NovelToon NovelToon
AIRILIA

AIRILIA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Duniahiburan / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Irla26

Airilia hidup dalam keterbatasan bersama ibunya, Sumi, yang bekerja sebagai buruh cuci. Ayahnya meninggal sejak ia berusia satu minggu. Ia memiliki kakak bernama Aluna, seorang mahasiswa di Banjar.

Suatu hari, Airilia terkejut mengetahui ibunya menderita kanker darah. Bingung mencari uang untuk biaya pengobatan, ia pergi ke Banjar menemui Aluna. Namun, bukannya membantu, Aluna justru mengungkap rahasia mengejutkan—Airilia bukan adik kandungnya.

"Kamu anak dari perempuan yang merebut ayahku!" ujar Aluna dingin.

Ia menuntut Airilia membiayai pengobatan Sumi sebagai balas budi, meninggalkan Airilia dalam keterpurukan dan kebingungan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irla26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26. Air Doa

Aluna tersenyum puas saat melihat notifikasi transfer dari Reza masuk ke rekening pribadinya.

Ia merasa lega dan bersemangat membayangkan bagaimana akan membelanjakan uang itu. Namun, sebelum sempat mengganti pakaian, suara ketukan terdengar dari arah pintu rumahnya.

"Sebentar! Cari siapa ya?" tanya Aluna setelah membuka pintu. Namun, begitu melihat siapa yang datang, ekspresinya kembali biasa saja.

Yang berdiri di hadapannya adalah sahabatnya, Renata.

"Ren, kamu ngapain ke sini?" tanyanya dengan nada malas.

"Aku cuma mau menghibur kamu. Aku tahu kamu pasti sendirian di rumah ini," jawab Renata santai, lalu masuk begitu saja dan langsung duduk di kursi ruang tamu.

Tanpa basa-basi, Renata mengikuti Aluna masuk ke kamar dan melihatnya sedang mengganti baju.

"Kamu mau ke mana?" tanyanya penasaran.

"Cari angin," jawab Aluna singkat.

"Aku ikut!" ujar Renata tanpa menunggu jawaban. Aluna hanya mengangguk.

Mereka pun berjalan menuju taman yang tak jauh dari rumah Renata. Sesampainya di sana, mereka duduk di bangku taman, menikmati suasana sore sambil memperhatikan anak-anak yang bermain.

"Btw, besok aku mau pulang. Kamu ikut enggak?" tanya Renata tiba-tiba.

Aluna terdiam sejenak, mempertimbangkan ajakan Renata. "Kalau aku ikut, bagaimana dengan acara tujuh hari ibuku?"

Renata berpikir sejenak, lalu sebuah ide muncul di kepalanya. "Gampang! Serahkan saja semuanya pada ibuku. Nanti kamu tinggal kasih uang buat acara tujuh harian ibumu."

Aluna mengangguk setuju. Ia memang tidak ingin tinggal sendirian di rumah ibunya yang kini terasa begitu sepi.

"Oke deh. Nanti aku akan bicara dengan Mbak Ijah."

Setelah hampir setengah jam duduk di taman, Renata mengajak Aluna ke rumahnya untuk membahas pengajian tujuh hari meninggalnya ibu Aluna.

---

Sesampainya di rumah Renata, mereka langsung menuju ruang tamu.

"Assalamualaikum," sapa Renata.

"Waalaikumsalam. Kalian dari mana?" tanya Ijah, ibu Renata, yang sedang duduk di ruang tengah.

"Baru dari taman, Bu," sahut Aluna, lalu duduk di seberang Ijah.

Renata menatap ibunya, lalu berkata, "Bu, Aluna ada sesuatu yang ingin disampaikan."

Ijah menoleh ke arah Aluna. "Ada apa, Nak?"

Aluna menarik napas sebelum berbicara. "Begini, besok aku mau pulang. Apa Mbak Ijah bisa membantuku mengadakan pengajian tujuh hari untuk ibu? Nanti aku akan memberikan uang untuk membayar ustaz dan kebutuhan lainnya."

Ijah mengangguk tanpa ragu, menerima beberapa lembar uang berwarna merah yang disodorkan Aluna. "Tentu, Nak. Jangan khawatir, biar Ijah yang urus semuanya."

"Terima kasih, Mbak Ijah," ujar Aluna tulus.

Ijah tersenyum lembut. "Sama-sama. Kamu sudah seperti anak sendiri bagiku."

Aluna terharu mendengar kata-kata itu.

Namun, suasana mendadak berubah ketika Ijah menatap perut Aluna yang mulai sedikit berisi. "Aluna, kamu sedang hamil?"

Aluna mengangguk. "Iya, sudah jalan empat bulan."

"EMPAT BULAN?!" Ijah terkejut bukan main. Pasalnya, pernikahan Aluna dengan Reza belum genap seminggu.

Renata yang duduk di sebelah Aluna buru-buru mencubit lengannya, memberi isyarat agar segera memperbaiki ucapannya.

"Maksudnya... empat minggu, bukan empat bulan," ujar Renata cepat.

Aluna yang tersadar dari kekeliruannya langsung mengangguk cepat. "Iya, maksudku empat minggu, Mbak Ijah," tambahnya, berusaha meyakinkan.

Ijah masih menatap curiga, tetapi akhirnya mengangguk. "Syukurlah kalau begitu."

---

Di tempat lain, suasana jauh berbeda.

Sepulang sekolah, Airilia hanya diam di atas kasurnya. Tatapannya kosong, menatap lurus ke arah dinding kamar.

Badariah dan Hasan, paman serta bibinya, hanya bisa menatapnya dengan sedih. Sejak kejadian beberapa hari lalu, kondisi Airilia semakin memburuk. Setiap malam, ia selalu berteriak dan menangis histeris, membuat seluruh rumah dipenuhi suara pilu.

"Mas, apa sebaiknya Airilia dibawa ke psikiater?" tanya Badariah lirih, tak sanggup melihat keadaan keponakannya yang semakin mengkhawatirkan.

Hasan menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Uang dari mana kita untuk bawa dia ke psikiater?" gumamnya, lalu menghisap rokoknya dalam-dalam.

Badariah terdiam. Ia tahu suaminya benar—mereka memang tidak punya cukup uang.

Namun, sebelum mereka sempat membahas lebih lanjut, tiba-tiba terdengar teriakan histeris dari dalam kamar.

"AKU BUKAN PEMBUNUH!"

"BUKAN PEMBUNUH!"

Tanpa pikir panjang, Badariah berlari masuk dan segera memeluk Airilia yang menangis ketakutan.

"Sshh... tenang, sayang. Kamu bukan pembunuh," bisiknya lembut, mencoba menenangkan gadis itu.

Airilia menangis tersedu-sedu di pelukan Badariah.

Hasan yang menyaksikan kejadian itu dari ambang pintu ikut meneteskan air mata. Ia tidak tahu harus berbuat apa untuk menyembuhkan keponakannya. Namun, sebuah ide tiba-tiba melintas di benaknya.

Tanpa banyak bicara, ia segera mengambil kunci motornya dan pergi keluar.

---

Setelah beberapa saat, Airilia akhirnya tenang dalam pelukan Badariah. Dengan lembut, wanita itu mencium kening keponakannya dan membacakan sholawat untuk menenangkan hatinya.

"Ya Allah, berikan kesembuhan untuk Airilia," doa Badariah dengan mata berkaca-kaca.

Setelah memastikan Airilia tertidur, Badariah keluar kamar dan melihat Hasan sudah kembali, duduk di ruang tamu sambil menonton TV.

"Dek, aku bawa air tawar dari Ustaz Ahmad. Katanya, ini bisa membantu menenangkan Airilia. Coba kasih ke dia nanti," ujar Hasan sambil meletakkan sebotol air di atas meja.

Badariah mengangguk dan mengambil botol itu.

"Mas, aku mau ke warung sebentar. Ada yang mau dibeli?" tanyanya.

Hasan menggeleng. "Enggak, hati-hati di jalan."

Namun, saat berjalan menuju warung, langkah Badariah terhenti ketika mendengar percakapan beberapa ibu-ibu di tepi jalan.

"Mbak, aku tiap malam enggak bisa tidur gara-gara keponakan si Hasan itu teriak-teriak terus."

"Iya, anakku sampai kebangun juga!"

"Jangan-jangan dia gila?"

Mendengar itu, Badariah meremas tangannya. Hatinya sakit.

"Eh, udahan deh! Itu Mbak Badar mau lewat, nanti dengar lagi."

Badariah menghela napas panjang. Ia tidak jadi pergi ke warung.

Saat kembali ke rumah, Hasan menatapnya heran. "Loh, Dek? Kok cepat pulang? Enggak jadi ke warung?"

Badariah memaksakan senyum. "Warungnya tutup," jawabnya singkat, lalu masuk ke dalam.

Namun dalam hatinya, ia tahu—bukan warung yang membuatnya kembali, melainkan kata-kata menyakitkan yang baru saja ia dengar.

Bersambung…

1
rania
Kasihan Dinda, peluk jauh🥺🥺
R-man
cerita nya menarik !!
Maximilian Jenius
Wah, gak sabar nunggu kelanjutan ceritanya, thor! 😍
Madison UwU
Menyentuh
indah 110
Tolong update cepat, jangan biarkan aku mati penasaran 😩
Farldetenc: Ada karya menarik nih, IT’S MY DEVIAN, sudah End 😵 by farldetenc
Izin yaa
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!