Siapa yang bakalan menyangka kalau nama pena akan berakibat sebesar ini.
Nama pena yang ternyata membuat tetangga sekaligus musuh bebuyutan jadi mengira kalau aku menyukainya hanya karena aku meminjam namanya untuk tokoh novel yang kubuat.
Hingga akhirnya terjadi kesalahpahaman yang membuat kami terjebak di sebuah ikatan yang bernama pernikahan.
Kenapa bisa seperti ini? Apa yang harus kulakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andiyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ternyata Bukan Gebetan
Apa ibu mendengar semua percakapan kami?
Tenggorokanku rasanya mendadak kering kerontang. Menelan saliva saja rasanya susah.
Kutatap Aril yang rambutnya basah, sepertinya dia habis keramas.
"Kenapa kalian diam saja? Tadi Ibu mendengar Diyas menyebut-nyebut kata pisah. Apa Ibu salah denger?"
"Ah, itu Bu …."
Aku menoleh ke Aril saat mendengarnya membuka suara.
"Tadi aku bilang ke Diyas, kalau dia tidurnya mirip kipas angin, muter-muter. Eh, Diyas malah ngambek dan bilang mau pisah kamar aja," sambung Aril.
Aku bernapas lega. Meskipun aku menjadi kambing hitam, setidaknya ibu jadi tidak curiga.
"Yas, kalian nikah belum ada seminggu. Masa sudah mau pisah kamar, sih? Kamu itu sudah menjadi istri, yang dewasa sedikitlah. Masa cuma gitu aja ngambek."
Aku hanya nyengir sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal. "Iya, Bu."
"Oh ya, Ibu sama Bapak mau pamit pergi."
"Ke mana Bu? Masa ke warung pagi-pagi buta?" Kulihat jam di dinding masih jam lima lewat lima menit.
"Hari ini mau nyelep. Persediaan pentol sudah mau habis. Berangkat pagi supaya pas nyampek di sana dapat antrian pertama," tutur ibu.
Aku hanya manggut-manggut.
"Ibu sudah masak nasi, lauknya kamu masak sendiri ya. Ibu nggak sempat masak lauk. Kamu udah bisa jalan, kan?"
Aku mengangguk menjawab pertanyaan Ibu.
"Ya udah, Ibu pamit dulu. Bapak sudah ada di mobil." Ibu pergi setelah mengucap salam.
Setelah kepergian ibu, kutatap Aril dengan gemas.
"Besok-besok lagi, kalau habis masuk pintunya langsung ditutup. Dikunci kalau perlu!" kesalku.
"Iya-iya. Lagian salah kamu juga main nyerocos aja." Aril tak mau kalah.
"Nggak ada sejarahnya perempuan itu salah. Adanya laki-laki yang selalu salah. Mana ada mbak-salah, adanya itu mas-salah!"
"Terserah, deh. Asal Opet senang."
"Hiiigh! Aku bukan Opeet!"
***
Di dapur yang merangkap meja makan ini aku duduk, memperhatikan Aril yang sedang memasak. Iya, Aril yang memasak. Kubilang kakiku sakit, makanya Aril yang menawarkan diri untuk memasak.
Kusanggah daguku dengan tangan di meja. Memperhatikannya sedang bergelud dengan wajan. Aril memasak bakmi goreng.
Hmmmm, baunya enak. Tanpa sadar bibirku mengulum senyum melihatnya mencicipi hasil masakan dan ternyata lupa tidak ditiup. Lidahnya pun kepanasan.
"Sering-seringlah senyum kayak gitu Yas, cantik!" ujar Aril begitu menoleh dan melihatku sedang tersenyum.
Senyumku seketika langsung memudar. Kupalingkan wajah ke arah lain karena merasakan wajahku memanas mendengar pujiannya.
"Apa sih? Tadi katanya aku kayak Opet?"
Jangan tersipu Yas, jangan tersipu! Masa dibilang cantik aja udah tersipu. Ingat, yang bilang cantik itu Aril, saingan kamu sejak dulu!
"Lagian Opet itu nggak jelek, Yas. Opet itu lucu," sahut Aril tersenyum. "Lagian ketimbang ngereog, kamu lebih cantik tersenyum tau!"
"Apaan sih! Sejak kapan kamu ngegombal gini. Sana puji aja gebetanmu itu!"
Oh iya, soal gebetannya Aril yang waktu itu gimana ya? Apa mereka masih berhubungan?
Kami mulai sarapan ketika bakmi sudah tersedia di meja.
"Jadi, gimana kemarin? Ketemu sama Vino?" Aku melanjutkan pertanyaanku yang sempat tertunda di kamar akibat kedatangan ibu tadi.
Terdengar Aril menghela napas dan menggeleng. "Nggak ketemu. Dia sudah pindah kosan lagi ternyata."
"Ck." Aku berdecak kesal. "Ke mana sih, tuh orang? Giliran udah dapat semuanya main kabur aja! Emang ya, semua laki-laki sama aja!"
"Enak aja, aku nggak sama ya!"
Aku hanya mencebik saat Aril menyanggah dan mengatakan dirinya tak sama.
"Terus kapan kita nyari kosan Vino lagi?" Aku nggak sabar buat mukul tuh orang.
"Niatnya hari ini."
"Aku ikut!"
"Emang kakimu udah bisa dibuat jalan?" tanyanya.
"Bisa. Aku udah bisa jalan."
Kupandangi Aril yang sedang mengotak-atik ponselnya. Kemudian dia menelpon seseorang.
"Halo? Bukannya kemarin katanya mau menghubungi saya ya? Saya sudah menunggu kabar, tapi tidak ada telpon sama sekali." Aril berbicara dengan seseorang di seberang telpon.
Entah berbicara dengan siapa dia sampai menggunakan kata 'saya.'
"Apa? Pacar? Saya nggak pun–" Aril menatapku. "Yas, jangan bilang … apa kamu pernah mengangkat telpon dari perempuan, terus memarahinya dan kamu ngaku sebagai pacar aku?" tanyanya dengan sedikit menjauhkan ponsel.
Jadi barusan dia nelpon gebetannya. Kok ngobrolnya pakek kata 'saya'? Bisa-bisanya dia nelpon gebetannya di depanku. Apa maksudnya itu? Mau pamer, karena punya gebetan?
"Kenapa? Gebetanmu itu ngadu karena udah aku marahin? Dia ngambek?" cibirku. "Syukurin! Semoga gagal jadian!"
"Dasar Opet! Dia bukan gebetanku, wahai istri dadakan! Dia ini jual tanah ke aku, aku mau bikin kafe lagi!"
Aku sampai tersedak mendengar ucapan Aril. "Apa? Jadi dia bukan gebetanmu?" bisikku, karena Aril terlihat akan melanjutkan perbincangannya dengan orang di seberang telpon lagi.
"Iya, Mbak. Saya jadi beli, tapi untuk harganya apa tidak bisa diturunkan lagi? … Apa? Jadi sudah dijual ke orang lain?" Aril menghela napas.
Setelah menutup sambungan telpon, Aril menatapku tajam. Sementara aku hanya bisa nyengir dan menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Jadi, gimana tanahnya, Ril?"
"Nggak jadi. Udah beli sama orang lain. Gara-gara ada orang yang ngaku sebagai pacar." Aril melirikku. "Bilangnya nggak suka, tapi giliran ada telpon dari cewek, cemburu, ngaku pacar pula."
"Apa? Cemburu? Nggak, ya! Aku cuma–"
"Pagi-pagi udah ribut aja nih!" Dika muncul dengan tas di punggungnya. Aku lupa kalau masih ada dia di rumah. Untung Dika muncul pas aku nggak lagi bahas tentang Puput.
"Kamu mau sekolah jam berapa, Dik? Cepetan makan, terus berangkat! Bisa telat kamu!" Aku menatap jam di dinding dapur.
"Kalau gerbangnya ditutup gampang, bisa lompat pagar. Motor bisa dititipin di rumah temen yang dekat sama sekolah," sahut Dika enteng.
"Dasar kamu!" Aku mengangkat tangan hendak memukul Dika.
"Ngapain kamu mau mukul Dika?" ucapan Aril membuat tanganku menggantung di udara. "Dulu kan kamu juga suka lompat pagar pas telat. Jadi kalian itu sebelas dua belas."
Aish, Aril! Kenapa dia membuka aibku di depan Dika, sih? Gagal sudah aku mengomeli Dika.
***
"Maaf, aku nggak bisa ikut kalian," ucap Aril setelah mengantarkanku ke rumah Puput. "Aku harus ke kota, mau liat kafe yang ada di sana," sambungnya. "Kamu yakin, Yas, kakimu nggak papa dibuat jalan?"
"Iya, nggak papa. Dah, sana pergi." Setelah ini aku dan Puput akan pergi mencari kosan Vino.
"Kalian jadi kayak suami istri beneran ya," celetuk Puput, membuatku melotot padanya.
"Kamu dilarang mengejek! Kami terjebak di ikatan ini gara-gara kamu!"
"Iya-iya, maaf deh," ujar Puput sambil nyengir.
Seperginya Aril, kami juga berangkat. Setelah beberapa jam mencari informasi di sana-sini, akhirnya kami sampai di sebuah kos-kosan campuran.
Kos-kosan yang hanya terdiri tujuh kamar yang berbentuk huruf L itu tidak memiliki gerbang. Alhasil, kami bisa langsung mengetuk pintu kamar paling ujung, yang diduga adalah kamar Vino, sesuai dengan informasi yang kami terima.
Tidak sabar aku rasanya bertemu dengan laki-laki itu. Akan kuseret dia ke KUA setelah ini.
Baru juga tangan ini akan mengetuk pintu, terdengar suara perempuan tertawa dari dalam.
Aku beralih memandang Puput. Setelah menghamili Puput dan menghilang, di sini dia malah enak-enakan bercanda dengan perempuan lain.
Pintu yang ternyata tidak dikunci itu kubuka lebar dengan keras sampai membentur dinding.
BRAK!
"Kurang ajar!" teriakku.
kehamilan walaupun disembunyikan, pd akhirnya ttp akan ketahuan..
kami masih menunggu update nya loh
kak Andiyas please segera update ya kami rindu karyamu 🙏🙏
apa gk lnjut lgi sdh
ditnggu para pembaca setia ini
kok masih belum ada kelanjutannya???
kami rindu thor
kok blum ada up nya nih