Gendhis
Teriknya Mentari tak membuat aku berhenti melangkah. Tas ransel di pundak yang sudah beberapa kali ku jahit masih cukup kuat menahan isi buku-buku pelajaran di dalamnya. Tenggorokan rasanya tercekat karena haus. Sudah hampir satu minggu ini aku tidak di beri uang saku oleh Ayah karena ayah belum gajian. Botol minum telah habis isi nya, tadi ku minum saat di sekolah untuk mengganjal lapar. Saat aku mendekat kea rah rumah, aku melihat pintu rumah terbuka. Aku berlari menuju rumah.
‘Ayah sudah pulang.’ Batin ku.
Namun saat aku sudah berada di ambang pintu, terlihat seorang perempuan yang menggendong bayi, sedangkan ayah di sebelahnya. Ayah juga memangku seorang bayi. Aku termenung di depan pintu. Tampak perempuan itu tersenyum ke arah ku.
“Ayah… ayah sudah pulang?” Tanya ku yang duduk di depan pintu seraya membuka sepatu dan menenteng nya yang hampir mangap di bagian depan karena jahitan atau lem pada telapak nya telah mengelupas. Aku menaruh sepatu itu di tempat biasa. Saat aku mendekat menyalami ayah ku. Ada kebahagian saat ayah mengatakan jika perempuan yang tadi tersenyum adalah ibu ku. Dia akan tinggal disini bersama aku.
“Dhis…. Ini ibu kamu yang baru. Panggil Bunda ya. Ini adik-adik kamu, mereka kembar,” Ucap Ayah.
Usia ku terlalu muda untuk memahami kenapa ayah menikah. Yang aku pikirkan adalah suatu kebahagian karena semenjak ibu dititipkan di rumah nenek karena sakit, aku mengerjakan semuanya sendiri. Aku bahkan sudah bosan makan telur goreng dan kerupuk atau mie instant setiap hari.
“Oh ini jadi yang namanya Gendhis? Wah cantik sekali ya… kamu pasti anak baik. Panggil Bunda ya...” Sapa ibu tiri ku yang meminta agar aku memanggilnya dengan Bunda.
Satu lambaian tangannya memanggil aku, aku menyalami dirinya dan satu pelukan hangat aku dapatkan. Aku Bahagia karena semenjak itu, aku mendapatkan uang jajan, setiap pagi ada sarapan dan aku tak pernah lagi mencuci baju sendiri. Aku seperti menemukan ibu lagi. Namun seiring waktu, semua adalah fatamorgana. Ibu tiri ku yang bernama Lilik menunjukkan watak aslinya saat Ayah harus pergi ke tempat baru karena ditugaskan perusahaan. Ayah akan pulang kerumah dua bulan sekali. Aku baru mengerti kenapa teman ku berkata bahwa tidak enak punya ibu tiri. Itu yang kini aku rasakan. Pagi hari saat aku akan berangkat sekolah, aku tak boleh sarapan.
“Eh…eh.. eh! Siapa suruh sarapan?! Enak saja!” Bentak Bunda.
“Aku mau berangkat sekolah Bun…” Ucap ku sopan.
“Ya berangkat kalau mau sekolah, mulai hari ini jatah makan kamu di kurangi karena ibu mu akan tinggal disini. Jadi kamu harus makan sehari dua kali. Dan ingat mulai hari ini cuci pakaian kamu sendiri. Aku bukan babu mu!” Bentak Bunda.
Aku yang tak pernah di bentak menangis di hadapan istri baru ayah. Sejak hari itu, hari-hari ku lalui tanpa suara tangis namun penuh dengan linangan air mata. Aku bahkan harus mengerjakan pekerjaan rumah, dengan tubuh mungil yang masih kelas 3 SD, aku harus merawat ibu yang seperti mayat hidup. Ibu hanya diam dan kadang sesekali tertawa atau tiba-tiba menangis. Ayah bilang ibu sakit gangguan jiwa karena setelah melahirkan adik ku, nyawa adik ku tak bisa diselamatkan karena meninggal dunia dalam kandungan.
Siang itu aku merasa lelah sekali karena baru saja ada ujian sekolah mata pelajaran olahraga, aku merasa letih karena mengelilingi lapangan sebanyak 5 putaran. Tubuh yang lemah dan lapar. Aku bahkan belum boleh makan sebelum mencuci piring. Saat aku akan Menyusun piring yang baru saja ku basuh, tangan kiri ku gemetar karena rasa lapar dari perut.
“Praaang!”
Seketika tubuh ku bertambah gemetar, aku takut Bunda akan memarahi aku. Betul saja berselang suara tangisan si kembar yang terjaga karena suara berisik. Teriakan Bunda dari arah kamar membuat aku semakin ketakutan. Ujung jari ku bahkan terluka karena mendengar teriakan Bunda.
“Apa itu Gendhis!” Teriak Bunda dari dalam kamar.
Air mata sudah membanjiri pipi ku, aku cepat membersihkan pecahan piring tersebut. Dan saat aku akan membuang ke halaman belakang rumah, ibu tiri ku sudah berdiri di depan ku. Matanya seperti seekor singa yang siap menerkam. Aku menundukkan kepala, tak berani menatap wajah Bunda.
“Kamu pecahkan piring lagi?! Baik, siang dan mala mini, kamu dan ibu mu tidak dapat jatah makan!!” Teriak Bunda dengan wajah merah.
Aku hanya mampu sesenggukan menangis, tubuh yang kecil karena masih duduk di bangku SD membuat aku hanya pasrah dengan setiap hukuman yang diberikan. Dan malam itu aku kembali harus menahan perihnya diperlakukan tak manusiawi oleh Bunda. Malam hari tepat sebelum hujan deras, ibu ku yang sedari siang tak diberi makan selalu berteriak-teriak. Aku mencoba menenangkan ibu di kamar.
“Lapar…. Lapar… lapar… makan… makan Yah… Ayah makan Yah…” Teriak ibu ku memanggil ayah ku.
“Bu, tidur saja. Ini minum ini bu… besok kita makan ya bu.” Ucap ku seraya menyerahkan satu botol air putih. Perut ku bahkan sudah terasa perih dan kembung karena satu hari ini hanya diisi oleh air putih.
Tiba-tiba pintu kamar di buka.
“Braak!”
“Berisik!! Saya mau tidur! Kamu, bawa ibu kamu ke teras belakang rumah! Saya dan anak saya mau tidur!” Titah Bunda dengan nada penuh emosi.
“Tapi Bun, ibu lapar Bund.. mungkin kalau di beri makan ibu akan diam.” Pinta ku seraya menghibah di kaki ibu tiri ku.
“Makan? Kamu bilang makan?! Kamu harus belajar untuk tidak kembali memecahkan piring kalau mau makan setiap hari, paham kamu!” Ucap Bunda seraya menarik tangan aku dan Ibu kea rah belakang rumah.
Saat tiba di teras belakang rumah, bunda menutup pintu dapur. Kilat tampak menyala-nyala. Tak butuh waktu lama, hujan deras pun membasahi bumi. Ibu masih berteriak ‘lapar’, ‘makan’. Aku hanya memeluk ibu ku dan meratapi nasib ku. Aku memandang kilat yang menyambar. Aku merutuki nasib ku seraya mendengar suara teriakan ibu yang terus menyanyikan kata ‘lapar’.
“Lapar… Yah lapar Yah… lapar.. lapar…” Suara ibu masih menyanyi kata lapar dengan irama lagu bang Rhoma irama.
‘Ya Tuhan… kenapa nasib ku begini… wahai petir, sambar lah aku dan ibu ku agar kami tidak lagi menderita di dunia ini…’ batin ku seraya memandangi langit, keputusasaan dalam diri ku membuat aku berharap segera mati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
💗vanilla💗🎶
br mampir thor .. dan udh nyesekk..tp menarik
2024-06-27
0
fa _azzahra
assalamualaikum,ktm lg sama novel keren nya author sebutir debu.smg sehat sll
2024-03-10
1
♕👋ค๓๒ꌦคคคггггг❣️
ibu tiri yg kejam
2024-02-15
1