Bagaimana rasanya menikah dengan orang yang tidak kita kenal?
Baik Arsya maupun Afifah terpaksa harus menerima takdir yang telah di tetapkan.
Pada suatu hari, ayah Afifah di tabrak oleh seorang kakek bernama Atmajaya hingga meninggal.
Kakek tua itupun berjanji akan menjaga putri dari pria yang sudah di tabraknya dengan cara menikahkannya dengan sang cucu.
Hingga pada moment di mana Afi merasa nyawanya terancam, ia pun melakukan penyamaran dengan tujuan untuk berlindung di bawah kekuasaan Arsya (Sang suami) dari kejaran ibu mertua.
Dengan menjadi ART di rumah suaminya sendirilah dia akan aman.
Akankah Arsya mengetahui bahwa yang menjadi asisten rumah tangga serta mengurus semua kebutuhannya adalah Afi, istrinya sendiri yang mengaku bernama Rere?
"Aku berteriak memanggil nama istriku tapi kenapa kamu yang menyahut, Rere?" Salah satu alis Arsya terangkat.
"Karena aku_" Wanita itu hanya mampu berucap dalam hati. "Karena aku memang istri sahmu, pak Arsya"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 25
Aku sedikit bernafas lega karena akhirnya bu Prilly pulang. Tidak dengan bu Rahma yang akan menginap di sini sampai beberapa hari, sebab besok anak serta menantunya berniat ke Sidney untuk urusan bisnis.
Sebenarnya hanya pak Zidan yang melakukan perjalanan tersebut, tapi bu Prilly harus menemani suaminya selama di sana. Tentu saja selain itu pasti ingin pamer ke teman-teman sosialitanya.
Dari postingan di media sosialnya wanita itu suka sekali memamerkan hidupnya yang bergelimang harta. Tapi aku maklum, kan memang sudah zamannya seperti itu.
Duduk berselonjor di atas kasur, tanganku memijat kakiku yang sedikit agak pegal-pegal.
Tadi saat bu Prilly disini, dia sudah membuatku bekerja ekstra keras, sesekali juga membentakku karena apa yang ku kerjakan tidak sesuai dengan caranya.
Pak Arsya sempat menegur mamahnya itu, tapi aku selalu memberi kode agar tetap diam dan membiarkan mamahnya melakukan apa yang dia suka. Takutnya jika pak Arsya dan bu Prilly terlibat perdebatan, pak Arsya akan kelepasan.
Bisa bahaya kalau dia tiba-tiba keceplosan bilang aku ini istrinya. Meskipun tak masalah, aku tetap takut dengan kemungkinan buruk.
Tepat ketika sepasang mataku melirik jam di dinding, pintu kamarku tiba-tiba di ketuk dari luar.
Aku yakin itu pak Arsya.
Bergerak bangkit, aku melangkah ke arah pintu.
Pak Arsya langsung masuk setelah pintu terbuka.
"Di tungguin kenapa nggak naik?" Tanyanya.
"Maaf, aku lupa"
"Lupa, kamu bilang? Apa kamu juga lupa kalau kamu sudah menikah? Lupa kewajiban istri?"
Ku telan salivaku gugup. Entah kenapa apa yang pak Arsya katakan barusan memantik getaran aneh di dalam dadaku.
"Ayo, kita ke kamar" Ajaknya, lalu menggandengku.
"Tunggu!" Satu tanganku menyentuh punggung tangan pak Arsya yang sedang menggenggam tanganku.
"Ada apa?" Selidiknya.
"Bu Rahma gimana?"
"Ini sudah pukul sebelas, nenek sudah tidur nyenyak"
"Sudah beri tahu nenek soal aku?"
"Belum, kamu tahu sendiri kan, tadi ada mama sama papa. Mungkin besok aku beritahu nenek"
"Kira-kira gimana respon nenek nanti?" Raut khawatir pasti sangat jelas terlukis di wajahku.
"Nggak usah di fikirkan bagaimana reaksi nenek nanti, aku yakin nenek akan bisa di ajak kerja sama" Pria itu kembali hendak menarikku, dan aku kembali menahannya.
"Mau kemana?"
"Ke kamar"
"Ini juga kamar"
"Kamu ini ternyata bawel juga. Mau jalan sendiri, atau mau ku gendong?"
"Nenek sudah tidur, kan?" Aku memastikan sekali lagi.
"Banyak tanya" Ujarnya, tanpa menjawab pertanyaanku. Sedetik kemudian dia mengangkat tubuhku, spontan tanganku melingkari leher pak Arsya.
"T-turunin" Pintaku panik. "Aku jalan sendiri saja"
"Tapi nggak banyak tanya, ya"
"Iya" Aku menggerakkan tubuhku dan berusaha turun.
Begitu sudah di turunin, pria itu kembali menggandeng tanganku kemudian kami melangkah tanpa suara menuju kamar atas.
Sesampainya di kamar, hawa dingin karena AC bercampur dengan aroma ruangan yang harum semerbak, membuatku menarik napas panjang.
Sejuk dan lembutnya aroma pengharum kamar terasa menjalar sampai ke darah.
Reflek aku membuang nafas di iringi dengan de sah...an lirih.
Tubuhku tersentak saat pak Arsya menarik pinggangku yang membuat tubuh kami otomatis saling menempel.
Rasa gugup yang tadi ku rasakan, kini kian bertambah.
"Maaf atas sikap mamah tadi" Ucapnya sendu, fokusnya menatapku penuh penyesalan.
"Nggak apa-apa. Selama pak Arsya bersamaku, aku aku akan baik-baik saja"
"Terimakasih sudah memaklumi sifat mamahku, terimakasih juga sudah sabar"
Aku mengangguk untuk mengiyakan.
Kemudian kami diam saling memandang. Hingga hampir satu menit, tak hanya tubuh yang menempel, bibir kami pun saling bersentuhan.
Aku sedikit berjinjit dan mendongak untuk menyamakan tinggi level kami, pak Arsya sendiri merunduk sambil terus me" lumat bibirku.
Entah bagaimana caranya, tahu-tahu punggungku sudah menyentuh empuknya kasur pak Arsya.
Di sini konsentrasiku benar-benar buyar, aliran darahku seakan beku, sementara jaringan di otakku tak bisa berfungsi.
Tepat ketika dia menyentuh bagian tubuhku yang paling sensitive, seketika aku tersadar dan segera ku raih tangannya.
"Kenapa?" Tanyanya begitu aku membuka sepasang mataku. "Jangan bilang belum siap, Fi" Lanjutnya dengan nafas yang naik turun.
Aku diam, karena apa yang dia tebak memang benar.
Setelah sekian detik, pak Arsya kembali menciumku, namun hanya sekilas, bibirnya lantas turun dan mengecup area batang leherku.
Tubuhku yang terbaring di bawah kungkungannya seketika menegang, apalagi ketika ku rasakan sesapan lembut yang otomatis membuat tanda merah di sana. Setiap sel dalam tubuhku seperti membeku, sapuan bibirnya seakan membawa aliran listrik bersama dengan gelenyar aneh yang mampu melelehkan setiap sel tubuhku yang membeku.
Masih berpakaian nyaris lengkap, dan sudah sama-sama berantakan, kesadaranku yang nyaris melayang karena perlakuan pak Arsya, mendadak terkumpul ketika mendengar suara handle pintu yang di putar berulang kali.
"Pak Arsya" Panggilku, mencoba menghentikan pak Arsya yang sedang bermain-main dengan tubuhku.
"Pak Arsya" Ulangku seraya menangkup kedua rahangnya lalu membuatnya menatapku.
"Seperti ada yang hendak membuka paksa pintu kamar" Ujarku yang tak lama kemudian suara itu di iringi dengan teriakan memanggil nama pak Arsya.
"Arsya!" Teriaknya dari luar yang nadanya seperti menahan marah.
"Nenek!" Lirih pak Arsya.
"Astaga! Bagaimana ini?"
Pak Arsya langsung bergerak bangkit kemudian bertumpu pada kedua lututnya, namun masih di atasku, ia mengenakan kaos polos yang tadi di gunakan sebagai dalaman. Setelah memakai kaosnya, dia membantuku mengancingkan piyama yang sudah terlepas beberapa kancing, kemudian kami sama-sama berdiri.
Selagi pak Arsya berjalan ke arah pintu, aku bersembunyi sambil merapikan rambutku yang sudah acak-acakan.
"Iya nek, ada apa?" Tanya pak Arsya yang masih bisa ku dengar.
"Mana pembantu itu!" Mendengar pertanyaan nenek, otomatis mulutku menganga.
"Pembantu apa maksud nenek"
"Kamu nggak usah mengelak Arsya, nenek lihat sendiri kamu bawa Rere masuk ke kamarmu"
Entah seperti apa reaksi pak Arsya, yang pasti aku sangat syok.
"Dimana gadis itu, hah?" Nenek melangkah masuk, dan itu membuatku kian takut.
"Rere keluar kamu, saya tahu kamu di dalam"
Aku menelan ludahku yang seperti bongkahan batu.
"Cepat keluar! Kalau tidak_"
"Aku bisa jelasin, nek"
Nenek berbalik, menatap cucunya yang sebelumnya ada di belakang balik punggungnya.
"Kamu bisa jelasin apa ke nenek?" Tanya bu Rahma yang kini sudah berdiri menghadap pak Arsya.
"Fi, keluarlah kita selesaikan malam ini juga"
Ujian pertama, semoga lolos...
Sebelum menampakkan diri, aku berusaha menetralisir perasaanku yang kelewat takut campur panik. Menormalkan debaran jantung agar otak dan mulutku bisa bekerja sama dengan baik.
Bersambung.
Note... Yang nggak suka, atau bosan, bisa langsung stop baca saja ya, ngga usah kasih rate bintang 1. Pokoknya skip baik-baik. Okay!!
Regard
Ane
mau mendengarkan Alasan Afi pergi ke Kanada
sedikit aku
yaa rabbi..pasti serba salah kaan ifa nya...arsya yakin kepergian ifa di dalangi oleh sang mama...dan mama prilly bersiap lah untuk kehilangan arsya 😃😃
di tunggu karma prily
afi pergi pasti lg dalam keadaan hamil
duuuh kasihan banget seh fi hidup kamu
awas Arsya jangan sampe kamu mau di nikah kan sama si ulet bulu Silvia,,dia pembawa virus
enak kan sil senjata makan tuan
itu mama nya Silvia bener2 bikin gedek