Aurelia Nayla, gadis pendiam yang terlihat biasa saja di mata teman-teman kampusnya, sebenarnya menyimpan misi berbahaya. Atas perintah sang ayah, ia ditugaskan untuk mendekati Leonardo—dosen muda yang terkenal dingin dan sulit disentuh. Tujuan awalnya hanya satu: membalas dendam atas kematian ibunya.
Tapi semua berubah saat Lia menyadari, kode rahasia yang ia cari tak hanya terkait kematian, tapi juga masa lalu yang jauh lebih kelam dan rumit. Apalagi ketika perasaannya mulai goyah. Antara kebencian dan cinta, antara kebenaran dan kebohongan, Lia terjebak di dunia penuh tipu daya… termasuk dari orang yang selama ini ia percaya.
Akankah Leo dan Lia tetap saling menghancurkan, atau justru saling menyelamatkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terseret perhatian
Suasana koridor kampus siang itu riuh. Desas-desus soal perubahan penampilan Lia yang mendadak jadi topik hangat di kalangan mahasiswa. Mereka yang terbiasa melihatnya tampil sederhana dengan sweater longgar dan celana jeans kini harus memutar kepala dua kali untuk memastikan kalau gadis cantik dengan rok hitam selutut, blouse putih ketat, dan rambut setengah digelung rapi itu benar-benar Lia.
"Dia... itu Lia, kan?" bisik salah satu mahasiswa di tangga.
"Serius lo? Gila, cantik banget!" sambung yang lain.
Namun Lia tak menggubris. Langkahnya mantap, wajahnya datar. Dalam pikirannya, hanya ada satu hal: menyelesaikan misi dari Derio, meski hatinya mulai tidak nyaman dengan kebohongan yang ia jalani.
Di dalam kelas, Leo sudah duduk di depan. Sosoknya seperti biasa: dingin, elegan, dan fokus membaca makalah yang akan dia bahas hari itu. Ia tak pernah terlalu peduli pada keramaian sekitar, apalagi gosip murahan soal penampilan mahasiswa.
Lia masuk tanpa berkata apa-apa, duduk di baris kedua dari depan. Ia bisa merasakan tatapan yang tertuju padanya—bukan hanya dari teman-teman sekelas, tapi juga dari Leo. Untuk pertama kalinya, Leo mengangkat kepala dan menatap langsung ke arahnya.
Sekilas.
Lalu kembali membaca.
Tapi itu cukup membuat jantung Lia berdebar.
"Penampilannya oke," ucap Leo tiba-tiba saat diskusi kelompok berlangsung.
Lia terdiam. Ia tidak yakin apakah itu pujian atau hanya komentar kosong. Nadine yang duduk di sebelahnya berbisik, "Lo cantik banget hari ini. Gue sampai lupa lo itu Lia yang biasanya doyan hoodie."
Lia hanya tersenyum tipis. "Cuma pengen coba hal baru," jawabnya singkat.
Saat jam istirahat, Leo memanggil Lia ke ruang dosen.
“Ada waktu sebentar?” tanya Leo, nadanya tenang tapi tetap mengintimidasi.
Lia mengangguk. Di dalam ruangan yang dingin dan tertutup, Leo menatapnya tanpa senyum.
"Ada yang berubah dari kamu. Tapi jangan salah sangka," katanya datar. "Penampilan bisa menipu, tapi gesture seseorang tetap memantulkan siapa dirinya."
Lia menelan ludah. “Maksud Bapak?”
Leo mencondongkan tubuhnya sedikit, menatap mata Lia lebih dalam.
“Aku tidak suka wanita yang mencoba mendekatiku untuk alasan yang tidak jujur.”
Deg.
Perkataan itu seperti tamparan bagi Lia. Namun dia berusaha tetap tenang.
“Aku tidak punya alasan lain datang ke kelas ini selain belajar, Pak,” jawabnya datar.
Leo memperhatikannya beberapa detik, sebelum akhirnya berkata, “Baik. Kita lihat sampai kapan kamu bisa konsisten dengan ucapanmu.”
Setelah keluar dari ruangan dosen, Lia berdiri di lorong cukup lama, menenangkan degup jantungnya. Entah mengapa, setiap bertemu Leo, ia merasa seolah pria itu bisa membaca isi kepalanya.
Sementara itu, Leo kembali duduk dan membuka folder lama yang tersimpan di laci. Di dalamnya, ada foto ayahnya—Allesandro Venturi—dengan coretan tangan Leo di bagian pinggir: “Kenapa kau mati begitu misterius, Pa?”
Di sisi lain, Dario sedang berbicara lewat telepon dengan seseorang.
“Dia sudah mulai merubah penampilannya?” tanya suara di seberang.
“Sudah. Tapi Leo itu terlalu hati-hati. Tak semudah itu dia lengah,” jawab Dario sambil menyesap minuman keras.
“Jangan terburu-buru. Kita butuh waktu. Ingat, angka itu ada padanya. Kita hanya perlu menemukan cara untuk membongkar tanpa dia curiga.”
Dario diam sejenak. Tatapannya gelap.
“Kalau semua cara gagal... aku sendiri yang akan menghadapinya.”