Aku... aku sakit."
Pak Ahmad terkejut mendengar pengakuan Bayu. Walaupun sudah menduga sebelumnya, namun, ia tidak menyangka bahwa anaknya akan mengatakan hal itu.
"Sakit apa, Bayu?" tanya Pak Ahmad, dengan nada penuh kekhawatiran. "Apakah benar dugaan Ayah? Apakah sakit mu yang dulu benar-benar kambuh?"
Bayu terisak dan menundukkan kepalanya. Ia tidak sanggup menatap wajah ayahnya. Sebenarnya ia tak ingin kondisi tubuhnya membuat ayahnya terbebani. Tapi sekarang ayahnya sudah menemukan apa yang ia sembunyikan. Apa yang bisa ia lakukan selain mengangguk.
“Iya, Ayah."
Selamat bermalam di hotel prodeo pak Hadan...👊👊👊👊👊👊
Mo kabur...????? oooo..tidak bisa.....
kalian sdh dibawah pengawasan....🤭🤭🤭🤭