Prediksi Karmina mengenai kehidupan Dewa--ketua OSIS di sekolahnya--serta kematian misterius seorang mahasiswi bernama Alin, justru menyeret gadis indigo itu ke dalam kasus besar yang melibatkan politikus dan mafia kelas kakap. Akankah Karmina mampu membantu membalaskan dendam Dewa dan Alin? Ataukah justru mundur setelah mengetahui bahwa sasaran mereka bukanlah orang sembarangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ira Adinata, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menawarkan Kebaikan
Pak Rohman akhirnya selesai mengurut pelanggannya setelah satu jam berlalu. Pria itu bersyukur dengan hasil yang didapatnya hari ini. Bang Jupri dengan murah hati memberi upah lebih banyak, sebab percaya bahwa tangan ajaib Pak Rohman dapat menyembuhkan pegal linu dalam sekejap.
Diantar oleh keponakan Bang Jupri, Pak Rohman kembali ke rumah Dewa. Karmina tampak semringah menyambut sang ayah yang baru selesai mengurut pelanggannya.
"Makasih, ya, Bang. Udah nganterin Babe gue sampe sini," ucap Karmina tersenyum ramah pada pemuda yang mengantar sang ayah.
"Iya, sama-sama," sahut keponakan Bang Jupri membalas senyuman Karmina.
Dari dalam rumah, Dewa muncul dengan memasang wajah masam. Rupanya ia tak suka melihat Karmina saling berbalas senyum dengan keponakan Bang Jupri yang terkenal playboy.
Sementara itu, Karmina yang menyadari kehadiran Dewa di belakangnya, segera menoleh. Kekesalan di wajah lelaki itu begitu kentara, sehingga membuat Karmina tergelitik untuk menggodanya. Selepas keponakan Bang Jupri pergi, gadis berambut pendek itu berbalik badan memandang Dewa.
"Kenape lo? Cemburu?" tanya Karmina sambil menyunggingkan senyum.
Seketika, raut masam memudar dari wajah Dewa. "E-Enggak kok. Lo aja yang kegeeran," kelitnya gelagapan.
"Mina, lo kagak ngapa-ngapain sama temen lo, kan?" tanya Pak Rohman menyela.
"Ngapa-ngapain gimana, Beh? Maksudnya ngerjain PR bareng?" Karmina balik bertanya.
"Ya elah ... masa lu kagak ngarti? Itu ... yang dilakuin anak muda zaman sekarang. Babe khawatir lu ngapa-ngapain bareng temen cowok lu sampe bunting," jelas Pak Rohman menekankan nada bicaranya.
Terbelalak mata Karmina mendengar prasangka sang ayah. Begitu juga dengan Dewa yang tak menyangka bahwa Pak Rohman akan berpikir sejauh itu.
"Astaghfirullah! Babe ini ngomong apaan, sih? Mina nggak ngapa-ngapain, Be! Lagian Dewa ini temen sekolah doang, bukan pacar Mina!" bantah Karmina.
"Iya, Pak. Tenang aja. Saya anak baik-baik, kok. Kagak bakal ngerusak anak Bapak," imbuh Dewa menegaskan.
"Syukur deh." Pak Rohman mengembuskan napas lega. "Awas aja kalau lu berbuat macem-macem, Mina! Entar Babe suruh nyak lu buat kawinin lu sama duda. Kagak usah sekolah-sekolah lagi dah."
"Idih! Kok Babe gitu, sih? Mina sekolah tuh buat belajar biar pinter, bukan mau bikin anak," sanggah Karmina.
Menyaksikan perdebatan antara ayah dan anak itu, Dewa hanya bisa menahan senyum. Terselip rasa rindu pada mendiang sang ibu tatkala melihat Karmina berbicara dengan Pak Rohman. Terbayang jelas olehnya, betapa hangat suasana rumah jika Bu Dahlia masih hidup. Akan tetapi, semua itu hanya tinggal kenangan yang mustahil terulang kembali.
"Be, bisa tolong urutin Dewa, nggak? Kasihan badannya pegel-pegel abis berantem sama dua orang yang badannya gede-gede," pinta Karmina.
"Kalau upahnya gede mah ayok aja," jawab Pak Rohman.
"Babe ini mikirin duit mulu, ih. Sekali-kali pikirin pahala nolongin orang, Be. Kasihan temen Mina ini, udah yatim piatu," bujuk Karmina memegang tangan ayahnya.
"Eh? Nggak usah repot-repot, Karmina. Gue bakalan sembuh sendiri, kok," tolak Dewa dengan sungkan.
"Nggak apa-apa, Wa. Mumpung bokap gue ada di sini. Lo, kan, harus sekolah lagi besok," tutur Karmina, lalu melirik pada ayahnya. "Be, urutin temen Mina dong. Bentaran doang, kok. Kasihan dia udah kagak punya nyak babe."
"Iya, iya. Ayok, Babe pijitin!" kata Pak Rohman sembari melangkah menuju pintu masuk, dan meraba-raba jalan menggunakan tongkatnya.
"Eh, tapi--"
"Udah, masuk aja," potong Karmina mendorong Dewa masuk ke rumah.
Setibanya di ruang tengah, Karmina membantu sang ayah duduk di tikar. Sementara itu, Dewa melepas bajunya di hadapan Karmina dan Pak Rohman. Suasana pun berubah canggung ketika gadis berambut pendek itu terkesima dengan bentuk tubuh Dewa yang atletis.
"Anjir!" desis Karmina melongo, memandangi Dewa tanpa berkedip sedikit pun.
"Ngapain lo lihatin gue kayak gitu?" tanya Dewa sembari mendelik.
"E-Enggak. Lo lanjut berbaring aja di depan Babe. Gue mau ke warung dulu." Karmina berdalih, lalu bergegas pergi ke depan rumah.
Setelah Karmina pergi, Dewa membaringkan tubuhnya di depan Pak Rohman dengan posisi tengkurap. Adapun Pak Rohman, menuangkan minyak urut ke telapak tangan, kemudian mengoleskannya ke punggung lelaki itu. Sejenak, ayah Karmina tertegun dengan badan Dewa yang kekar dan berotot.
"Umur lu berape, Tong? Kok otot lu kenceng amat?" tanya Pak Rohman mulai memijat bagian tengkuk dan pundak Dewa.
"Ya ... Sama kayak anak Bapak. Kami sepantaran," jawab Dewa dengan entengnya.
"Lah? Kirain udah dua puluhan. Lu pasti rajin olahraga sama belajar silat, ya, pantes badan lu bagus," ucap Pak Rorman.
"Hehe ... Iya, Pak," kata Dewa tersenyum tipis.
"Jangan panggil, Pak. Panggil aja Babe. Orang-orang biasa manggil gitu," ujar Pak Rohman, sembari menggosokkan minyak urut ke lengan Dewa.
"Iya, Be."
Pak Rohman mengurut lengan Dewa dengan menekan beberapa bagian otot yang terasa kaku. Dewa tampak meringis tatkala pria tuna netra itu memperbaiki setiap urat syaraf lewat pijatannya.
Ketika Karmina kembali dari warung, terdengar suara jeritan Dewa begitu nyaring hingga teras rumah. Secepatnya, gadis itu berlari menuju ruang tengah, mendapati sang ayah sedang mengurut lengan kanan Dewa.
"Tahan dikit nape? Lu tuh cowok! Masa gitu doang sakit?" ujar Pak Rohman.
Alih-alih menegur ayahnya, Karmina terkekeh-kekeh menyaksikan Dewa mengerang kesakitan akibat pijatan tangan ajaib Pak Rohman. Setidaknya, ia merasa lega jika Dewa cepat pulih dan bersekolah seperti biasanya pada esok hari.
***
Bel tanda istirahat telah berdering. Semua siswa berhamburan ke luar kelas untuk sekadar menghilangkan penat setelah mengikuti beberapa mata pelajaran.
Karmina memesan es jeruk ke kantin. Gadis itu sangat muak berlama-lama di kelas, sejak Zahra semakin menggila. Putri Sahar Muzakir itu kali ini lebih rajin memamerkan alat tulis sampai skincare mahal yang dipakainya. Pantas jika siswi lain di kelasnya merasa kagum dengan semua yang dimiliki Zahra.
Selesai menerima es jeruk, Karmina duduk sejenak di kursi kantin sendirian. Tak ada seorang pun yang mau berteman dengannya, disebabkan karena perbedaan kelas sosial. Di sekolah itu, Karmina-lah yang paling miskin dan menyedihkan.
Sementara di sisi lain kantin, ada Dewa yang sengaja mengasingkan diri, sambil membaca agenda kegiatan OSIS dalam waktu dekat. Selain berusaha menjaga identitas lain sebagai anggota organisasi rahasia yang gemar menghabisi pejabat secara diam-diam, ia enggan bergaul dengan banyak orang, sekalipun berasal dari sesama anggota OSIS. Baginya, membangun koneksi dengan orang lain cukup sekadar demi kepentingan tertentu saja, bukan untuk saling berbagi masalah pribadi, apalagi perasaan.
"Hai, Dewa! Lo lagi baca apaan tuh?" tanya Zahra tiba-tiba mengejutkan Dewa. Gadis itu menengok ke buku hitam yang dipegang oleh Ketos seolah ingin tahu.
Alih-alih menggubris Zahra, Dewa menutup buku agenda, kemudian beranjak dari tempatnya duduk. Saat hendak melangkah pergi, Zahra memegang tangannya sembari bangkit dari kursi.
"Lo mau ke mana? Gue cuma pengen ngobrol doang sama lo," kata Zahra, berusaha menahan kepergian sang ketos.
Dewa mengibaskan tangannya sampai genggaman Zahra lepas. "Gue males ngomongin hal nggak penting," ketusnya.
Zahra termangu memandangi lelaki bertubuh tinggi tegap itu pergi meninggalkannya. Kendati demikian, tekadnya mendapatkan hati Dewa tidaklah surut. Gadis berambut panjang itu mengejar Dewa yang hendak meninggalkan kantin.
Sementara itu, Dewa yang menyadari sedang diikuti oleh Zahra, berbalik kembali menuju kantin. Kebetulan, ia melihat Karmina sedang duduk sendirian sambil menyeruput es jeruk. Tanpa basa-basi, Dewa menggenggam tangan Karmina dan menyuruhnya berdiri.
"Mau ngapain lo, Wa?" tanya Karmina tercengang.
"Nggak usah banyak tanya. Ikut gue sekarang juga!" perintah Dewa dengan datar.
Karmina menuruti kemauan Dewa, kemudian mengikuti ke mana sang ketos pergi. Di sisi lain, Zahra terperangah menyaksikan lelaki pujaannya membawa perempuan lain dari kantin. Hatinya semakin panas terbakar api cemburu.
Meski begitu, Zahra tak mau diam saja. Ia masih penasaran dengan apa yang akan dilakukan oleh Dewa dan Karmina. Gadis itu mempercepat langkah agar tak kehilangan jejak mereka berdua.
Setibanya di gudang belakang sekolah, Dewa mendorong tubuh Karmina hingga bersandar ke tembok. Lelaki itu menempelkan kedua tangan ke dinding di belakang Karmina, lalu sedikit membungkuk untuk mendekatkan mukanya ke wajah gadis bertubuh mungil itu.
"Mau ngapain lo?" Karmina membelalakkan mata lebar-lebar. Jantungnya berdebar kencang, napasnya memburu. Berbagai prasangka buruk berkecamuk di benaknya, sehingga membuat gadis itu diam tak berkutik.