Gita terjatuh saat merenovasi balkon bangunan yang menjadi tempatnya bersekolah saat SMA.
Saat terbangun, ia berada di UKS dan berada dalam tubuhnya yang masih berusia remaja, di 20 tahun yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Verlit Ivana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tamu Wanita Tua
"Sini Bik, apa ada yang mau Bibik omongin sama saya?" tanya Wulan, seraya memanggil wanita tua itu mendekat.
Wanita keriput berjilbab itu terlihat resah dan ragu, kata-kata yang telah ia rangkai dalam benaknya seolah tersangkut di tenggorokan. Namun ia tetap melangkah mendekat, kemudian berdiri dekat Wulan, seraya menatap satu-persatu tamu berseragam di sana.
Gita menatap dan menunggu dengan tenang. Bibik ini berada paling sering berada di kediaman Wulan, bisa jadi frekuensi dia bertemu dengan Denting pun lebih banyak.
"Anu ... soal Denting yang kos di sini itu. Sebenarnya, waktu itu enggak pulang," tutur wanita tua itu.
"Maksudnya gimana Bik? Dia udah lama gak pulang?" tanya Wulan. Gue jadi malu, padahal dia kos di rumah gue, tapi mentang-mentang bayaran tetep lancar, gue gak pernah kepikiran untuk perduli sama kehidupan dia.
Wanita tua berjilbab bernama bik Rosma itu pun bercerita, "Waktu beberapa bulan lalu, Denting bilang mau bawakan saya rujak yang mangkal di dekat sekolahnya. Tapi sampai malam saya tungguin, dia enggak datang-datang."
"Menunggu sampai malam ... apa Ibu tinggal di sini, atau di sekitar sini?" tanya Gio, setelah mengangkat tangannya untuk izin menyela.
"Bik Rosma ini sudah mengasuh saya sejak saya balita. Dia tinggal di sini sejak saat itu." Wulan menjelaskan.
Gita menatap bik Rosma, memintanya lanjut bercerita, sedangkan Gio bangkit berdiri dan memberikan kursinya untuk wanita itu.
"Saya pikir, mungkin dia lagi pergi main dengan teman-temannya dulu. Karena ketika berangkat, dia bilang kalau hari itu adalah hari terakhir ujian kenaikan kelas. Dia kelihatan senang," kenang bik Rosma, teringat wajah cantik Denting.
"Besoknya saya cek ke kamarnya, tapi masih dikunci. Saya pikir ... mungkin dia masih tidur. Ya sudah saya biarkan saja, toh nanti juga ketemu. Tapi besok dan besoknya lagi Denting gak muncul-muncul. Akhirnya saya putuskan untuk laporan ke ibunya mbak Wulan." Bik Rosma menjeda.
"Terus tanggapan ibu gimana, Bik?" tanya Wulan.
"Kata ibu, paling dia mudik. Karena akan libur panjang kenaikan kelas," jawab Bik Rosma lirih.
Gio ingin menyanggah, namun ia tahan hingga hanya protes dalam hati. Gimana bisa mudik, bagi raport aja belum. Gue masih belum sepenuhnya percaya dengan cerita Gita kalau kak Denting diserang, semoga yang Gita bilang itu keliru.
"Ya sudah, saya percaya aja sama ibu. Mungkin saya aja yang terlalu khawatir, sebab Denting itu anak perantauan. Dia cerita, kalau dia ada di sini sebab ada beasiswa yang dikirim ke SMP nya di kampung, karena dia berprestasi," lanjut bik Rosma, ada rasa bangga terselip di sana.
"Waktu anak-anak sekolah sekitar sini udah mulai masuk lagi, Denting masih belum kembali. Tau-tau ... mbak Wulan cerita kalau Denting pindah sekolah ke kota lain. Sekolah yang lebih bagus."
Gita memijat pelipisnya. *Si Tomy ... kenapa juga sih dia harus kirim pesan pake nomor Denting? Jadinya kan orang-orang ini gak tau kalau cewek itu hilang. *
"Berarti semua baik-baik aja dong ya?" Raut Wulan kini tampak lega. Gue kira si bibik mau ngomong apaan tegang banget. Mungkin karena udah tua ya dia, jadi apa-apa dibawa serius.
Bagi orang-orang yang minim informasi seperti Wulan, bahkan Gio, cerita bik Rosma terdengar biasa dan wajar. Tapi tidak bagi Gita dan Yuli. Fakta bahwa Denting tak pulang di hari ia diserang, serta ponsel gadis itu yang kini berada di tangan Tomy, cukup menandakan jika ia menghilang.
Gita kemudian tersadar akan suatu hal. Siapa yang memulai rumor Denting pindah sekolah? Kalau benar dia pindah, bukankah ada dokumen yang diurus dan melibatkan pihak Pelita?
"Sebelum Adek-adek ini ke mari. Sebelumnya pernah ada yang datang ke sini mencari Denting juga," tutur bik Rosma, membuat Gita menajamkan telinganya untuk menyimak kembali.
"Siapa Bik?" tanya Wulan.
"Anak sekolahan juga. Katanya dia teman Denting, tapi dari kampungnya," jawab bik Rosma, kemudian mengatur napasnya.
"Dia mengaku sebagai tetangga Denting di kampung. Mengabari kalau neneknya Denting sakit, tapi Denting gak bisa dihubungi, dan anak itu sudah lama enggak memberi kabar pada neneknya, padahal dialah satu-satunya keluarga Denting di kampung."
"Lho ... bukannya dia baru pulang kampung?" Wulan menegakkan punggung. Duh feeling gue gak enak.
"Itulah makanya, saya juga bingung. Tapi karena sebelumnya saya dapat kabar dari mbak Wulan kalau Denting pindah sekolah ... ya saya bilang aja begitu ke temannya. Apa ... saya salah ya?" Bik Rosma kini tampak tidak tenang.
Bik Rosma sebagai orang tua yang berjauhan dengan anak, merasa bersempati pada neneknya Denting, sehingga ingin mengatakan hal yang baik-baik saja, agar orang tua di kampungnya tersebut merasa tentram, meski di dalam hati bik Rosma tetap khawatir dengan Denting.
Gita melihat Wulan yang tampak cemas, namun Gita merasa jika untuk saat ini sebaiknya tidak perlu melibatkan terlalu banyak orang mengenai hilangnya Denting. Ditambah lagi, Wulan masih menerima SMS dari nomor gadis penulis itu.
Yuli merasa pusing mendengar kisah Denting, sedang Gio tampak kecewa. Lelaki berkaca mata itu sebenarnya masih berharap jika akan bertemu dengan Denting di rumah tersebut.
Gita menghela napas, dan menepuk pelan Yuli.
"Yah, kita emang gak jodoh kayaknya ketemu sama kak Denting," tukas Gita, membuat Yuli menautkan alisnya.
"Mungkin kak Denting lagi fokus adaptasi sama sekolah barunya, ya. Denger-denger beasiswa berlanjut di sekolah baru itu. Tinggalnya juga di asrama kabarnya, enak itu tinggal bawa badan, semua udah difasilitasi." Gita kembali mengarang bebas.
Yuli dan Gio awalnya bingung, tapi mereka cepat menangkap maksud Gita.
Wulan dan bik Ratmi tampak memikirkan ucapan Gita, dan merasa hal itu ada benarnya. Keberadaan barang-barang serta pakaian Denting di kosan itu yang sempat terasa janggal, kini seolah masuk akal ... karena seperti penuturan Gita, Denting kini tinggal di asrama dengan fasilitas memadai.
"Pantesan dia bela-belain tetep bayar sewa bulanan padahal udah gak tinggal di sini. Rupanya dia bayar untuk nitip barang-barangnya aja," tutur Wulan lega.
Meski masih merasa bingung, wajah bik Ratmi pun kini sudah tak lagi tegang. Gita bersyukur kedua orang di hadapnnya itu mudah percaya dan tidak berpikir terlalu jauh tentang Denting.
Usai berbicang santai beberapa saat, ketiga anak SMA itu pun pamit, dengan diantar bik Rosma melintasi halaman rumah.
"Denting kamarnya di sebelah sana," tunjuk bik Rosma ke arah samping rumah utama.
Gita memicingkan mata, di balik pohon rambutan, tampak bagian rumah berbentuk memanjang yang seperti tambahan dari bangunan utama.
Gita dan Yuli menatap sendu pintu bercat putih yang tertutup rapat di sana, sedangkan Gio terdiam menatap ke arah yang sama dengan Gita. Wajah tampan itu tampak tenang, namun aneka pikiran berkecamuk dalam kepalanya.
"Oh iya, mungkin gak penting ... tapi saya sempat lihat kalau teman Denting dari kampung itu punya tato," ucap bik Rosma tiba-tiba.
Seketika Gita membeku, teringat seseorang di masa depan. Enggak mungkin orang yang sama kan? Lagi pula yang punya tato bukan cuma dia.
***