NovelToon NovelToon
KEISHAKA : You'Re My Melody

KEISHAKA : You'Re My Melody

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Anak Kembar / Murid Genius / Teen School/College / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Ziadaffi Ulhaq

Dia, lelaki dengan prestasi gemilang itu tidak sesempurna kelihatannya. Sayang sekali kenapa harus Nara yang menyaksikan rumitnya. Namanya Yesha, menyebalkan tapi tampan. Eh? Bukan begitu maksud Nara.

Dia, gadis ceroboh yang sulit diajak bicara itu sebenarnya agak lain. Tapi Yesha tidak tahu bahwa dia punya sisi kosong yang justru membuat Yesha penasaran tentang sosoknya. Namanya Nara, tapi menurut Yesha dia lebih cocok dipanggil Kei. Tidak, itu bukan panggilan sayang.

Jatuh cinta itu bukan salah siapa. Pada akhirnya semesta berkata bahwa rumitnya bisa dipeluk dengan hangat. Dan kosongnya bisa dipenuhi dengan rasa.

Oh, tenang saja. Ini hanya masalah waktu untuk kembali bersama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziadaffi Ulhaq, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

KADO BESAR

“RA?” Pintu kamar Nara dibuka dari luar, kepala Agatha menyembul dari balik pintu, membuat Nara yang sedang melamun didepan jendela menoleh. “Ini Yesha nelpon ke nomer kakak, hape kamu kemana?”

“Rusak.” Jawab Nara seadanya, menyeka pipi.

“Kamu nangis? Kalian berantem ya?” Agatha mendekati Nara. Di tangannya, ponselnya sudah terhubung dengan Yesha diseberang sana.

Nara menggeleng lesu.

Agatha menghela napas. “Yaudah, nih, pake aja dulu punya kakak malam ini.”

Nara menerima ponsel Agatha. Tersenyum tipis. “Makasih, Kak.”

Setelah melihat Agatha keluar dan menutup pintu, barulah Nara merapatkan ponsel Agatha ke sisi telinganya. “Halo?”

“Halo, Kei.” Suara Yesha terdengar. Disusul helaan napas setelahnya, “Aku mau minta maaf soal tadi. Zara udah marah, aku gak bisa apa apa kalau dia udah kayak gitu.”

“Iya, nggak apa apa.” Nara menghela napas berat. Apanya yang tidak apa apa?

“Hape kamu nanti aku—”

“Gak usah. Aku bisa beli sendiri, Yesha. Udah aku bilang, kan, tadi siang kamu gak perlu beliin aku hape baru, apalagi tanpa sepengetahuan Zara.” Nara menyela.

Hening.

“Kamu marah ya?”

Marah? Tidak. Nara hanya kecewa. Tidak percaya bahwa Zara bisa mengendalikan Yesha semudah itu. Bermodal air mata yang entah sungguhan atau tidak. Membuat muak. Dan Yesha? Dia tidak bisa melakukan apa apa selain bingung harus membela siapa. Nara tidak suka bagaimana Zara membuat lelaki itu lemah dan seperti tidak punya prinsip sendiri.

“Maaf ya, aku gak bisa ngelakuin apa apa, aku harus selalu ngalah sama Zara, kalau nggak dia bakal nangis kayak tadi, aku gak bisa liat dia nangis dari dulu, setiap kali sama Zara aku selalu inget kata kata bunda buat selalu jagain Zara, dan jadi orang yang selalu ada di pihak dia—”

“Sekalipun dia salah?” Sela Nara. Saat ini ia benar benar tidak mengerti jalan pikir Yesha.

Yesha terdiam sesaat, sepertinya kejadian tadi berputar lagi dikepalanya seperti saat ini berputar di kepala Nara. “Bukan Zara yang salah, tapi aku, harusnya aku bilang dulu ke dia kalau mau ngasih kamu sesuatu.”

Nara melongo. Yesha tidak serius bukan mengatakannya?

“Tapi aku yakin lama lama dia pasti bisa nerima—”

“Sampai kapan, Sha?”

“Maksudnya?”

“Sampai kapan hidup kamu mau terus dikendaliin sama Zara, Yesha? Kamu punya dunia kamu sendiri, kehidupan yang harus kamu atur sendiri.”

“Aku gak pernah ngerasa diatur sama Zara, dia kayak gitu karena dia sayang sama aku. Jadi aku harap kamu bisa ngertiin aku.”

Lalu siapa yang mau mengerti Nara? Kalau harus selalu dia yang mengerti keadaan Yesha, mengerti kemauan Zara, lantas oleh siapa Nara akan dimengerti? Ia merasa kehilangan Yesha-nya yang selalu mengerti Nara seperti dulu.

“Dulu kamu gini juga pas sama Gissele? Kok dia kuat, sih?”

“Jangan mulai deh—”

“Seandainya dia masuk lagi di hidup kamu apa kamu bakal goyah dua kali? Karena Zara dan Gissele? Terus aku gimana, Sha?” Nara mulai terisak. Rasa takut yang hinggap mendadak membuat ujung matanya meleleh. Wajah Zara dan Gissele menghantui benaknya, membuat Nara sesak.

“Jangan mikir yang nggak nggak deh, Kei. Kamu kebiasaan kalau situasinya kayak gini pasti bawa bawa Gissele, dia gak ada hubungannya sama sekali sama kita, bisa nggak stop ngomongin dia? Aku gak mau denger lagi!”

Nara menyeka pipi. Berusaha menahan isakan. “Aku takut, Yesha…aku takut…”

“Apa? Apa yang kamu takutin?”

Seandainya Yesha tahu apa yang terjadi pada Gissele apa pertahanannya masih akan sekuat sekarang? Seandainya Nara menceritakan apa yang terjadi pada Ghayla-nya itu apa Yesha masih bisa berkata seperti ini pada Nara?

“Aku gak akan kemana mana, Kei, kita udah janji buat gak saling ninggalin, kan? Aku gak akan kemana mana, aku yakin bisa buat Zara ngerti dan nerima kita. Aku minta maaf belum bisa selalu ada buat kamu kayak biasanya, tapi aku janji aku gak akan pergi sayang. Aku akan terus sama kamu, jangan takut, ya? Oke?”

Nara terdiam. Banyak hal yang ingin Nara katakan tapi tertahan di kerongkongannya. Tidak ada jalan lain kalau Nara tidak mengalah sekali lagi. Ia tidak mau Yesha semakin merasa bersalah padanya. Nara masih bisa menahan ini sendiri, situasi tidak akan berubah kalaupun Nara memberitahu Yesha bahwa ia tidak baik baik saja dengan semua ini. Nara masih bisa mengalah sekali lagi.

“Sayang? Are you okay?” Tanya Yesha setelah tidak mendengar suara Nara beberapa saat.

Nara mengangguk walaupun ia tahu Yesha tidak akan melihatnya. “Iya. Aku nggak apa apa.”

“Udah ya nangisnya, aku gak mau kamu sedih.”

“Aku ngantuk, mau tidur,” Nara menyeka pipi, menarik napas dalam dalam, ia sedang butuh waktu sendirian, “Udah dulu ya.”

“Kamu marah?”

“Nggak. Udah ya, aku tutup teleponnya.”

Helaan napas terdengar dari seberang telepon. “Yaudah kalau kamu udah ngantuk, sleep tight and I love you, Kei.”

“Hm” Nara hanya membalas dengan gumaman pendek, lantas menutup telepon begitu saja.

Semuanya terjadi cepat sekali. Dua belas jam yang lalu Nara masih tertawa bahagia, berlarian bersama Yesha di belakang sekolah, menikmati angin dirambutnya kala motor Yesha membelah jalanan ibu kota. Mereka masih bercanda, bahkan menorehkan kenangan tak terlupakan di vila Yesha bersama suara debur ombak.

Tapi sekarang Nara duduk sendirian didepan jendela kamarnya. Menangis, terluka, rindu akan sosok Yeshaka-nya. Tidak baik baik saja. Dan terlihat menyedihkan. Semua ini membuat Nara bertanya.

Apa keputusannya untuk selalu bersama Yesha adalah benar?

...***...

Undangan undangan telah dibagikan sejak tiga hari yang lalu, semuanya dapat—kecuali Zara. Dia adalah pengecualian besar dalam hidup Nara. Mana mau Nara mengundangnya ke acara ulang tahunnya.

Acara yang digelar di lantai atas butik mama Nara dimulai pada pukul tujuh malam tepat. Satu jam sebelum acara dimulai Nara sudah rapi dengan dress merah muda panjang, lengkap dengan heels dan mahkota di rambutnya yang sudah ditata sedemikian rupa. Terlihat cantik dan menawan.

Lokasi butik tidak terlalu jauh dari komplek perumahan Yesha. Jadi seharusnya lelaki itu bisa datang lebih cepat. Maka Nara santai saja menunggu. Tadi sore Yesha bilang dia masih mencari pakaian yang cocok untuk dikenakan ke pesta ulang tahun Nara, dia berjanji akan datang tepat waktu.

Hubungan mereka memang belum sepenuhnya membaik, tapi sudah tidak terlalu runyam juga hampir sebulan ini. Malam setelah mereka bertengkar kecil melalui telepon, keesokan harinya Nara mendapat ponsel baru dari Agatha. Semuanya ‘lumayan’ baik baik saja hingga saat ini. Seharusnya acara ulang tahun Nara juga berjalan lancar.

Tasya tiba pertama setengah jam sebelum acara dimulai. Dia bertugas sebagai MC untuk acara ulang tahun Nara. Juga sekalian membantu membereskan yang perlu dibereskan. Ia membawa kado besar, menaruhnya di meja kado. Rania dan Laudy tiba lima belas menit kemudian, bersamaan dengan Ryan dan Hananta. Sepuluh menit setelahnya seseorang kembali naik ke lantai dua. Nara sudah senang berharap itu Yesha. Tapi tidak, justru Jean dengan sebuah kado ditangannya. Gadis itu menghela napas, mungkin Yesha masih diperjalanan, Nara tahu dia se-rapi apa, Yesha pasti selalu ingin terlihat baik. Mungkin dia membutuhkan waktu untuk bersiap. Nara masih bisa menunggu, lagipula teman temannya belum semua datang.

Pukul tujuh lewat lima belas menit. Kado kado menggunung, hampir semua teman teman Nara yang diundang sudah berdatangan. Seharusnya acaranya sudah dimulai paling lambat sepuluh menit yang lalu. Tapi tidak, Nara masih berdiri di ambang pintu lantai satu. Menunggu. Ia tidak akan memulai acaranya tanpa Yesha. Satu dua teman yang datang Nara suruh naik saja ke atas, ia masih mau menunggu.

“Ra.”

Nara menoleh, Agatha menghampirinya.

“Mulai yuk acaranya, temen temen kamu udah kumpul semua tuh.”

Nara menggeleng. “Yesha belum datang, dia udah janji mau datang, aku mau nunggu dia bentar lagi.”

Agatha menghela napas. “Kamu yakin dia bakal datang? Udah telat banget loh.”

“Dia udah janji, Kak.”

Tidak ada pilihan. Nara belum bisa dibujuk, Agatha pasrah akhirnya, “Yaudah, sepuluh menit lagi ya, kalau dalam sepuluh menit dia nggak datang juga, kita harus mulai acaranya, kasihan temen temen kamu nungguin.” Agatha mencoba membuat kesepakatan. Yang syukur diangguki Nara walau gadis itu terlihat sedikit terpaksa. Agatha kembali naik ke lantai dua, membiarkan Nara menunggu sendirian dibawah.

Sejujurnya Nara cemas. Sejak dua jam yang lalu Yesha tidak bisa dihubungi. Di telepon tidak diangkat, dikirimi pesan tidak dibalas. Ponselnya sepertinya mati. Entah kemana dan ada dimana dia. Nara khawatir terjadi sesuatu.

Gadis itu menyalakan ponsel, membuka roomchat Yesha. Sekali lagi mencoba mengiriminya pesan dan meneleponnya.

Belum. Belum ada tanda tanda pesannya akan dibalas. Sepuluh menit berlalu cepat sekali. Agatha terlihat kembali untuk menjemput Nara.

“Kita mulai sekarang aja, mungkin Yesha bakal agak telat.” Justru Nara memutar arah terlebih dahulu. Mendahului Agatha menaiki tangga menuju lantai dua.

“Yesha-nya mana, Ra?” Tanya Tasya saat Nara tiba.

Nara hanya menggeleng. Tidak tahu. Suasana hatinya tidak baik.

Acara dimulai. Tasya membuka acara. Lagu lagu yang telah dipilih Nara diputar memenuhi langit langit ruangan. Sesekali cahaya flash kamera terlihat, mengabadikan momen momen hari ulang tahun Nara. Lagu ulang tahun dinyanyikan. Semua mengucapkan selamat dan doa doa terbaik.

Satu dua kali Nara tersenyum, supaya terlihat bahagia kala lensa kamera menangkap gambarnya. Sambutan dari Varida berlangsung sepuluh menit saja, dilanjutkan dengan ucapan terima kasih dari Nara. Acara berjalan lancar.

“Terima kasih kepada teman teman semua yang sudah menyempatkan waktunya untuk datang ke acara ulang tahun aku, juga untuk kado kadonya, terutama doa doa baiknya yang semoga dikabulkan untuk aku dan untuk kita semua. Kehadiran kalian sangat berarti buat aku…”

“Yesha-nya kemana, Ra?”

Nara hendak lanjut bicara, namun urung. Ia memasang senyum yang terkesan dipaksakan. “Kita doakan semoga dia baik baik aja dimanapun dia sekarang.”

“Yahh.” Seru seruan kecewa terdengar.

Bukan hanya mereka yang kecewa. Nara lebih dari itu, bercampur dengan perasaan cemas. Nara menghela napas, semoga Yesha baik baik saja.

Sepuluh menit kemudian Nara menaruh microphone, bersiap melanjutkan acara potong kue. Lagu diputar, semua orang bernyanyi untuk Nara saat gadis itu mengambil pisau. Tapi mata Nara tetap sesekali sibuk bergerilya, mencari seseorang diantara teman temannya. Seseorang yang Nara harap dia yang bernyanyi untuk Nara. Tidak ada. Yesha tidak hadir. Tanpa sadar tangannya meremas gagang pisau yang ia pegang. Hentikan saja acara ini, Nara hanya ingin merayakannya bersama Yesha. Tapi raga lelaki itu tak kunjung terlihat.

“Ra, kuenya.” Agatha memegang bahu Nara, memutus lamunannya.

“O-oh, iya.”

Dengan pikiran yang masih kesana kemari, Nara memotong kue ulang tahunnya. Suara sorakan dan tepuk tangan terdengar memenuhi langit langit. Tapi bagi Nara rasanya sepi. Ia diam diam menyeka pipi, Nara sedih. Hari ulang tahunnya terasa menyedihkan.

“Potongan pertama kuenya untuk siapa, Ra?” Tasya bertanya lewat mic.

Nara tersenyum, menoleh ke kanan. “Mama.”

“Iya tentu teman teman, potongan pertama kue ulang tahun selalu untuk orang yang paling berharga ya, Ra? Untuk Mama Varida, tepuk tangan semuanya!”

Suara tepuk tangan terdengar. Nara menyuapi Varida sebagian potongan kue, lalu memberikan sisanya di atas piring kertas.

Potongan kedua jelas Nara berikan pada Agatha. Menyuapi kakaknya, memberikan sisa potongannya di atas piring kertas. Suara tepuk tangan terdengar lagi.

“Oke, potongan ketiga ini untuk orang paling spesial buat Nara. Hmm…kira kira siapa ya yang bakal dapat potongan ketiganya?” Tasya baik dalam menjadi pembawa acara sepertinya. Dia sukses membuat semua orang merasakan atmosfer menyenangkan dari acara ini.

Nara tidak menatap kemanapun, tidak pada siapapun. Ia terdiam. Dan semua orang tahu apa arti diamnya gadis itu.

“Buat Yesha,” Kata Nara. Tidak ada suara tepuk tangan, mereka ikut diam. Tapi Nara tidak mau merusak suasana. Ia menatap teman temannya, tersenyum simpul. “Tapi karena dia berhalangan hadir, jadi mungkin ada yang bisa jadi perwakilannya. Ehmm…Jean? Can you take this for him?”

Semua orang kompak menatap Jean. Sejujurnya Nara hanya asal pilih saja. Jean adalah orang pertama yang tertangkap retina matanya saat mengangkat pandang.

Tasya bergegas bicara untuk menghilangkan suasana canggung. “Iya, betul, Je. Karena Yesha tidak bisa hadir sebab satu dan lain hal, mungkin Jean bisa jadi perwakilannya buat menerima potongan ketiga kue ulang tahun Nara.”

Jean menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “G-gue?”

Nara tersenyum, mengangguk, menyodorkan potongan kue di atas piring kertas.

“O-oh, o-oke.” Jean mendekat, ragu ragu menerima potongan kue itu. Tidak perlu berharap Nara akan menyuapinya. Jean tahu gadis itu tidak akan mau melakukannya. Jean juga tahu bahwa Nara terpaksa memberikan potongan ketiga ini padanya.

“Tepuk tangan dong semuanya!”

Suara tepuk tangan kembali terdengar.

Hampir dua jam acara berlangsung. Semua orang tampak bersenang senang, menikmati pesta. Sekali lagi, Tasya adalah MC yang baik. Dia jago mengendalikan acara. Semuanya jadi terasa menyenangkan.

Tapi tidak bagi Nara.

Rania mengambil minuman dan bermaksud menemani Nara yang sejak tadi lebih banyak duduk diam dan memperhatikan. Terakhir Rania melihatnya duduk didekat panggung, tapi sekarang dia tidak ada disana. Rania lantas berusaha mencari ke sekeliling tempat acara. Tapi tidak ada. Nara tidak ada dimana mana.

Bergegas Rania menghampiri Laudy dan Tasya. “Nara gak ada disini!”

...***...

Matanya mengerjap. Terang. Perlahan penglihatannya kembali normal. Tapi kepalanya terasa pusing. Sedikit sakit. Ia mengedarkan pandangan ke sekitar, pada beberapa kemeja dan celana yang berserakan diatas kasur. Lalu ke kanan, pada nakas yang diatasnya ada sebuah minuman berwarna hijau yang seingatnya ia tegak terakhir sebelum—

Yesha spontan duduk. Pukul berapa sekarang? Ia menoleh cepat pada jam dinding. Hampir pukul sembilan malam. Astaga! Apa yang Yesha lakukan? Seharusnya ia ada di pesta ulang tahun Nara saat ini. Yesha loncat dari kasur, langkahnya terhenti, kepalanya sakit. Lelaki itu meringis, lantas teringat sesuatu.

Tadi Yesha meminta dibuatkan matcha saat ia sedang memilih baju untuk datang ke ulang tahun Nara. Sepuluh menit setelah Yesha memintanya matcha itu datang, tapi bukan pembantunya yang mengantar matcha itu. Tapi Zara.

Yesha keluar kamar, belok ke kanan dan sampai dikamar Zara satu menit kemudian. “Zara!”

Pintu kamar Zara dibuka dari luar. Yesha melihat gadis itu tengah telungkup di atas kasur, membaca buku bisnisnya. “Kak Sha udah bangun?”

“Kamu nyampurin apa ke minuman aku?” Tanya Yesha mulai kesal.

“Obat tidur.” Zara mengedik acuh tak acuh.

Yesha termangu. Ia tidak salah dengar bukan?

“Kak Sha keliatannya capek, jadi aku kasian. Aku campurin obat tidur deh biar Kak Sha istirahat. Udah baikan, kan?” Zara tersenyum, terlihat tidak merasa bersalah atas apa yang dilakukannya.

“Kamu tahu gak apa yang kamu lakuin?” Suara Yesha sedikit meninggi.

“Tahu.” Angguk Zara tanpa dosa. “Kak Sha cuma gak datang ke ulang tahun cewek itu, kan? Baguslah. Lagian pasti cuma acara murahan.”

“Yezhara!” Yesha terlihat marah. Ia menghampiri Zara dan menarik buku dari tangannya, melempar benda itu ke sembarang arah. “Lo gila ya?!”

Zara berjengit kaget. Ia duduk di atas kasur, menatap Yesha yang terlihat seperti hendak menelannya saat ini juga. “A-aku, kan, cuma gak mau—”

“CUMA? Lo tahu kalau hal gila yang lo lakuin ini bisa ngerusak hubungan gue sama Nara! Dan lo bilang CUMA?” Mata Yesha berapi api.

“Kamu gak boleh bentak bentak aku!” Zara berteriak. Antara marah dan takut. Selama ini Yesha tidak pernah marah padanya.

“Lo keterlaluan!” Balas Yesha.

Seseorang datang dari arah pintu mendengar teriak teriakan dari kamar Zara. “Ada apa ini?” Edwin datang, menatap anak kembarnya bergantian. “Yesha? Zara? Ada apa ribut ribut begini?!”

Zara yang merasa mendapat perlindungan baru segera loncat dari kasur, sembunyi dibalik ayahnya. “Yesha marah, Yah. Dia bentak bentak Zara!” Ia mulai menangis—entah sungguhan atau pura pura.

“Kenapa harus marah, Yesha? Memangnya tidak bisa dibicarakan baik baik?”

Yesha membuang napas, mengusap wajahnya kasar. “Udah gak bisa dibicarain baik baik, Yah. Zara udah keterlaluan! Yesha gak bisa terus terusan sabar!”

“Tapi, kan, gak usah marah marah! Kamu kasar!”

“Gimana aku gak marah? Ini obat tidur loh, Zar! Udah berapa kali aku harus bikin Nara kecewa demi kamu?!”

“Kamu selalu pilih dia daripada aku!”

“Hei sudah, sudah!” Edwin berusaha melerai, ia mulai menangkap apa yang dipertengkarkan kedua anaknya. “Gara gara pacar Yesha kalian sampai saling bertengkar gini. Kamu juga Yesha, Zara itu perempuan, masa kamu bentak bentak begitu?”

“Ayah nggak tahu apa yang Zara lakuin—”

“Ayah gak mau tahu.” Edwin menyela, memeluk bahu Zara dari samping. “Apapun yang dia lakuin, sesalah apapun, kamu gak harus sampai bikin dia nangis gini. Gak perlu marah marah. Minta maaf sama Zara.”

Yesha menatap tidak percaya. “Yah? Zara ngasih Yesha obat tidur—”

“Say sorry to your sister, Yesha.”

Yesha membuang napas kasar. Percuma saja. Edwin tidak akan mau mendengarkan penjelasan Yesha. Ia lantas menatap Zara. “Sorry aku marah dan bentak kamu.”

Zara tidak menjawab.

“Lain kali dibicarakan baik baik—Yesha! Ayah belum selesai bicara! Yeshaka!” Edwin berteriak memanggil, Yesha sudah meninggalkan kamar Zara tanpa mau mendengarkan lagi.

Bergegas Yesha kembali ke kamarnya, bersiap secepat mungkin. Sepuluh menit kemudian ia sudah berjalan cepat menuruni tangga. Yesha harus segera datang ke ulang tahun Nara dan menjelaskan semuanya. Kado? Lupakan dulu tentang kado. Nara pasti menunggunya sekarang. Astaga, apa yang Yesha lakukan? Sudah berapa kali ia mengecewakan gadis itu?

Dan langkah Yesha terhenti tepat saat ia membuka pintu besar rumahnya. Terkejut. Lebih dari terkejut. Tubuh Yesha mematung. Ia menatap kedepan nyaris tidak berkedip.

PLAK!

Satu tamparan sukses membuat wajah Yesha menyamping. Belum sempat otak Yesha menangkap apa yang sebenarnya sedang terjadi, tangannya sudah ditarik lebih dulu oleh orang dihadapannya. Melewati pelataran rumah Yesha, keluar dari gerbang besar rumahnya. Hingga sampai didepan rumah Yesha yang sepi, orang itu mengentakkan tangan Yesha. Menatap lelaki itu tajam, marah sekali.

Yesha menahan napas. Seseorang dihadapannya seperti sebuah mimpi. Yesha tidak sedang berhalusinasi bukan? Lidahnya tidak bisa berkata, tamparan dipipinya bahkan tidak terasa.

“Lo gila, Yesha?!”

Yesha merampas lengan gadis dihadapannya untuk memastikan bahwa ia tidak bermimpi. “I-is it really you, Sel?”

Iya. Seorang Gisseleya Ghayla berdiri lagi dihadapan Yesha setelah satu tahun hilang begitu saja. Setelah menampar Yesha di pertemuan pertama mereka.

Gissele menghentakan lengannya yang dipegangi Yesha. “Iya. Ini gue. Gue yang udah muak sama lo!”

Yesha diam. Tidak mengerti.

“Zara udah terlalu jauh ngendaliin hidup lo, Yesha! Perempuan mana lagi yang harus terus lo kecewain setelah gue? Lo mau Nara pergi? Manusia ada batas capeknya, Yesha! Mau sampai kapan lo lemah dan cuma bisa nurut sama semua kemauan Zara? Lo, tuh, cowok! Tapi lo bahkan gak punya kendali atas hidup lo. Selama ini gue diam tapi hari ini lo udah keterlaluan tahu nggak!” Gissele terlihat marah. Ia sudah tidak tahan melihat Yesha.

“Bukannya harusnya gue yang bilang kecewa karena lo?” Yesha menatap Gissele. Sirat kekecewaan satu tahun lalu itu masih terlihat jelas dikedua matanya. “Hidup gue hampir berantakan gara gara lo. Persahabatan gue, perasaan gue. Sampai sekarang gue masih stay anggap Jean sahabat gue setelah kalian berdua main dibelakang gue, karena gue ngerasa gak pantes aja hancurin persahabatan gue gara gara cewek, lagi pula saat itu lo tiba tiba pergi ninggalin gue dan Jean dalam keadaan paling ganjil. Bukannya harusnya gue yang kecewa?”

Gissele terdiam. Yesha tiba tiba mengungkit kisah masa lalu itu. Dan ini bukan saatnya untuk membahas masa lalu mereka. Gissele kemari saat tahu bahwa Yesha tidak hadir ke pesta ulang tahun Nara. Sejak awal Gissele berada ditaman seberang butik itu, memperhatikan pesta, tapi ia tidak melihat Yesha datang. Gissele melihat Nara kecewa di pintu masuk karena menunggu Yesha. Dulu ia pernah ada diposisi itu, dan tanpa diberitahu siapapun Gissele tahu bahwa semua ini perbuatan Zara.

“Gue kesini bukan mau ngebahas tentang kita, Yesha.” Gissele menggeleng.

“Terus apa? Lo mau pamer ke gue kalau lo masih ada di bumi?”

Gissele menatap Yesha tajam. Begitu juga sebaliknya. Perang tatapan terjadi selama beberapa saat. Sejak dulu selalu begini, Yesha selalu mudah dibodohi oleh Zara. “Lo nggak tahu apa apa, Sha. Dan dari dulu lo emang gak pernah tahu apa apa.”

Yesha menggernyit, tidak mengerti. “Apa maksud lo?”

“Zara udah ngendaliin hidup lo Sha—”

“Gue gak pernah ngerasa dikendaliin sama Zara. Dia kembaran gue, gue tahu—”

“Tahu apa lo tentang Zara? Kembaran? Lo udah dibodohin selama ini, dan emang lo nggak pernah sadar!” Emosi Gissele kembali naik. Ia tahu membuat Yesha mengerti akan sulit, tapi Gissele harus membuatnya sadar dengan keadaan. “Hidup lo rekayasa.”

Yesha terdiam. Masih tidak bisa mengerti maksud dan arah pembicaraan Gissele akan menuju kemana.

“Zara adalah sutradara terbaik yang pernah gue temuin.” Gissele tertawa sumbang, menertawakan dirinya sendiri sekaligus masa lalunya yang memuakkan. “Gue, kita, masa lalu itu udah gak ada artinya sekarang. Gue harus bikin lo sadar bahwa lo punya seseorang yang harus lo jaga perasaannya, Yesha. Nara bukan cuma pajangan di hidup lo, dia sayang sama lo, sedangkan lo udah berapa kali buat dia kecewa karena Zara? Gue pernah ada diposisi itu dan udah saatnya gue buat lo sadar! Jangan sampai dia juga pergi, Sha…” Gissele menyeka pipi, tidak mau terlihat menangis.

“Mau sampai kapan hidup lo dikendaliin sama Zara?” Tanya Gissele, ia sudah tidak paham dengan jalan pikir Yesha. “Lo gak pernah paham dia orang kayak apa dibelakang lo, Yesha…”

Tatapan Yesha melunak. Ia tahu ada sesuatu yang dirahasiakan darinya selama ini. “Terus apa yang gue gak tahu, Sel? Lo bisa kasih tahu gue mana yang bohong mana yang nggak, kan?”

“Kenapa gak ngasih tahu dia kalau lo terpaksa pergi karena lo sakit, Sel?”

Yesha dan Gissele kompak menoleh ke sumber suara.

Nara berdiri sepuluh langkah dari mereka. Dengan kantong berisi potongan kue ulang tahun yang sengaja ia sisakan untuk Yesha.

...***...

1
NurAzizah504
Hai, ceritanya keren
Beatrix
Serius thor, kamu mesti lebih cepat update. Agar aku nggak kehabisan tisu ☹️
Ludmila Zonis
Mengharukan
Devan Wijaya
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!