Apa yang harus dilakukan untuk menghilangkan kelabu yang menyelimuti rumah tangga selama lima tahun?
Khalisah meminta suaminya untuk menikah lagi dengan perempuan yang dipilih mertuanya.
Sosok ceria, lugu, dan bertingkah apa adanya adalah Hara yang merupakan teman masa kecil Abizar yang menjadi adik madu Khalisah, dapat mengkuningkan suasana serta merta hati yang mengikuti. Namun mengabu-abukan hati Khalisah yang biru.
Bagaimana dengan kombinasi ini? Apa akan menjadi masalah bila ditambahkan oranye ke dalamnya?
Instagram: @girl_rain67
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girl_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
E. 26~ Tanpa Pernah Jelas
Abizar berusaha fokus ke depan sembari berusaha bersikap biasa atas tatapan selidik Khalisah yang terang-terangan.
Sengaja Khalisah melakukannya untuk melihat reaksi Abizar, dan mengetahui ketidaknyamanan menciptakan perih di hatinya. Khalisah tersenyum kecut di balik cadar.
Sekarang, bagaimana lagi aku biasa percaya.
Mendadak Khalisah mengerutkan kening, dan itu berhasil ditangkap netra Abizar.
"Kenapa?" tanya Abizar khawatir.
"Mas, boleh berhenti sebentar nggak di mesjid terdekat?"
"Oh, oke." Beberapa menit perjalanan, Abizar menghentikan laju mobil begitu menemukan mesjid terdekat.
Khalisah hendak keluar, namun lengannya dipegang sang suami.
"Mau Mas temani?"
"Enggak usah Mas, aku nggak lama."
Katanya begitu, namun Abizar melihat jam tangan yang dihitungnya sudah lima belas menit semenjak Khalisah keluar mobil, dan syukurlah ia kembali.
"Aku fased, Mas," ujar Khalisah sambilan menutup pintu mobil.
"Fased." Abizar kembali melajukan mobilnya.
"Itu 'loh di faraj aku keluar darah padahal masa quro' (suci) aku belum sampai lima belas hari, jadinya aku masih wajib salat dan boleh melakukan hal lainnya selayaknya wanita dalam masa quro' (suci)," terang Khalisah.
Abizar mengangguk. "Terus kamu ada pembalut?"
"Udah beli tadi." Nada bicara Khalisah terdengar riang hingga berhasil menerbitkan senyum Abizar.
"Tapi kok bisa kamu keluar sebelum waktunya, emang penyebab fased apa?"
Stres alias banyak pikiran. Tapi nggak mungkin aku jawab kek gitu, takutnya kamu nanya-nanya, batin Khalisah yang menangis.
"Takdir." Jadilah Khalisah memberikan jawaban klise.
Satu alis Abizar terangkat akibat jawaban tepat istrinya, terlalu tepat hingga tidak perlu ditanyakan lebih lanjut.
Jika tak ada pemberhentian mungkin dua puluh menit lalu mereka sampai di kota Bekasi. Mampir di salah satu hotel untuk menginap di sana beberapa hari yang dibutuhkan.
Khalisah mengatur beberapa pakaian mereka di dalam lemari, sedang Abizar menelpon di sudut ruangan yang berseberangan dengan posisi Khalisah sekarang. Meski begitu kata 'baik, baik' sang suami masih bisa terdengar.
Selesai membereskan barang-barang, Khalisah duduk di kasur sehingga Abizar mematikan ponsel dan nimbrung di kasur juga.
"Besok Mas ada pekerjaan dan nggak bisa bawa kamu. Mungkin sekitar beberapa hari baru selesai, tapi malamnya Mas janji bakal pulang. Selama itu kamu di hotel aja, tapi kalau mau ke kafe hotel boleh kok. Di samping hotel juga ada mall, kamu boleh berbelanja di sana. Nanti setelah Mas menyelesaikan pekerjaan Mas, baru kita jalan-jalan ya," jelas Abizar sambil menempatkan telapak tangan di atas kepala istrinya yang berbalut kain.
"Baik, Mas. Terima kasih sudah ngizinin aku ikut," tutur Khalisah menumpuk tangan di atas tangan suaminya.
"Iya. Sekarang kita makan ya, mau apa? Biar Mas pesan," papar Abizar.
"Lagi kepengen mie," jawab Khalisah spontan.
"Oke."
Tak banyak dilakukan setelahnya, hanya salat bersama, makan dan mengobrol untuk menghabiskan waktu agar menuju hari esok.
Hingga bulan hampir menggapai puncaknya, Khalisah dan Abizar berbaring di kasur dengan posisi saling berhadapan. Dan Khalisah memegang tangan yang bertengger di pipinya, dan menampakkan senyum simpul kepada sang suami.
"Mas, punya sesuatu disembunyikan nggak?" tanya Khalisah.
Yang ditanya tampak menimang-nimang. "Kayaknya enggak."
"Baiklah." Memilih menutup mata, supaya matanya itu tak lagi mencoba menyelidiki wajah di hadapannya.
Jujur, Khalisah takut menghadapi hari esok. Namun waktu tetap akan berjalan dan tidak menunggu dirinya untuk siap, justru setiap detiknya menjadi kegelisahan baginya.
Andai.... Ah, aku tidak mau munafik dengan bilang akan menerimamu dulu meski kamu mengaku sebagai pengedar narkoba. Lalu, bagaimana sekarang? Bisakah aku menerimanya.
Sedikit tersentak ketika tangan yang berada di pipinya kini merambat ke kepala dan mengelus rambutnya. Abizar mencium kening Khalisah dan ikut istrinya itu memasuki alam bawah sadar.
Keesokan harinya.
Pagi-pagi sekali Khalisah terbangun dan tidak mendapati sang suami di sampingnya, melainkan sebuah stik note yang tertempel di kepala ranjang. Khalisah menariknya.
...Maaf, Mas harus berangkat pagi-pagi sekali dan tidak tega ngenbangunin kamu. Makanannya udah aku pesan, makan sampai habis pokoknya. Jangan kayak kemarin, oke? Nikmati waktunya....
^^^From: My Husband^^^
Pandangan Khalisah menyendu, dan disadarkan oleh ketukan pintu. Buru-buru Khalisah memakai setelannya dan membuka pintu.
"Ini sarapannya, Buk." Pelayan berjenis kelamin perempuan itu dibiarkan masuk oleh Khalisah, dan meletakkan makanan di atas meja.
"Maaf ya, suami saya merepotkan kalian sampai harus masak subuh-subuh gini," ujar Khalisah merasa tak enak hati. Tentu saja karena mas Abi memesan makanan disaat azan subuh belum berkumandang.
"Tidak apa-apa, Buk. Layanan kami dua puluh empat," ucap pelayan itu ramah. "Oh ya, Buk. Pak Abizar meminta kami untuk memastikan buk Khalisah menghabiskan makanan, kalau tidak kami bakal diminta pertanggung jawaban."
Spontan Khalisah melongo dibalik cadarnya. Mas Abi sampai segitunya kepada dirinya yang akhir-akhir ini makan sedikit.
Khalisah menghela napas. "Baik."
Khalisah memberi tips dan mengucapkan terima kasih sebelum pelayan itu keluar. Bersama dengan itu azan subuh pun berkumandang.
Pada akhirnya Khalisah meninggalkan makanannya, dan baru memakannya saat salat subuh diselesaikannya.
Anggap saja sedekah, begitu batinnya mengatakan, akan tetapi wanita bercadar itu tetap memakannya beberapa suap. Selebihnya ia bungkus dan dimasukkan dalam kantong kresek agar pelayan itu enggak khawatir.
Pagi ini Khalisah memutuskan untuk hidup seperti saat dirinya masih lajang. Memakai pakaian serba hitam tapi putih untuk sepatu sneakernya, dan tak lupa buku dibawanya ke cafe.
Capucino dan cake coklat, lengkap. Khalisah bersorak riang dalam hati.
Belum menggapai lima menit Khalisah membuka buku, ia terganggu dengan suara 'cring' yang mengenai meja tempat duduknya. Khalisah menutup bukunya sehingga terlihatlah kunci kendaraan entah motor atau mobil.
"Ayo."
Khalisah hanya melirik ke atas dan mendapati wajah yang matanya tersipitkan, laki-laki itu memakai masker. Sontak ia merapatkan punggung ke sandaran kursi.
"Motor atau mobil?" tanya Khalisah, memakan cakenya sebelum berangkat ke tempat 'bukti nyata' yang dimaksud laki-laki di sampingnya ini.
"Motor," jawab Edgar.
Meminum capucinonya, barulah Khalisah mengambil kunci motor dan berdiri.
"Pesanannya sudah aku bayar," lontar Edgar mengikuti Khalisah.
Rasanya merinding ketika seluruh perhatian berpusat kepadanya, tidak lebih tepatnya kepada dirinya dan Edgar. Khalisah baru tersadar dengan pakaian laki-laki itu, yang memakai kaos putih dalam dan jaket hitam luarnya serta celana jeans hitam.
Bisik-bisik positif itu seakan terkumpul menjadi gunung uhud dan menimpanya.
"Kamu sengaja?" hardik Khalisah.
"Apanya?"
"Pakaiannya."
"Iya."
...☠️...
...☠️...
...☠️...
Like and komen ya, buat energi Rain 😎🌧️