Kayanara tidak tahu kalau kesediaannya menemui Janu ternyata akan menghasilkan misi baru: menaklukkan Narendra si bocah kematian yang doyan tantrum dan banyak tingkahnya.
Berbekal dukungan dari Michelle, sahabat baiknya, Kayanara maju tak gentar mengatur siasat untuk membuat Narendra bertekuk lutut.
Tetapi masalahnya, level ketantruman Narendra ternyata jauh sekali dari bayangan Kayanara. Selain itu, semakin jauh dia mengenal anak itu, Kayanara semakin merasa jalannya untuk bisa masuk ke dalam hidupnya justru semakin jauh.
Lantas, apakah Kayanara akan menyerah di tengah jalan, atau maju terus pantang mundur sampai Narendra berhasil takluk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15
Punggung lebar Naren menjadi hal pertama yang menyambut Mahen sewaktu masuk ke kamar mereka. Anak itu berbaring meringkuk membelakangi pintu, membungkus tubuhnya menggunakan selimut, dan membiarkan semua lampu padam hingga kamar mereka sepenuhnya gelap gulita.
Air conditioner sama sekali tidak dinyalakan, sedangkan perangkat komputer gaming milik mereka tampak menyala dengan keyboard dan mouse yang berserak di atas meja. Naren mungkin masih duduk di kursi empuk warna merah darah itu sesaat sebelum dirinya tiba.
"Ren," Telapak tangan Mahen menyentuh pundak Naren dari luar selimut. Meski embusan napas anak itu terlihat teratur, dia yakin Naren belum tidur.
Hening menyapa lebih buruk daripada yang Mahen duga. Sekadar gerakan menggeliat pun tak dia dapatkan sebagai respons dari Naren.
"Abang tahu kamu belum tidur." Pantatnya sudah mendarat di tepian kasur, sedangkan tangannya bergerak cepat menyibak selimut tebal yang membalut tubuh Naren hingga membuat anak itu melotot sebal.
Tetapi, bukan tatapan tajam Naren yang menyita perhatiannya, melainkan jejak air mata yang tertinggal di pipi gembilnya.
"Kamu habis nangis?"
"Abang jahat." Alih-alih jawaban, Mahen malah dijudge. "Padahal Naren selalu percaya sama Abang. Coba ingat-ingat, apa yang Naren nggak ceritakan ke Abang? Nggak ada, kan? Naren cerita semua ke Abang, bahkan buat sesuatu yang nggak bisa Naren kasih tahu ke Ayah." Semakin lama didengar, suara Naren semakin bergetar.
"Maaf...." lirih Mahen, sebab dia tidak punya pembelaan apa pun. "Abang tahu Abang salah, maafin Abang."
Sama seperti sebelumnya, Naren enggan buka suara. Padahal Mahen lebih baik melihat Naren tantrum dan banyak tingkah, daripada dirundung kesedihan yang membuat dadanya bagai disayat sembilu.
"Abang—"
"Malam ini Abang tidur di kamar lain aja, Naren mau sendiri." Dengan begitu saja, Naren menarik selimutnya dan kembali menenggelamkan diri.
Mahen mengepalkan tangannya kuat-kuat, mencoba memfokuskan rasa sakit pada telapak tangannya akibat tusukan kuku-kuku jari yang belum sempat dipotong. Berharap dengan begitu, sakit di dadanya bisa berkurang, dan dia tidak semakin sekarat.
Walaupun ternyata, sia-sia...
"Oke. Abang tahu kamu memang butuh waktu buat sendiri." Dengan sayang, Mahen mengusap kepala Naren meski terhalang selimut.
Sebelum betulan beranjak meninggalkan kamar, Mahen lebih dulu mematikan komputer dan menyalakan lampu tidur serta air conditioner. Karena lebih dari siapa pun di dunia, dia yang paling tahu bahwa Naren tidak bisa tidur dalam gelap dan dengan udara yang pengap.
"Good night, adiknya Abang." Dia ucapkan selamat malam meski tahu tidak akan sahutan. Lalu dengan harapan bahwa malam akan membantu Naren mengurai kesedihan, Mahen melangkah lebar meninggalkan kamar.
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
"Gimana Naren?"
"Merajuk." Janu berdiri di depan pintu kamar anak-anaknya, mematung memandangi Naren yang meringkuk sendirian melalui celah pintu yang terbuka. "Dari semalam dia meringkuk di kamar, sampai sekarang belum mau keluar."
Di seberang telepon, Daniel menghela napas cukup keras. "Ini respons dia yang paling negatif, kan? Sebelumnya dia nggak sampai mengurung diri kayak gini."
Meski Daniel tak akan bisa melihat, Janu tetap mengangguk. "Akan lebih gampang dihandle kalau dia ngamuk dan tantrum kayak biasa, Niel."
Karena kalau Naren tantrum dan membuat seisi rumah berantakan, Janu tinggal menyuruh para asisten rumah tangganya untuk bekerja sama membereskan. Mahen akan bertugas menenangkan. Membujuk dengan iming-iming action figure limited edition, atau perangkat game terbaru incaran Naren.
Sedangkan jika hati anak itu yang berantakan... Janu tahu betul tidak akan mudah masuk ke sana untuk membantu membereskan.
Di momen ini, Janu menjadi sedikit goyah. Keyakinannya sempurna terbelah. Apakah memang seharusnya dia tidak lagi mencoba mencarikan ibu untuk putra bungsunya itu?
"Let’s just give him some space for now. He’ll come around when he’s ready."
"I did," sahut Janu.
"Oke, gue akan ikut pantau dari sini. Kalau ada sesuatu yang terjadi, buruan hubungin gue."
"Iya."
Percakapan mereka menguap begitu saja bersama sunyi yang langsung menyergap begitu sambungan telepon terputus. Janu menurunkan ponselnya perlahan, lalu semakin memfokuskan pandangannya pada sosok Naren di dalam sana.
Dia bisa saja meringsek masuk. Menangis tersedu-sedu meminta Naren memberinya sedikit pengertian dan berhenti merajuk. Namun, Janu tidak lakukan. Dia sadar hal tersebut hanya akan membuat keadaannya semakin runyam.
Maka, setelah puas memandangi punggung putra bungsunya itu, Janu menarik diri. Pintu ditutupnya pelan-pelan—serupa upayanya memperbaiki keadaan.
...🌼🌼🌼🌼🌼🌼...
Hampir pukul empat sore ketika Naren akhirnya menyembulkan kepala dari dalam selimut. Kepalanya terasa berat, tenggorokannya kering, dan beberapa sendi di tubuhnya seperti bergeser hingga menimbulkan nyeri yang tak tertahankan.
Seperti kesetanan, dia sibakkan selimut, dibiarkannya jatuh berserak ke lantai dan perlahan merajut langkah menuju pintu.
Naren membuang napas panjang tatkala menemukan nampak berisi piring penuh nasi dan lauk-pauk, air minum, serta beberapa tablet vitamin. Ini pasti kerjaan ayahnya. Padahal sudah tahu Naren tidak akan memakannya, kenapa masih repot-repot dilakukan juga?
Meninggalkan nampan di depan pintu, Naren bergegas turun ke dapur. Dahaganya tidak akan puas hanya dengan air yang sudah berada cukup lama dalam suhu ruangan. Dia perlu air dingin untuk membasuh tenggorokan.
"Ah, sialan, minggu depan udah full ke kampus." Langkahnya tersendat, hanya karena dia baru ingat bahwa ini adalah minggu-minggu terakhir yang bisa dia nikmati sebagai pengangguran.
Kehidupan perkuliahan kata orang-orang menyenangkan. Bagi Naren, itu tidak ada bedanya dengan kehidupan sekolah dari SD sampai SMA. Yang membedakan hanya dirinya tak lagi harus memakai seragam dan sepatu, tak perlu memangkas rambutnya terlalu pendek sampai mirip idol Korea yang mau berangkat wamil, juga tidak harus repot membawa buku-buku paket yang tebalnya setebal dosa pemerintah.
Kalau diperbolehkan, Naren ingin skip saja fase kuliah.
Sambil mengerucutkan bibir dan bergumam tanpa suara, dia melanjutkan langkah. Anak-anak tangga yang dia turuni serupa tuts piano—setiap langkahnya menciptakan simfoni yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.
Sedang asyik mengarungi dunia khayal di kepala, langkahnya kembali terhenti kala netranya menangkap keberadaan ayahnya di ujung tangga. Tubuhnya dibalut pakaian rumahan, dengan mata panda dan rambut acak-acakan. Melihat dari penampilannya sih, Naren percaya kalau ayahnya habis tidak tidur semalaman.
Sudah terlambat bagi Naren untuk kabur karena telah terjadi kontak mata dengan ayahnya. Jadi, mau tidak mau dia melanjutkan langkah sambil terus menggerutu. Menyalahkan tenggorokannya yang kering sehingga membuatnya harus keluar kamar dan bertemu ayahnya dengan situasi awkward semacam ini.
Katakan dia tidak sopan, omeli saja dirinya nanti kalau perasaannya sudah lebih baik. Sebab kini, dia hanya ingin mengambil air dingin dari kulkas dan kembali ke kamarnya lagi. Jadi meskipun tubuhnya melewati sang ayah, Naren tidak menyapa sama sekali. Dia hanya berlalu, membiarkan ayahnya tampak seperti butiran debu.
"Wah, tumben ya stok air mineral di kulkas ada banyak. Kerjaan siapa ini? Mbok Minah apa Teh Hayati?" celotehnya dengan suara lantang, seakan disengaja supaya seluruh penghuni rumah bisa dengar.
Dua asisten rumah tangga yang namanya disebut menyembulkan kepala dari balik dinding. Yang satunya sambil memegang setrika, satunya lagi memeluk jemuran yang sudah kering. Anak dan ibu itu lantas saling pandang sebentar sebelum salah satunya mengangkat tangan.
"Teteh yang penuhin, Den. Kenapa? Nggak suka, ya?" tanya perempuan yang lebih muda.
Naren menggeleng ribut. "Suka! Teteh emang the best! Paling tahu apa yang Naren mau," ucapnya dengan nada sarkas. Dua jempolnya mengudara sebagai bentuk apresiasi atas kecekatan Teh Hayati, sedangkan bola matanya melirik sinis ke tempat di mana ayahnya berdiri.
"Silakan lanjut kerja lagi, semangat ya!" serunya seraya mengangkat kepalan kedua tangannya ke udara. Sudut bibirnya tertarik lebar, hampir-hampir membuat matanya menghilang.
Kemudian, setelah kedua asiten rumah tangganya tak terlihat kembali, Naren menghilangkan senyumnya dan bergegas pergi.
Keberadaan ayahnya di sisi meja makan masih tak dia hiraukan. Naren bersenandung riang sambil mengayun langkah lebar. Untuk terpaksa berhenti di anak tangga pertama ketika suara ayahnya mengudara. Sekonyong-konyong menginterupsi pergerakannya.
"Boleh Ayah minta waktu kamu sebentar? Kita perlu bicara."
Bersambung