NovelToon NovelToon
ASMARALARAS

ASMARALARAS

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Kidung Darma

Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

29

Langit mendung menggantung rendah di atas Kali Brantas. Angin sore berembus pelan, membawa bau sungai dan bisik-bisik hujan yang belum turun.

Asmarawati duduk sendiri di bangku bambu tua, bangku yang sejak dulu menjadi saksi percakapan-percakapan kecil antara dirinya dan Wiji. Bangku yang sudah mulai miring salah satu kakinya, tapi tetap setia di sana, menghadap ke aliran sungai yang perlahan.

Ia duduk biasa saja—tidak memeluk lutut, tidak menangis. Kaus panjang lusuh dan celana kain tipis membalut tubuhnya yang lelah. Rambutnya diikat seadanya, dibiarkan tertiup angin. Tak ada riasan —hanya sisa-sisa air mata yang tertahan di sudut mata.

Pandangan matanya kosong, menembus jauh ke arah air sungai yang mengalir. Tapi sesungguhnya ia sedang memandang ke dalam dirinya sendiri.

"Di sini dulu Mas Wiji pernah duduk di sampingku… diam saja… tapi rasanya cukup."

Kalimat itu hanya lewat di hati, pelan, lirih, dan nyaris menyakitkan.

Sore itu ia datang bukan untuk menunggu, bukan juga untuk berharap. Ia hanya ingin duduk sebentar, di tempat yang pernah membuatnya merasa utuh. Sekarang, tempat itu justru membuatnya terasa hampa.

Ia menyandarkan punggung ke sandaran bangku bambu, menghela napas panjang. “Mas, aku ora ngerti… kok rasane malah kaya ilang kabeh…”

Langit makin gelap. Tapi gerimis belum juga merintik. Awan hanya menggantung berat, seperti perasaan yang tak kunjung pecah menjadi tangis.

Angin menyisir permukaan Kali Brantas, membuat riaknya bergetar pelan. Bangku bambu tempat Asmarawati duduk ikut berderit ringan—seperti mengaduh oleh kenangan yang terlalu lama diam di situ.

Ia masih tak bergerak, hanya sesekali menarik napas panjang yang terdengar seperti helaan putus asa. Di hadapannya, sungai mengalir tanpa tergesa. Tapi di dalam dadanya, rasa kecewa mengalir deras, tanpa tahu harus bermuara ke mana.

Tapi tiba-tiba, dari kejauhan terdengar deru pelan yang familiar—suara motor tua, berat dan khas. GL-MAX itu. Motor yang ia kenal betul. Motor yang selalu dinaiki Wiji. Detak jantungnya langsung berubah ritme. Ia menoleh setengah, lalu buru-buru berdiri.

“Ndak, aku harus pergi…” Bisiknya lirih, entah kepada siapa. Langkah kakinya cepat, nyaris panik.

Tapi belum sampai ia pada sepedanya, sebuah tangan hangat menahan pergelangan tangannya. Lembut, tapi tegas. Ia menoleh—dan di hadapannya berdiri Wiji, masih dengan mata yang tak bisa disembunyikan dari segala kerumitan.

“Nok, ojo lungo. Tak jaluk, ojo lungo…”

Suara itu parau, namun penuh harap.

Asmarawati terdiam. Tubuhnya gemetar. Ia ingin bicara, tapi suara tak keluar. Dadanya sesak. Matanya mulai basah.

Wiji menatap wajah Asmarawati dengan sorot yang sama seperti dulu—yang tenang, yang jujur, tapi sekarang ada luka di dalamnya.

“Aku ngerti, aku salah. Tapi nek kowe lungo… aku ra ngerti kudu piye.”

Asmarawati menarik napas panjang, menunduk. Air matanya jatuh, pelan.

“Mas… aku wis ora kuat. Aku hanya ingin melupakan.…”

Suasana mendung itu seolah membungkus mereka berdua dalam dunia yang hening.

Tak ada suara selain desir angin, deru sungai, dan dua hati yang belum sanggup sepakat:

harus pergi, atau bertahan?

Wiji menatapnya lekat-lekat, matanya memohon agar waktu berhenti sejenak. Suara angin dan deru Kali Brantas terasa menghilang. Dunia menyempit, hanya tersisa dua insan yang hatinya saling mencintai, tapi tak bisa saling memiliki.

"Bukan itu yang kuinginkan," kata Wiji, suaranya nyaris bergetar.

Asmarawati menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke arah sungai yang mulai gelap. Air matanya belum kering, tapi kini ia tampak lebih tenang—seperti seseorang yang akhirnya menerima bahwa luka pun butuh rumah untuk pulang.

"Lanjutkan langkahmu, Mas…" ucapnya pelan, namun jelas. "Aku ikhlas. Dan aku akan baik-baik saja."

Mereka berdiri berhadapan di tanggul kali Brantas itu. Langit di atas masih mendung, dan udara makin lembab seakan hujan menunggu aba-aba dari hati yang retak.

Wiji menunduk sebentar, lalu menatap mata Asmarawati yang basah namun mencoba tenang.

Suara anginnya pecah sedikit ketika ia berkata:

"Emoh…" Ia menggeleng pelan. "Aku tahu, keputusanku yang terburu-buru ini akhirnya membuatmu sakit hati. Aku nyesel, Dek... sungguh."

Asmarawati menarik napas panjang. Lalu tersenyum kecil—bukan senyum bahagia, tapi semacam pelindung tipis agar air mata tak tumpah. "Aku tak merasa tersakiti, Mas," ucapnya pelan. "Aku baik-baik saja." Tapi suaranya sedikit bergetar. Dan matanya, meski mencoba tenang, tak bisa menyembunyikan retakan yang merambat perlahan.

Wiji masih berdiri di belakang, suaranya serak, pelan, tapi tak bisa lebih jujur dari itu. "Meskipun kamu matur ora lara… Ning aku ngerti, perasaanmu sakit."

Asmarawati memejamkan mata. Dada yang sejak tadi ia tahan bergetar. Kata-kata itu seperti anak panah—tak membunuh, tapi membuatnya tak mampu berdiri utuh.

Pelan, ia berbisik… "Mas…"

Hanya satu kata. Tapi dalam suara itu ada gumpalan kecewa, ada amarah yang terpendam, ada cinta yang masih tersisa—semua menyatu dalam satu panggilan lirih yang tak tahu harus dibawa ke mana.

Langkah Asmarawati belum benar-benar pergi.

Ia berdiri memunggungi Wiji, tubuhnya gemetar pelan, tak lagi karena dingin sore—tapi karena hatinya tak mampu menanggung beratnya kata-kata yang baru saja terdengar.

Lalu, suara itu kembali. Suara yang ia kenal luar kepala. Suara yang dulu membuatnya tenang, kini justru mengaduk dadanya makin dalam. "Sajroning ati aku nyaman, cedak sampean, Dek..."

Suara Wiji pelan, nyaris pecah.

"Dek bengi… pikiranmu mbulet. Mikir perasaanmu. Jujur… nangis tenan aku."

Asmarawati menunduk. Matanya sudah basah. Dadanya sesak. Tapi ia tetap mencoba berdiri tegak, walau kakinya rasanya mau ambruk.

Ia membalas dengan suara lirih, nyaris seperti doa yang patah: "Sampun, Mas… ampun dilajengaken. Kula tan kuwaos nampani."

Sunyi menggantung. Tak ada suara selain desir angin dan detak jantung yang dipercepat oleh penyesalan.

Tapi Wiji melangkah satu langkah lebih dekat. Suaranya kali ini lebih dalam, lebih jujur dari sebelumnya: "Aku wis ngapusi perasaanku dhewe… Aku memang kejam. Aku wis menyakitimu."

"Tapi aku nyesel, Dek… aku wegah sampean lungo, aku wedi kelangan sampean."

Kepala Asmarawati menunduk semakin dalam.

Air matanya tak bisa dicegah lagi, jatuh satu-satu seperti gerimis yang akhirnya menyerah pada langit.

"Jangan buat aku menangis, Mas…" Suara Asmarawati parau, seakan dipaksa keluar dari dada yang sudah penuh sesak.

Wiji menjawab dengan suara nyaris sama: "Aku juga… tak mau menangis lagi."

Hening sejenak. Tapi kejujuran kadang tak bisa ditahan lama.

"Tapi aku wes nangis," ucap Wiji, nadanya rendah—seperti pengakuan pada diri sendiri.

Asmarawati menarik napas pendek, lalu berkata: "Aku iyo wes nangis..."

Keduanya diam. Hanya dua kalimat itu yang melayang di udara.

Kalimat yang menyingkap luka paling dalam—tanpa saling menyalahkan, hanya mengakui: bahwa cinta ini telah menyakitkan mereka berdua.

"Mas..." Satu kata, nyaris runtuh bersama tangis yang telah pecah.

"Dek..." Satu panggilan, penuh gentar dan cinta yang tak sempat selesai.

Mereka saling menatap. Mata bertemu mata.

Tak ada pelukan. Tak ada janji. Hanya sepasang jiwa yang pernah saling menjadi rumah… kini berdiri di ambang perpisahan. Dan saat itu juga, gerimis mulai turun menyirami tanggul kali Brantas. Pelan, namun pasti. Seolah langit pun tak sanggup menahan tangis mereka berdua.

Gerimis makin deras. Tapi mereka tetap berdiri di sana—di bawah langit yang tak sanggup lagi menahan air matanya.

Asmarawati memeluk tubuhnya sendiri, seolah ingin menjaga apa pun yang masih tersisa di dalam dada. Bibirnya bergetar saat akhirnya ia berkata:

"Abot tenan, Mas..." Suaranya nyaris hilang di antara rintik hujan. Tapi Wiji mendengarnya jelas. Ia menggenggam udara di depan dada, seperti ingin memegang sesuatu yang tak bisa disentuh.

"Abot... abot, Dek.... tapi pintaku ora muluk-muluk. Aku njaluk… ojo lungo. Jangan menjauhiku. Jangan menghilang." Wiji menghela napas, matanya sembab. "Kemarin sikapmu tak seperti biasanya. Meskipun sebentar… tapi hatiku sakit, Dek."

Asmarawati menunduk, air matanya menyatu dengan gerimis yang menetes dari dagu.

"Aku sudah ndak kuat, Mas…" Kalimat itu jatuh perlahan, seperti daun kering dari ranting, pelan… tapi pasti.

Wiji menatapnya lekat, seperti ingin mengingat wajah itu seumur hidup. "Aku pun juga sudah ndak kuat..... dayaku sudah habis, saben wengi aku mung kudu nangis…"

Dan untuk sesaat, mereka hanya berdiri saling diam di tengah gerimis. Tak ada lagi kalimat yang cukup untuk menggambarkan lelahnya mencintai dengan diam, mencintai dengan luka.

Tapi di antara mereka, cinta itu tetap ada. Seperti air kali Brantas di hadapan mereka: terus mengalir, tak bisa digenggam, tak bisa dihentikan. Hanya bisa dilihat… lalu dilepas.

"Sudahlah, Mas… biarkan aku yang pergi."

Wiji tersentak. Ia melangkah setengah mendekat, matanya membesar, basah oleh air hujan dan air mata yang tak bisa dibedakan.

"Emoh..." Suara itu pecah.

"Aku tidak mengikhlaskan kamu pergi. Aku mohon… Dek…" Napasnya tercekat, tapi ia lanjutkan.

"Dek.. Ojo lungo, ya? Tetaplah di sandingku… sampai Gusti merestui kita bersatu."

Asmarawati menggeleng pelan, hampir tak sanggup berkata-kata. Tapi ia paksakan juga: "Aku ndak sanggup melihatmu, Mas…"

Kalimat itu seperti pisau. Pelan tapi dalam. Menyayat Wiji di tempat yang tak bisa ia sembuhkan sendiri.

Wiji mengangkat tangannya, seakan ingin menyentuh pipi Asmarawati, tapi tak jadi. Tangannya menggantung di udara—ditekan oleh rasa bersalah, dan rindu yang tak tertampung.

"Emoh…" bisiknya. "Ojo ngono. Ojo lungo. Aku sakit… kalau kamu pergi."

Asmarawati menunduk, suaranya lirih namun tegas: "Biarkan aku yang pergi. Aku... Ndak penting."

Wiji menatapnya, matanya mengandung luka dan harap yang sama: "Tapi bagiku, kamu penting, Nok. Sangat penting. Aku tetap ingin bersamamu... meskipun ora kudu saiki. Tapi aku yakin, Emboh, kapan wektune. Awak dewe bakal nyawiji. Percaya aku. Cekel omonganku..."

Wiji menahan napas, suaranya nyaris berbisik, tertahan di tenggorokan yang sesak:

“Laramu… uga laraku, Nok. Saben tetes iluhmu, ya dadi iluhku.”

Asmarawati menggeleng pelan; tatapannya rapuh namun tetap bersandar pada kejujuran:

“Jangan begitu, Mas. Aku ora tega—terutama marang bojomu. Aku tak ingin jadi nyala yang membakar rumah orang lain.”

Wiji menunduk, suaranya parau oleh luka yang belum sempat sembuh: “Ragaku pancen rabi karo wong liya. Ning ngandelo .....atiku nyamane mung karo awakmu.”

Asmarawati menarik napas dalam, menahan gemetar suaranya yang nyaris pecah: “Jujur, Mas… aku dhewe ya wedi. Wedi kehilangan sampean. Sing tak rasakke, sampean kaya tansah ana ning sandingku. Njaga aku....”

Wiji memejamkan mata sejenak, lalu suaranya keluar dengan lirih namun menggema dari relung hati: “Sebab kuwi... tak jaluk, ojo lungo. Ojo ninggal aku. Ayo! bareng-bareng nyonggo abote kahanan iki. Ayo padha ngrekso katresnane awak dewe. Kowe lara, aku ya lara. Ning ojo ngambah dalan lungo.”

Asmarawati menatapnya, menangis tersedu-sedu suaranya nyaris tak terdengar. “Terus... aku kudu piye, Mas?”

“Bisa to, kita menjaga katresnan iki… bareng-bareng.” lirih Wiji, suaranya menggema seperti suluk yang menggantung di awan kelabu.

Asmarawati menggeleng pelan, mata beningnya penuh airmata luka. “Mas… aku wis ora kuwat.”

Wiji melangkah setapak, seolah ingin menampung segala remuk yang tumpah dari mata Asmarawati.

“Ning aku… aku luwih ora kuwat ningali tetangismu. Jangan lepas ....suatu saat kita pasti bisa nyawiji, entenono aku!”

“Mas…” bisik Asmarawati lirih, seolah angin malam pun enggan menyela.

“Dek,” sahut Wiji, suaranya pelan tapi mengandung gemuruh yang tertahan.

Asmarawati menarik napas dalam, lalu menatap mata Wiji sejenak sebelum berkata,

“Jujur, aku ora bisa nglalekke sampean. Saben dalu, pikiranku mung awujud panjenengan. Jenengmu ngendap nang atiku, ora luntur sanajan wektu terus lumaku. Yen pancen iki dalan sing panjenengan pilih… aku bakal ngenteni. Dalan iki bakal tak liwati.”

Wiji menggenggam jemarinya, seolah takut waktu mencuri kehangatan itu. “Janji… ojo lungo, ya!.. Yang ku ingat-ingat kamu adalah seseorang yang selalu menguatkan aku.” bisiknya, bukan sekadar permohonan, tapi sebuah harapan yang bergantung pada satu nama: Asmarawati.

“Panjenengan kuwi katresnanku, Mas….”

Wiji menunduk, Ia tahu, kata-kata itu datang dari hati yang telah terlalu lama menahan. Ia melangkah pelan, mendekat, lalu berujar,

“Uga sliramu kuwi katresnanku, Dek. Aku ndak ada rasa babar blas karo Andini.”

Asmarawati menggigit bibir. Tangan mereka nyaris bersentuhan, namun tak berani saling genggam.

“Asal panjenengan ngerti,” lanjutnya, suara pelan namun bergetar, “aku bakal ngenteni. Sanajan tanggul iki wis jebol, sanajan kali brantas iki mbesuk asat banyune… aku bakal tetep eling, Mas.”

Wiji menarik napas panjang. Dada kirinya sesak. Bukan karena dinginnya udara, tapi karena beban perasaan yang terlalu lama ia pendam.

“Seseg… dadaku, Dek,” ucapnya lirih. Suaranya gemetar, seperti arus sungai yang menabrak bebatuan.

Asmarawati menunduk. Air hujan menetes dari ujung rambutnya, membasahi pipinya yang sudah basah sejak tadi—bukan hanya oleh hujan, tapi juga air mata yang diam-diam jatuh.

“Aku uga seseg, Mas…” katanya pelan. “Seseg nahan kangen sing ora oleh panggonan. Seseg ndeleng panjenengan kudu pura-pura kuat.”

Mereka sama-sama diam. Hanya deras hujan dan gemericik air yang jadi iringan bisu. Di antara derasnya Brantas dan rintik langit, dua hati saling bicara tanpa kata.

Wiji mendekat, hampir menyentuh jemari Asmarawati. “Andai dunia kita tak serumit ini, aku pengin tetep nang kene, ngancani Kowe saben sore.”

Hujan masih rintik, membasuh sore yang perlahan tenggelam ke dalam kelam. Langit menggantung murung di atas aliran Kali Brantas, seolah menyimpan segala getir yang tak terucapkan. Di atas tanggul yang basah oleh jejak air dan kenangan, dua hati telah saling bicara—tanpa kepastian, tapi dengan kejujuran yang nyaris menyakitkan.

Tak ada pelukan, tak ada genggaman yang bisa menahan waktu. Hanya tatapan yang menggigil, dan suara yang nyaris tak terdengar, seperti gumam doa yang tak sempat selesai.

Langkah Wiji perlahan menjauh, meninggalkan tanah becek di atas tanggul, sementara Asmarawati tetap berdiri, diam, memandang sungai yang mengalir membawa bayang-bayangnya pergi.

Di sepanjang bantaran itu, hanya gerimis dan angin yang menyisa. Tapi cinta tak pernah benar-benar hilang. Ia berdiam di dada yang sesak, di ingatan yang enggan tidur, di rindu yang tak tahu arah pulang.

Karena ada cinta yang tidak perlu diberi nama, cukup dikenang—seperti sore itu di tanggul Kali Brantas, ketika dua hati saling menemukan… hanya untuk kembali melepaskan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!