Airilia seorang gadis yang hidup serba kekurangan, ayahnya sudah lama meninggal sejak ia berusia 1 minggu. Airilia tinggal bersama ibunya, bernama Sumi yang bekerja sebagai buruh cuci. Airilia merupakan anak kedua dari dua bersaudara, kakaknya bernama Aluna yang berstatus sebagai mahasiswa yang ada di banjar.
Pada suatu hari, Airilia kaget mendengar Sumi terkena kanker darah. Airilia yang tidak tau harus kemana mencari uang, ia berangkat ke banjar untuk menemui Aluna, agar Aluna mau meminjamkan uang untuk pegangan saat Sumi masih di rawat dirumah sakit.
Alih-alih meminjamkan uang, Aluna justru membongkar identitas Airilia sebenarnya. Aluna mengatakan bahwa Airilia anak pelakor yang sudah merebut ayahnya. Sumi yang berlapang dada merawat Airilia semenjak ibunya mengetahui ayahnya meninggal karena kecelakaan. Aluna yang menuntut Airilia harus membiayai pengobatan Sumi sebagai bentuk balas budi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irla26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Air Doa
Aluna senang karena baru saja Reza mentransfer sejumlah uang ke dalam rekening pribadinya. Ia tidak sabar untuk membelanjakan uang itu segera.
Namun saat akan berganti baju, seseorang sedang mengetuk pintu rumahnya.
"Sebentar, cari siapa ya?"tanya Aluna saat membuka pintu, namun setelah itu ia nampak biasa saja karena yang datang adalah sahabatnya Renata.
"Ren, kamu ngapain kesini?".
"Iya, aku kesini cuma mengibur kamu, aku tau kamu pasti sendiri disini" Renata masuk begitu saja dan langsung duduk di kursi.
Renata mengikuti Aluna masuk ke dalam kamar, ia melihat Aluna sedang berganti baju.
"Kamu mau kemana?".
"Cari angin".
"Aku ikut" Aluna mengangguk. Mereka pergi ke taman yang tidak jauh dari rumah tempat tinggal Renata.
"Btw, aku besok mau pulang, kamu ikut enggak?" tanya Renata saat mereka sedang duduk di bangku taman sambil melihat beberapa anak-anak sedang bermain.
"Kalau aku ikut, bagaimana dengan acara tujuh hari ibuku" Renata bingung lalu muncul ide dikepalanya.
"Gampang, serahkan saja semuanya pada ibuku, nanti kamu tinggal berikan saja uang untuk acara tujuh hari ibumu" Aluna mengangguk setuju, ia juga takut sendirian tinggal dirumah sang ibu.
"Oke deh, nanti aku akan bicara sama mbak Ijah".
Setelah hampir setengah jam ditaman, Renata mengajak Aluna kerumahnya untuk membicarakan tentang pengajian tujuh hari meninggalnya ibu Aluna.
"Assalamualaikum".
"Waalaikumsalam, kalian dari mana?" tanya Ijah saat Renata dan Aluna datang bersama.
"Kami baru saja dari taman" sahut Aluna
duduk diseberang Ijah.
"Ibu, Aluna ada yang ingin disampaikan sama ibu" ucap Renata.
"Ada apa Aluna?".
"Begini, besok aku mau pulang. Apa bisa mbak Ijah membantuku untuk mengadakan pengajian tujuh hari ibuku?nanti saya akan memberikan uang untuk bayar ustadz dan yang lainnya" Ijah mengangguk, ia menerima beberapa lembar uang berwarna merah dari Aluna.
"Terima kasih".
"Sama-sama, kamu sudah saya anggap sebagai anak sendiri" Aluna terharu mendengar perkataan Ijah.
"Aluna, kamu sedang hamil" Aluna mengangguk.
"Iya, udah mau jalan empat bulan".
"EMPAT BULAN" Ijah terkejut dengan kehamilan Aluna pasalnya belum seminggu Aluna menikah.
"Ibu, maksud Aluna itu empat minggu, bukan empat bulan". Renata mencubit lengan Aluna, agar Aluna bisa di ajak kerja sama.
"Iya, maksud aku empat minggu" Ijah mengangguk sambil melihat ke arah perut Aluna.
.
.
.
.
.
Setelah pulang sekolah, Airilia hanya diam di atas kasur, tatapannya kosong ke arah dinding kamar.
Badariah dan Hasan sangat sedih melihat keadaan Airilia, setiap malam Airilia selalu berteriak dan menangis histeris.
"Mas, apa sebaiknya Airilia dibawa ke psikiater?"tanya Badariah saat melihat keadaan Airilia begitu memperihatinkan.
"Uang dari mana kita untuk membawa Airilia ke psikiater" Hasan duduk sambil menghisap sebatang rokok. Badariah hanya diam, ia juga tidak mempunyai banyak uang untuk membawa Airilia ke psikiater.
Saat Badariah melamun, ia dikagetkan suara Airilia berteriak histeris.
"AKU BUKAN PEMBUNUH"
"BUKAN PEMBUNUH" Badariah masuk ke kamar dan segera memeluk Airilia. Airilia menangis dipelukkan Badariah.
"Aku bukan pembunuh".
"Iya, kamu bukan pembunuh, kok" Badariah ikut meneteskan air mata melihat keadaan Airilia.
Hasan melihat Badariah menenangkan Airilia, ikut meneteskan airmata, ia bingung bagaimana cara menyembuhkan keponakannya itu. Namun sebuah ide terlintas di benaknya. Hasan segera keluar sambil membawa sepeda motornya.
Tidak berapa lama Airilia tenang dipelukkan Badariah, Badariah mencium kening Airilia sambil membaca sholawat untuk menenangkan hati Airilia.
"Ya Allah, berikan kesembuhan untuk Airilia" Badariah menangis melihat kondisi keponakannya.
Badariah terbangun dari tidurnya setelah menidurkan Airilia. Ia keluar dan melihat Hasan suaminya sedang menonton tv.
"Dek, aku ada air tawar untuk Airilia. Tadi, aku minta sama ustadz Ahmad, siapa tau setelah minum itu Airilia bisa sembuh" Badariah mengangguk dan mengambil sebotol air di atas meja.
"Mas, aku mau ke warung sebentar, apa kamu ada yang ingin dibeli?" Hasan menggeleng.
Saat ditengah jalan, Badariah mendengar ibu-ibu sedang membicarakan tentang keponakannya.
"Sama mbak, aku tiap malam juga enggak bisa tidur karna keponakan si Hasan itu teriak terus setiap malam".
"Iya, sampai anak aku ke bangun, loh".
"Jangan-jangan gila kali".
"Eh, udah itu mbak badar mau lewat, nanti dengar lagi" Badariah yang mendengar itu memutuskan tidak jadi ke warung.
"Loh dek, kamu enggak jadi ke warung?" tanya Hasan saat Badariah sudah sampai depan pintu.
"Warungnya tutup".
*Bersambung*