“Jangan dulu makan! Cuci piring dan sapu halaman belakang, baru makan!” Bentak Bunda.
Bentakan, hardikan dan cacian sudah kenyang aku terima setiap hari. Perlakuan tak adil dari dua saudara tiri ku pun sering aku dapatkan. Aku hanya bisa pasrah, hanya ada satu kekuatan untuk ku masih bertahan tinggal dengan ibu tiri ku, semua karena demi ibu ku!
Ya, ibu yang mengalami Gangguan Jiwa sehingga harus di rawat dirumah. Maka aku hanya bisa bersabar menerima semua kondisi ini. Kemana akan berlari sedangkan ibu ku butuh di rawat, namun setiap hari perlakuan ibu tiri pada ibu membuat aku tak dapat menerimanya. Puncaknya saat aku mengutarakan pada ayah ku jika aku ingin kuliah.
“Tidak! Anak perempuan untuk apa kuliah! Kamu hanya akan di dapur! Buang-buang biaya!” Tolak ibu tiri ku dengan keras. Ayah pun hanya mengikuti keinginan istri mudanya.
‘Aku harus menjadi perempuan kuat dan aku harus bisa merubah takdir ku!’ Tekad ku sudah bulat, aku akan merubah takdirku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sebutir Debu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 Ibu Kak Gaffi
Uni Desi selama aku tinggal di kediamannya, ia sering berbagi cerita denganku. Seperti malam ini saat ia baru pulang, aku bergegas menyiapkan makan malam untuk Uni Desi, Talita sedang menikmati film kartun di salah satu channel televisi. Dengan suara yang penuh lirih, Uni Desi mengungkapkan bahwa ia sedang mengalami keputusan sulit untuk bercerai. Hatiku terasa berat mendengarnya, tapi aku tahu bahwa ia membutuhkan dukungan dan pendengar setia.
Uni Desi menjelaskan bahwa ia merasa terjebak dalam pernikahannya yang tidak bahagia. Konflik dan ketidakcocokan yang terus-menerus membuatnya stres dan tidak bahagia. Aku duduk menemani Uni Desi yang tampak segan menelan makan malam nya, hingga suapan terakhir ia mendesah pelan.
“Kamu tahu Ndis, jika besok kamu ingin menikah. Maka carilah yang sifatnya baik. Uni dulu terpesona dengan ketampanan Suami Uni. Uni pikir memiliki suami tampan akan bahagia. Justru Uni harus banyak mengalah. Seperti saat ini beberapa orang memperingati uni untuk tidak bercerai. 8 tahun bukan waktu singkat untuk Uni berjuang dan bersabar, Dia semakin menjadi. Uni merasakan butuh sesuatu untuk memantapkan Uni, bahwa apa yang telah Uni ambil adalah keputusan tepat.” Ucap Uni Desi menikmati puding yang ia beli. Aku masih memegang puding itu, karena masih terasa kenyang.Akhir-akhir ini Uni Desi tampaknya tak menghiraukan diet, ia makan apa saja yang menurutnya enak. Karena ia selama ini diet, berharap suami tak berpaling. Namun justru semua nihil tak ada hasilnya.
Hampir satu jam aku menemani Uni Desi di meja makan, ia mengatakan jika ia akan mengikuti perjalanan umroh. Ia merasa bahwa perjalanan umroh dapat memberikan ketenangan dan kedamaian dalam dirinya yang sedang terluka.
Aku mendengarkan dengan seksama, mencoba memberikan dukungan dan pengertian. Aku tahu bahwa keputusan untuk bercerai bukanlah hal yang mudah, tetapi aku juga mengerti bahwa Uni Desi harus mencari kebahagiaan dan kedamaian dalam hidupnya. Aku saja baru merasakan bagaimana ketika menerima takdir ketika Ayah justru menceraikan ibu. Mungkin selama ini alasan kontrak kerjalah yang membuat ayah mempertahankan ibu dan aku, dan kini saat jabatannya telah tinggi, ia bisa mengambil tindakan yang mungkin meringankan ayah. Apalagi Uni Desi selama ini menjadi tulang punggung keluarga, aku baru tahu ternyata selama ini kedua orang tua Uda Johan justru Uni Desi yang rutin setiap bulan mengirim, hal itu karena ibu mertuanya bertanya kenapa Uda Johan pulang. Sungguh perempuan berhati baik, jika orang baru mengenal Uni Desi, orang akan menganggap ia bukan istri yang baik karena wajahnya dan juga nada bicaranya terkesan judes. Namun pada kenyataannya dalam rumah tangga, ia belum pernah mebantah apa kata suaminya.
“Bayangkan Ndis, kedua orang tuanya tidak pernah tahu kelakuan anaknya. Uni selalu menutupinya. Uni tidak mau orang tuanya kecewa punya anak dia, bukan perihal ungkit-ungkitan tapi nyatanya selama ini ternyata hanya Uni yang rutin mengirim ke kampung.” Keluh Uni Desi yang merasa kesal, karena kedua mertuanya ingin agar ia kembali menarik tuntutan perceraian yang telah di layangkan ke pengadilan.
“Tapi untuk ikut perjalanan Umroh itu bagus Ni, toh selama ini Uni belum pernah menginjakkan kaki kesana kan?” Ucap ku seraya membuka bungkus puding. Ku cium aroma wangi pandannya. Aku melahap puding tersebut seraya menyimak isi hati Uni Desi. Aku sudah seperti teman bagi uni Desi,bukan lagi anak buah.
Setelah berdiskusi panjang, akhirnya Uni Desi memutuskan untuk mendaftar umroh. Ia berharap bahwa perjalanan ini dapat memberikan waktu dan ruang untuk merenung, mencari kedamaian dalam hatinya, dan menemukan kekuatan untuk mengambil keputusan yang tepat.
“Besok setelah mengantar Talita sekolah, kamu ikut uni ya. Uni mau minta pendapat kamu pilih agen yang mana.” Ajak uni Desi, aku mengangguk.
Keesokan harinya,kami berjalan bersama-sama menuju agen perjalanan umroh, setelah melihat beberapa brosur di media sosial. Kami pun memilih satu agen umroh, kami ke sana dan bertemu dengan beberapa orang yang juga akan melakukan umroh. Aku merasa senang melihat Uni Desi sedikit teralihkan oleh keceriaan mereka. Ada yang masih seusia Uni Desi, bersyukur aku memiliki bos yang tidak memandang rendah orang lain, karena tampaknya yang akan pergi ada yang dari orang biasa, bahkan satu ibu-ibu tampak mengenakan sandal jepit ke agen tersebut, di dampingi anaknya. Mereka saling berbagi cerita dan pengalaman tentang umroh, memberikan semangat dan harapan baru bagi Uni Desi.
Tak lama setelah kami duduk, pandangan mataku tertuju pada seorang wanita yang mengenakan cadar. Aku sepertinya mengenal perempuan itu, kedua matanya bertemu tatap dengan ku. Seketika hatiku berdebar kencang, karena aku tahu bahwa wanita itu perempuan yang pernah satu mobil dengan ku. Aku bisa tahu itu dari cincin yang melingkar di jarinya. Tampak perempuan yang baru akan masuk ke satu ruangan itu berjalan dan menghampiri kami.
“Gendhis?” tanyanya dengan suara lembut sekali.
Aku mengangguk, dan saling tatap.
“Kamu sedang akan mendaftarkan umroh?” tanya nya pada ku. Aku menggeleng cepat.
“Bukan, bukan Bu… tapi bos saya.” Ucap ku polos.
Anak mata perempuan bercadar itu mengikuti anak mata ku. Aku melirik Uni Desi yang sedang mengisi satu formulir di sebuah meja ditemani satu pekerja di agen ini.
Wanita bercadar itu duduk di sebelahku, dan aku merasa sedikit salah tingkah. Namun, ia tersenyum ramah padaku. Aku bisa tahu itu karena pupil matanya yang menyipit tanda bibirnya tertarik melengkung. Aku pun mencoba tersenyum balik, berusaha menenangkan diri sendiri.
“Saya ibunya Gaffi, memangnya Gaffi tidak cerita? Katanya kalian berteman.” Ucap perempuan itu masih dengan suara yang begitu lembut.
Mendengar kata ibu membuat aku sedikit salah tingkah. Dada ku sedikit berdebar.
“Saya adik kelas kak Gaffi ketika SMA, kami jarang bertemu.” Ucap ku kikuk.
Kami pun mulai berbincang-bincang, dan Ibu Kak Gaffi menceritakan tentang bagaimana Gaffi beberapa kali memuji dan menceritakan tentangku. Aku merasa sedikit malu, karena tidak pernah menyangka bahwa Gaffi akan menceritakan tentangku kepada ibunya.
“Gaffi pernah menceritakan jika ia punya teman yang pernah ia marah karena beberapa kali terlambat saat masa orientasi siswa. Dan kamu ternyata punya alasan yang tak mampu kamu sampaikan, Gaffi tahu itu ketika ia diceritakan teman mu yang lain.” Ucap perempuan itu yang aku tak tahu siapa namanya. Aku menunduk malu karena ingat kisah bagiamana aku menangis di depan banyak peserta Masa orientasi itu, saat ditanya kenapa datang terlambat, aku tak mungkin menceritakan jika aku baru saja memandikan ibu karena mau tidak mau, ibu BAB jika tidak segera dimandikan akan sulit membersihkan bagian kukunya. Tak mungkin menunggu sampai aku pulang sekolah. Dan tiga hari aku mengalami hal serupa, Kak Gaffi yang paling tegas saat itu.
Namun, Bu Arumi melanjutkan dengan cerita-cerita yang menghangatkan hati. Ia bercerita tentang betapa Gaffi mengagumi kebaikan hatiku, ketulusanku dalam membantu teman-teman, dan semangatku dalam menjalani hidup. Aku merasa tersanjung mendengarnya, dan juga merasa terharu karena ternyata Gaffi mengganggap ku begitu istimewa.
“Kamu tahu, saat ia mengenal kamu. Dan tahu apa yang kamu hadapi, sejak saat itu ia selalu menelpon ibu. Padahal 3 anak ku, dia yang paling sulit untuk ku mendapatkan kabar. Alasannya simpel, karena ia bersyukur bisa sebebas itu tanpa perlu merawat ibunya. Sejak saat itu juga saya penasaran dengan perempuan itu. Dan waktu kamu menumpang kemarin, Gaffi mengatakan jika kamu perempuan itu.” Ucap perempuan itu.
Percakapan kami berlanjut, dan aku merasa kagum dengan Kak Gaffi, selama ini ku pikir ia orang susah. Nyatanya ia anak orang kaya. Ia tinggal ngekost karena tak ingin dianggap orang kaya. Pantas saja ia tak pernah menjalin hubungan pacaran, tampaknya keluarga Kak Gaffi begitu kental akan ilmu agama. Ibunya bahkan terlihat menggunakan niqab. Aku sendiri belum genap satu tahun mengenakan hijab. Saat Uni Desi berjalan ke arah ku. Tampak ia bersalaman dengan ibu Kak Gaffi.
"Alhamdulillah terimakasih Umi Arumi, untuk beberapa nasihat kemarin. Semoga pulang dari Umroh saya bisa mendapatkan kemantapan hati tentang keputusan yang akan saya buat." ucap Uni Desi. Tanpa sengaja aku jadi tahu jika nama ibu kak Gaffi adalah Arumi. Saat pulang aku juga baru tahu jika ibu kak Gaffi bukan orang kaleng-kaleng. Keluarga mereka dari orang ternama, namun satu yang membuat ku bingung bagaimana anak orang sekaya Umi Arumi yang kabarnya istri dari seorang pengusaha ternama di negeri ini bisa hidup sendiri dan tinggal di lingkungan yang jauh dari kata nyaman. Aku ingat betul tempat kost nya disaat SMA. tanpa aku sadari Uni Desi melihat wajah yang merona.
"Kamu lagi jatuh cinta Ndis?" Ucap Uni Desi yang menoleh ke arah ku seraya fokus menyetir mobil.
Aku menggaruk kepala yang tak gatal.
"Tidak kok Ni... Cuma lagi malu saja tadi saya pas kesana, hampir saja nabrak kaca. Itu kaca bisa bening sekali ya Ni." Canda ku yang memang tadi hampir menabrak dinding kaca. Namun beruntung Uni Desi cepat menarik pergelangan tangan ku hingga langkah ku tertahan.
'Wes fokus fokus Ndis... Fokus sama masa depan. Ga usah mikir lelaki. Kalau sukses... Lelaki datang sendiri...' batin ku yang selalu menenangkan debaran jantung selalu berdebar karena mengingat satu sosok tampan nan memikat setiap perempuan yang memandang wajah nya, Kak Gaffi.